Saturday, May 24, 2008

Some people are simply.... nuts!

Kayanya saya perlu diruwat. Bukan untuk menghindari dari terkaman batara kala, tapi dari orang-orang sinting. Mungkin perlu diruwat beberapa kali, mengingat banyak orang sinting beredar di dunia ini huhuhu. Dan sialnya, saya selalu kena labrak para orang sinting. Atau mungkin ada chemistry yang dalam tubuh saya yang perlu diubah sehingga tidak bertemu dan kena labrak para orang sinting itu.

Bicara soal labrak-melabrak, pastinya tidak jauh dari aktivitas label-melabel. Satu hal yang saya gak suka karena menurut saya gak guna. Labels are always contested terms. Memang label seringkali merupakan pasangan nilai-nilai yang berlawanan. Misalnya, baik-bandel. Benar-salah. Liberal-konservatif. Progresif-kolot. Hitam-putih. Dan sebagainya. Saya bilang gak guna, karena seringkali ini hanya bisa dipolitisasi. Dan saya kira, kita tidak bisa dengan seceroboh dan secepat itu mengkotak-kotakan orang.

Coba saja lihat, perempuan baik-baik versus perempuan tidak baik. Tapi, baik versi siapa? Apakah baik pada saat itu, atau baik sebagai nilai "rata-rata"? Baik artifisial atau baik genuine? Yang seperti apa baik artifisial dan genuine itu? Sebelnya, orang kalau sudah melabrak dan melabeli, mereka cenderung membuat polarisasi. Garis batas antara kamu yang jahat dan dialah yang baik. Ah, apakah saya harus merespon dengan hal yang sama, bahwa sebaliknya, sayalah yang baik dan kamu yang jahat. Jadi, berhentilah melabeli dan melabrak karena itu tidak bijaksana dan tidak berguna. Apalagi, bila yang dilabrak adalah orang yang salah dan labrakannya itu tidak pada tempatnya.

Gosh, mungkin benar saya butuh diruwat.

LDT terakhir dengan BRR

Sudah sekitar 2 tahun ini, kami sering diminta oleh BRR untuk memberikan LDT bagi anggota-anggota DPRK/A beserta Staff Dewan. Kali ini adalah LDT terakhir bekerjasama dengan BRR karena pada akhir April 2008, Satker Penataan Kelembagaan ditutup. (nama satkernya sih panjang, saya sendiri lupa. Kenapa juga nama satker di BRR panjang-panjang? hehehe). Timnya Ery, Sholikin dan saya. Permintaan ini datang mendadak. Persiapannya pun secepat kilat. Gimana tidak, proses permintaan, pemilihan trainer hingga pesan tiket dilaksanakan dalam waktu cuma 1 hari! Karena kebetulan reny memilih untuk tetap di Jakarta dan kita punya kebijakan representasi perempuan minimum 30% dalam tim trainer yang akan berangkat, lagi-lagi saya kena batunya berangkat training.

Wisata LDT Takengon


Beberapa bulan lalu, tepatnya tanggal 20-23 Maret 2008, saya ke Takengon untuk keperluan pekerjaan. Kali ini, memberikan Legislative Drafting Training (LDT) atau Pelatihan Perancangan Peraturan untuk anggota DPRK Bener Meriah, sebuah kabupaten baru perluasan dari Kabupaten Aceh Besar. Sebenarnya ini panggilan tugas dadakan. Tim aslinya adalah bang Irfan, Maryam dan Ery. Namun, karena punggung ery yang baru di operasi tidak sanggup menahan beban perjalanan ke Takengon yang memakan waktu 7 jam dengan naik mobil melewati jalan berkelok-liku tajam, maka sayalah yang diminta menggantikan. Waktu itu bertepatan dengan libur panjang karena 2 tanggal merah. Sial karena lagi-lagi tanggal merah terlewatkan dengan sia-sia. Saya sudah lupa tepatnya kapan tidak lagi ada batasan antara weekdays dan weekend. Buat saya (dan yg lainnya juga), gak ada bedanya. Setiap hari libur dan tanggal merah adalah hari kerja. Mungkin itu sebabnya kami suka menyempilkan kesenangan di sela-sela pekerjaan, hehehe..

Singkat cerita, seperti biasa saya menyiapkan bahan dan mencari pengetahuan di internet
tentang kota asal para peserta, Bener Meriah dan tempat training diadakan, Takengon. Pengetahuan saya tentang Takengon hanya sebatas salah satu kota wisata di Aceh. Itupun dari Erni, yang dulu pernah kesana. Kota yang memiliki potensi yang luar biasa di bidang pariwisata tapi seperti biasa, tidak digarap dengan baik. Sementara informasi mengenai Bener Meriah, tidak sempat saya cari.

Tiba di bandara, kami dijemput oleh bang Yasser dan Pak Win, langsung menuju Takengon. Dan perjalanan panjang pun dimulai.

Wisata Danau dan Wisata Kuliner
Yang menarik dari perjalanan kali ini adalah kami sempat berwisata danau dan wisata kuliner :-).

Dalam perjalanan ke Takengon, kami berhenti sebentar di sebuah rumah makan di satu tempat antah berantah antara banda aceh dan takengon. Warungnya sederhana. Prasmanan. Mirip warung padang dimana lauk pauknya disediakan di meja makan dalam piring-piring kecil. Kami makan dengan lahap, seperti biasa :-). Selain kelaparan, juga karena makanannya enak :-). Salah satu makanan khas Takengon adalah ikan kecil-kecil yang saya lupa namanya apa. Dan seperti biasanya pula, saya selalu pesan timun kerok. Entah kenapa, timun kerok di Aceh selalu enak. Dan jus-jus lainnya. Mungkin karena belum banyak pestisida. Entahlah.

Sepanjang jalan berikutnya kami juga melihat deretan kripik yang dijual dalam plastik bening seukuran karung beras. Berbagai macam kripik dijajakan, mulai dari kripik pisang (manis dan asin), singkong, ubi hingga sukun. Penjualnya ramah-ramah. Kalau kita ramah sedikit dengan mereka, dijamin bonus sekantong kripik diberikan :-) Sesampai di Takengon, hari sudah menjelang sore dan kami langsung menuju danai air tawar. Apalagi kalau bukan untuk foto-foto :-)

Mie Aceh di Kompleks Terminal
Perburuan makanan ini dilanjutkan pada malam pertama pelatihan. Teman-teman BRR menemani kami makan. Kami makan di sebuah rumah makan lesehan. Mencicipi mie Aceh di Takengon. Siapa tau saja rasanya berbeda :-). Perburuan mie aceh ini dilanjutkan pada malam kedua, oleh saya dan Maryam. Untuk informasi mie aceh yang enak, kami menggunakan metode pencarian data snowball. Kami bertanya kepada abang-abang di supermarket kecil di depan hotel, yang kemudian bertanya lagi pada abang-abang lain di dekat situ. Dari metode ini, kami dapatkan informasi: mie aceh di kompleks terminal. Bahkan, ada abang bentor yang siap mengantarkan kami di sana. Sip lah, dapat informasi dari "orang lokal".

Rupanya, yang kami kira nama kompleks sebuah perumahan adalah benar-benar... kompleks terminal (bus). Saat itu, jam sudah menunjukan pukul 9 malam. Untuk ukuran jakarta sih, masih "sore". Tapi ini Aceh, jeng. Tepatnya, Takengon. Yang menurut koran lokal yang saya beli di bandara, baru saja terjadi konflik penculikan salah satu tokoh penting. Agaknya, konflik-konflik kecil sudah mulai bermunculan. Terlepas dari kemajuan tentang Aceh yang diberitakan.

Kembali ke cerita, karena sudah terlanjur, kami cuek saja. Mantap dengan niat semula, mencicipi mie Aceh yang 100% orisinil :-) Rupanya benar, mienya benar-benar enak! Cuma sayangnya, terminal, pembeli cuma berdua dan perempuan serta jam 9 malam di Takengon bukan kombinasi yang baik untuk dapat menikmati mie aceh dengan santai. Di kejauhan, terlihat kedai kopi dengan bangku-bangku kosong. Kedai itu tidak semenarik kedai kopi di ulee kareng dan di tempat lain. Remang-remang. Konon katanya, di situ pernah menjadi lokasi prostitusi. Belum lagi, preman terminal yang suka melirik, menggoda dan bahkan menyetop kami yang sedang menunggu bentor di jalanan yang sudah sepi dan toko-toko sudah tutup. Untunglah, ada bentor yang lewat dan menyelematkan kami. Terpaksa si kepiting yg menggiurkan pesanan maryam harus dibungkus dan dimakan di hotel. Jadi, bila ingin menikmati mie aceh di terminal bus, pastikan anda membawa laki-laki. Ini bukan persoalan bias gender, tapi memang buat sebagian besar masyarakat kita, kehadiran laki-laki di tengah gerombolan perempuan masih seperti anjing penjaga yang memastikan dombanya tidak diganggu :-)