Monday, January 19, 2009

Tentang Twilight Saga

Pencapaian liburan tahun baru kemarin adalah menghabiskan 10 keping DVD dan buku ke-2 dan ke-3 dari serial twilight saga, new moon dan eclipse (edisi bahasa Indonesia). Buku ke-1nya, Twilight, malah belum baca karena sudah nonton filmnya. Buku ke-4nya terpaksa pesan di kinokuniya untuk edisi yang bahasa Inggris. Sebenarnya buku ini sudah lama terbit dan booming di US, jadi terhitung telaaaat. Apalagi dibandingkan ayu yang sudah khatam berkali-kali hehe..

Buku ini bercerita tentang kisah cinta dua remaja yang bertemu di pertengahan masa SMA. Isabella Swan, produk keluarga cerai yang pindah ke Forks untuk tinggal dengan ayahnya. Edward Cullen, satu-satunya bagian dari keluarga vampir vegetarian (hanya minum darah binatang) yang masih single. Di tengah-tengahnya ada Jacob (yup, di buku 2-3 jadi percintaan segitiga), sahabat bella dari suku Quilette, suku Indian di Forks yang punya sejarah panjang dengan keluarga Cullen (Carlisle-Esme, Rosalie-Emmet, Alice-Jasper dan Edward). Perjanjian antara Cullen dan Quilette adalah Cullen tidak boleh mengubah manusia menjadi vampir dan menarik garis perbatasan antar mereka. Sejarah Quillette juga membawa gen untuk bisa mengubah keturunannya menjadi serigala sebesar beruang yang tugasnya melindungi manusia yang ada di Forks dari serangan vampir. Bila bahaya vampir ini menguat, jumlah mereka yang awalnya hanya tiga orang pun bertambah.

Sunday, January 18, 2009

Membangun Profesi Pustakawan yang Profesional: Pelajaran dari Amerika


--ini waktu nemenin farli jadi moderator diskusi... akibat gak berani ngomong inglisssh :P

Pertengahan Januari ini, Perpustakaan Hukum Daniel S. Lev kedatangan tamu, Judith Henchy, Head Southeast Asia Section University of Washington. Judith berbicara mengenai profesi pustakawan di Amerika di hadapan komunitas pustakawan hukum Indonesia pada Selasa, 13 Januari 2009.

Judith merupakan salah satu sahabat baik Pak Dan. Pertemuan pertama Judith dengan pak Dan berlangsung di University of Washington, ketika pak menjadi interviewernya. Dari Pak Dan lah Judith tertarik dengan studi-studi mengenai asia. Keduanya menjadi rekan sekerja dan teman dekat bertahun-tahun setelahnya.

Meskipun didahului dengan disclaimer dari Judith bahwa beliau bukanlah seorang pustakawan hukum, namun demikian Judith akan berbicara mengenai profesi pustakawan di Amerika Serikat, tuntutan kualifikasi pustakawan profesional, bagaimana mengenalkan dan mengintegrasikan pengetahuan keperpustakaan ke dalam kurikulum akademik di perguruan tinggi, agenda riset dan publikasi pustakawan yang dapat dilakukan, tantangan pustakawan di era elektronik, dan advokasi yang dapat dilakukan oleh komunitas pustakawan.

Pustakawan dan Konsep Negara Modern
Satu hal penting mengapa profesi pustakawan dihargai di Amerika adalah bahwa dari sejarahnya, perkembangan profesi pustakawan di Amerika Serikat sejalan dengan sejarah pembentukan Amerika Serikat sebagai negara modern dan juga perkembangan dunia akademik. Pada masa kolonial, tradisi kepustakawanan di dunia akademik merupakan bagian dari konsep negara modern, utamanya berkaitan dengan fungsi negara untuk menyediakan dan menyimpan informasi. Oleh karena itu, profesi purstakawan (bibliographist) dan ahli pengarsipan (archieving specialist) mulai berkembang pada masa itu.

Sejalan dengan itu, posisi pustakawan mengakar kuat di universitas-universitas dan tuntutan profesionalitas pustakawan pun meningkat. Untuk menjadi seorang pustakawan, Seseorang harus mendapatkan gelar pada jenjang S1 pada area tertentu terlebih dahulu untuk bisa melanjutkan ke jenjang S2 di bidang perpustakaan. Khusus untuk pustakawan hukum, beberapa sekolah perpustakaan memiliki jurusan khusus pustakawan hukum. Umumnya gelarnya berupa MLS atau MLIS (Master of Library and Information Science). Pendidikan jenjang S2 ini ditempuh selama dua tahun. Sistem pendidikan yang seperti ini sangat kondusif untuk menciptakan spesialisasi dalam profesi pustakawan itu sendiri, yang tidak hanya mampu membuat dan menyusun katalog namun juga memiliki pengetahuan khusus di bidang tertentu, misalnya pustakawan yang juga memiliki pengetahuan di bidang hukum.

Untuk memastikan hal ini, dibentuklah panduan profesi pustakawan yang memastikan seorang pustakawan harus memiliki gelar profesional pustakawan. Selain harus memiliki sertifikat, para pustakawan profesional ini pun juga terus mengembangkan pendidikan profesinya dengan mengikuti pelatihan-pelatihan di area tertentu yang berkaitan dengan pengolahan dokumen. Hal ini penting untuk menghadapi perkembangan dunia elektronik yang juga berpengaruh terhadap kebutuhan pengguna dan proses pengolahan.

Relasi Pustakawan dengan Staf Teknis dan Profesi yang Didukungnya
Sementara itu, pekerjaan-pekerjaan teknis yang berkaitan dengan manajemen dan pengelolaan perpustakaan seperti scanning dokumen, jaringan internet, memasang sistem katalog dalam jaringan komputer, dikerjakan ahli-ahli yang berfungsi sebagai staf teknis perpustakaan. Umumnyam mereka memiliki latar belakang pendidikan di bidang Teknologi Informasi. Mereka staf teknis dan bukan pustakawan.

Hal ini tentu berbeda dengan kondisi di Indonesia. Profesi pustakawan seringkali ditempatkan hanya sebagai pekerjaan teknis, tukang mengolah katalog, mencari dan mengembalikan buku perpustakaan ditempatnya, serta memfotokopi dokumen yang dibutukan pengguna. Tidak ada pembagian fungsi dan tugas yang tegas antara pustakawan dan staf teknis.

Perbedaan lainnya juga terletak pada relasi antara pustakawan dengan profesi yang didukungnya. Sebagai contoh, pustakawan yang bekerja di universitas memiliki kontribusi bagi dunia akademik dengan melakukan riset-riset. Misalnya, riset mengenai efektivitas perkuliahan. Selain itu, mereka juga mengenalkan ilmu keperpustakaan kepada mahasiswa melalui kurikulum dengan menyediakan satu sesi di setiap mata kuliah untuk berdiskusi megnenai akses informasi. Pustakawan mempresentasikan dan berdiskusi megnenai bagaimana menggunakan layanan perpustakaan dan menggunakan alat-alat yang disediakan untuk mencari informasi yang dibutuhkan serta etika akademis dalam mengutip tulisan orang lain. Selain itu, juga disediakan panduan online yang diintegrasikan dengan situs mata kuliah tersebut.

Contoh lainnya adalah hubungan profesi pustakawan dengan profesi ahli bahasa. Pustakawan di Amerika Serikat bekerjasama dengan The Modern Language Association menyusun panduan yang berkaitan dengan informasi linguistik yang berisi materi-materi, metode-metode dan bahkan hal-hal mengenai etika yang berkaitan dengan linguistik.

Profesi pustakawan hukum pun seyogyanya dapat melakukan riset yang dapat berkontribusi bagi profesi hukum. Banyak pustakawan hukum di Amerika Serikat yang juga memiliki gelar hukum dan aktif melakukan penelitian dan kontribusi lainnya terhadap profesi hukum. Sehingga, pustakawan tidak berfungsi sekedar sebagai supervisi dan kolektor dokumen saja. Selain itu, hubungan antar pustakawan dengan profesi yang didukungnya, misalnya dalam dunia akademik, menjadi setara.

Komunitas Pustakawan yang Kritis
Hal yang menarik lainnya adalah komunitas pustakawan di Amerika Serikat yang sangat kritis terhadap perkembangan yang bisa berdampak pada perpustakaan dan profesinya. Komunitas pustakawan di Amerika Serikat terlibat aktif dalam gerakan akses terbuka terhadap informasi. Perpustakaan berfungsi sebagai penghubung dan penyedia informasi yang lebih murah bagi publik.

Mereka bekerja dengan para akademisi dan organisasi-organisasi penting. Salah satunya, adalah advokasi kepada para akademisi untuk tidak mempublikasikan tulisannya melalui penerbit-penerbit yang mahal. Sebaliknya, mereka mendorong pendirian penerbit-penerbit di universitas-universitas dan menerbitkan tulisan-tulisan para dosennya sendiri. Hal ini merupakan upaya untuk menyediakan tulisan akademik dengan harga yang lebih murah.

Selain itu, komunitas pustakawan juga terlibat dalam advokasi hak cipta. Misalnya, menyebarluaskan informasi mengenai hak-hak penulis terutama dalam penandatangan kontrak dengan penerbit. Di Amerika Serikat, penerbit umumnya memasukkan pasal yang mengharuskan penulis untuk membayar mereka untuk melakukan distribusi karyanya di lingkungan pengajarannya. Komunitas pustakawan melakukan advokasi kepada penulis untuk meminta pasal ini dihapus sehingga distribusi karya yang diterbitkan kepada lingkungan ajarannya tidak dikenakan biaya.

Komunitas pustakawan juga mengadvokasikan posisi dan pandangan mereka terhadap UU Hak Cipta. Misalnya, hak untuk membuat duplikat tambahan untuk perpustakaan dari bahan-bahan yang diperuntukan untuk kepentingan penyimpanan. UU Hak Cipta Amerika Serikat membolehkan untuk membuat micro film dari koran-koran lokal atau bahan-bahan yang sudah jarang ditemukan dibolehkan untuk kepentingan penyimpanan. Namun demikian, komunitas pustakawan di Amerika Serikat berpandangan, perpustakaan memiliki hak untuk membuat duplikasi tambahan dari micro film yang sudah dibuat untuk kepentingan penyimpanan itu. Komunitas pustakawan di Amerika Serikat juga menentang privatisasi informasi yang diatur dalam WTO.

Komunitas pustakawan ini memiliki organisasi yang efisien. Biaya keanggotaan digunakan untuk membiayai staff dalam skala kecil di Washington DC. Visinya adalah untuk melindungi kepentingan perpustakawan. Fokus pekerjaan mereka adalah isu-isu yang berdampak pada perpustakaan, hak cipta. Selain melakukan kegiatan di atas, mereka juga seringkali melakukan presentasi di hadapan kongres agar mengetahui isu-isu yang dihadapi oleh para pustakawan. Mereka juga aktif bila ada kebijakan nasional yang melanggar hak untuk memperoleh informasi demi alasan keamanan nasional. Sebuah kisah yang seharusnya menginspirasi profesi pustakawan di Indonesia.

Sunday, January 4, 2009

Lost in Translation in France: Paris dan Pantat Babi


Kisah ini terjadi sekitar bulan akhir Oktober- awal November 2005, segera setelah ujian Term IA, kalau tidak salah. Harap maklum kalau banyak bunga-bunga kalimat yang meloncat sana-sini tidak karuan. Tanda bahwa si monster berkepala banyak belum berhasil ditaklukkan :-)

Eropa merupakan benua yang sangat menarik. Sebuah benua yang membentangkan pelbagai negara yang letaknya berdekatan dan relatif terjangkau, baik dari urusan transportasi maupun ijin masuk. Bila memegang visa schengen, lebih memudahkan untuk menjelajahi beberapa negara yang dapat ditempuh hanya dengan kereta api dan tanpa perlu mengurus visa seperti Paris, Perancis.

Kenapa Perancis jadi tujuan pertama jalan-jalan di Eropa? Karena negara ini konon kotanya penuh dengan bangunan yang tidak saja megah namun juga eksotik dan romantis. Negara yang ibukotanya merupakan pusat kuliner, pusat fashion dan pusat belanja. Negara dimana bahasanya menjadi salah satu bahasa resmi PBB. Negara yang konon katanya bahasanya paling romantis di dunia. Tidak heran bila negara ini adalah tujuan pertama jalan-jalan kami segera setelah selesai ujian pada termin I di bulan November 2006 (benar-benar segera dalam pengertian, ujian selesai jam 13.00 dan kami berangkat pukul 14.00 tepat!).

Hmmm, sebenarnya saya juga kurang paham dengan pemahaman umum yang diperoleh tentang Perancis dan romantis. Atau mungkin, saya adalah salah seorang yang berhasil lari dari konstruksi sosial yang menyatakan bahwa "Perancis" dan "teromantis di dunia" selalu berjalin kelindan. Segala sesuatu tentang perancis pasti romantis. Entah apa yang digunakan sebagai parameter romantis, mungkin karena pengucapan bahasanya yang rumit. Untuk melafalkan huruf "u" Perancis saja, mulut kita harus dimonyongkan membentuk "o" sementara secara bersamaa lidah kita membentuk huruf "u". Itu hanya untuk huruf u! Dan mereka tidak mengucapkan huruf "h", jadi nama saya dibaca "erni". Apa bedanya dengan erni, kalau gitu? Ah, sudahlah. Yang rumit-rumit kan sepertinya keliatan punya nilai teristimewa.

Dalam kepala saya, bahasa perancis adalah suara vokalis perempuan yang sering disetel Kay, dengan suaranya yang tidak serak namun mendesah sepanjang lagu (ya, sepanjang lagu!), "Je ta'ime.... je ta'ime.... je tai'meeeeeee...". Itu saja isi liriknya. Atau, cerpen bahan lomba cerita dalam bahasa perancis yang dulu saya ikuti waktu SMA "Rund rund moi ma jambe". Ini adalah kisah tentang hantu paha sapi yg tergantung-gantung (bingung kan? saya juga!). Atau kalau mau ilmiah dikit, teringat akan tulisan seorang profesor bahasa dari Belanda yang dalam bukunya tentang evolusi bahasa di dunia mengatakan bahasa perancis adalah mirip (atau bahkan tidak lebih bagus) dengan bahasa katak. Atau setidaknya, bukan jenis bahasa yang sepantasnya didudukan pada tahta bahasa yang membuat para linguist terpesona. Jadi, Perancis = romantis? Ah, rumus yang salah! :-)

Kembali ke cerita, dari sekian banyak tujuan wisata di Perancis, kami memfokuskan pada dua kota saja, Marseilles dan Paris, tentu saja. Marseilles adalah kota di belahan selatan Perancis yang dekat laut. Mereka adalah contoh dari penarikan "sample" yang tepat dari indikator keterwakilan wilayah, sekedar untuk memberikan aroma yang berbeda. Meskipun demikian, konsistensi kedua kota ini dalam menyuguhkan kemegahan yang eksotik tetap sama.

Ada dua jenis level turis. Level pertama yang paling standar dan paling sering dilakukan adalah turis hit and run. Datang hanya beberapa hari sekedar untuk mengunjungi landmarks, mencicipi masakan lokal di restoran setempat, foto-foto, beli suvenir, upload di jaringan sosial di dunia maya and they’re done. Turis level kedua adalah turis penikmat dan pencinta kebudayaan. Mungkin mereka datang sama lamanya dari turis level satu, namun mereka lebih memilih untuk tinggal di rumah kenalan “orang lokal” yang sering berfungsi sebagai personal guide, mencicipi masakan rumah setempat, menghabiskan waktu dengan mengobrol hingga larut malam, singkatnya merasakan budaya lokal.

Untuk alasan yang murni keterbatasan sumber daya :-), kami jenis turis level pertama. Tepatnya, turis level pertama yang kere. Pergi dengan tiket yang paling murah dan menginap di penginapan murah karena hanya difungsikan untuk menyimpan barang. Membawa rice cooker kecil, beras, piring, sendok-garpu, dan gelas. Dan ini yang paling parah, membawa lauk-pauk untuk dimakan selama perjalanan karena benar-benar menghemat biaya. Biasanya, ini tugas rutin berdua dengan endah. Lauk yang selalu menjadi andalan adalah ayam goreng, daging gepuk, kerling tempe, teri dan kacang (karena bikinnya pake kedipan mata hehe), serta sambal jahanam khas kami berdua. Makin pedas, makin irit karena makannya lebih sedikit hehe. Sementara untuk urusan akomodasi, Adrian dan Partono. Jadi, kami berempat, saya, endah, adrian dan partono.

Kami pun berjalan-jalan seharian setiap hari. Dalam perjalanan inilah, kali pertama saya terpaksa memakai body lotion. Kulit saya yang biasanya baik-baik saja dengan iklim kering Eropa, terpaksa menyerah kalah. Sekujur paha saya merah-merah dan rasanya sedikit perih. Berkat body lotion Endah :-), saya pun nyaman berjalan-jalan ke menara eiffel, chateau de versailles, moulin rouge, sacre de coure, museum louvre, disneyland, dll (I hope these are the correct spelling for those place). Entah karena sudah memasuki musim dingin atau memang kami kelaparan karena berjalan jauh, persediaan bahan makananpun menipis. Pikir punya pikir, kami harus membeli makanan. Lebih memikirkan lagi sebagai muslim (hanya Adrian yang Kristen tapi karena kita berdemokrasi, jadi minoritas harus nurut ke mayoritas hehehe), ayam panggang merupakan pilihan yang tepat.

Dalam perjalanan pulang dari sacre de coure, kami melihat ayam panggang menggiurkan dijajakan di depan toko daging di pinggir jalan. Ayam-ayam itu baru saja digiling. Saya hitung, tinggal 3 buah ukuran satu ayam. Warnanya coklat gelap habis dipanggang. Karena turis kere, kami mau tau dulu berapa harganya. Tapi ah, ya! Kami kesulitan berkomunikasi. Satu hal yang saya tidak suka lagi tentang Perancis, arogansi masyarakatnya terhadap dirinya sendiri. Narsis. (Padahal katanya, narsis adalah salah satu sifat dari psikopat, hihihi...). Mereka hampir mirip dengan orang Jerman atau Jepang, yang hanya mengakui bahasanya sendiri. Sampai ada joke, kalau di Perancis sebaiknya berbahasa jawa, jangan bahasa Inggris, atau bahasanya negara maju. Dijamin, tidak akan dijawab. Tetapi, yang kami hadapi adalah para imigran. Jadi, mereka punya dua bahasa, bahasa Perancis dan bahasa asalnya, bahasa Arab.

Toko daging itu cukup kecil. Memanjang 6 meter ke belakang dengan lebar 3m. Pintu masuk ada di sisi kanan. Di sebelah kiri, ada etalase kaca memanjang yang memajang berbagai macam daging. Namun, yang menarik perhatian saya adalah daging --well, benda tepatnya--- mirip pantat babi, saya yakin lengkap dengan ekor kecilnya yang berwarna pink! Saya sampai terpana beberapa saat. Bukan karena saya hobi mengoleksi boneka babi dalam segala bentuk dan materi. Bukan juga karena ternyata si pedagang daging yang kami anggap saudara seiman ini menjual babi, tapi si pantat babi itu begitu nyata-nya sehingga bila ada babi dipotong dua, bagian pantatnya dipajang, nah itulah dia! Apakah itu pajangan? Karena tidak mungkin si babi dijual masih dalam bentuk utuhnya, bukan?

Endah dan partono pun berdebat. Tadinya saya dan adrian ikut campur, namun akhirnya saya cape dan duduk agak jauh dari toko. Buat saya, entah itu pajangan atau pantat babi beneran, saya tidak perduli. Toh, ayam panggangnya terletak di depan. Di box yang terpisah pula. Saya sebenarnya juga tidak terlalu peduli apakah ayamnya disembelih dengan baca bismillah atau dengan kejamnya disetrum listrik oleh orang kresten, budha, hindu atau atheis sekalipun. Ini keadaan darurat, bung. And please forgive me, God. I know that You are the most merciful, the most understanding, terutama untuk hamba-Mu yang sedang kelaparan ini :-) Sementara adrian, dia kristen. Kalimat singkat ini sudah menjawab pertanyaan, bukan? Namun demi kata toleransi, meski jumlah kami seimbang kali ini, kami biarkan mereka berdiskusi sendiri. Memutuskan apakah ayam itu layak dimakan atau tidak.

Endah dan Partono masih berdebat dengan saudara seiman kami, untuk memastikan kehalalan para ayam. Mereka berdebat lama soal itu. Laki-laki tua bermuka Arab itu hanya bisa berbahasa Perancis atau Arab. Sementara endah dan partono, berbahasa Indonesia, Inggris dan mungkin Jawa, sedikit. Kemudian mereka terlibat dalam pembicaraan yang lebih sengit.

Saya dan adrian pun ikut nimbrung. Karena tampaknya urusan perut lebih penting ketimbang si pantat babi, kami pun mencoba berbicara dengan bahasa Inggris kami yang pas-pasan, "We want to buy these chicken, sir. How much is it? Lalu dia mengucapkan, "bldkdywls;erthtosketh;s.ndt;thwe" yang terdengar seperti bahasa Arab (maafkan keyboard latin saya :P) dan tidak kami mengerti, meskipun kami Islam dan meskipun kami membaca Qur'an dalam bahasa Arab (salah satu yang karim tidak habis pikir, bagaimana bisa kami membaca dan meyakini tanpa memahami dan hanya mengandalkan terjemahan?). Tapi mukanya masih keliatan bingung. Mulut-mulut kami memang terlalu cerewet. Lantas dia masuk ke dalam, memanggil saudara seiman kami yang lain. Kami pun lagi-lagi serempak bertanya dan berdiskusi di antara kami, apakah mau membeli 1, 2 atau ketiganya. Saudara-saudara seiman kami tampak bingung dihadapkan pada keempat saudara jauh yang bawel dengan bahasa yang tidak jelas. Ikatan saudara itu terjalin hanya karena jilbabku dan endah. Simbol Islam yang diterima dimana-mana. Kali ini, jilbab kami benar-benar bermanfaat, tidak lagi jadi penanda caci-maki orang Eropa yang super bodoh tidak memahami dunia Islam yang spektrumnya sangat luas, dimana muslim Indonesia jauh sangat moderat dibanding muslimnya Arab!

Di tengah keributan itu, dia akhirnya mengerti.. Lantas dia mengacungkan tangannya, 5 jari! Oh, rupanya sudah sampai pada pemahaman bahwa harga satu ayam itu 5 euro. Wah, cukup murah! Satu ayam itu bisa untuk 2-3 kali makan. Cukup untuk menahan perut kami selama 2 hari. Kami berdebat lagi soal berapa jumlah ayam yang harus dibeli. Dasar turis kere, berdebat untuk skala 5-15 euro saja, hahaha! Angka 2 seolah-olah keputusan yang baik, ditengah-tengah, jadi kami pun mengacungkan dua jari. Tapi dua orang itu diam saja, tidak ada tanda-tanda akan membungkus si ayam. Kami pun ribut lagi, berusaha menjelaskan maksud kami dari bahasa yang kami bisa, bahasa Inggris dengan logat Indonesia :-) Laki-laki penjual ayam itu kelimpungan menghadapi kami berempat yang bersuara secara bersamaan. Belum lagi, dalam bahasa yang mereka tidak mengerti betul. Yang tertua mengambil si ayam, dua buah. Kemudian, "bldkdywls;erthtosketh;s.ndt;thwe.. shabar.." Aha! shabar! Saya tau kata itu. "Eh.. eh.. dia bilang shabar.. kita musti tunggu, kali.. disuruh sabar.."

Kemudian, saudara kami yang tidak kami kenal namanya itu membungkus dua ayam yang tadi dia ambil dan memberikan pada kami. Uang 10 euro pun kami berikan. Tapi mereka menolak. Lho? Kami pun lagi-lagi kompak bersuara memaksa mereka menerima. Namun mereka lagi-lagi memaksa kami untuk menerima dua ayam yang dibungkus itu dengan bahasa "bldkdywls;erthtosketh;s.ndt;thwe.." yang tidak kami mengerti lagi.

Rupanya ayam itu diberikan ke kami secara gratis. Dan rupanya pula, saudara-saudara kami itu tadi berdiskusi mengenai pemberian ayam ini, buat kami. Ah, baiknya! Kami sudah lupa sama si pantat babi. Dan, kami sudah lupa pada bahasa percakapan standar Perancis atau Inggris. Yang terpikirkan oleh saya saat itu adalah penutup-penutup di kop surat atau yang seringkali dikemukakan oleh teman-teman saya yang aktivis Mushola. Saya tidak teringat "merci beaucoup". Saya juga tidak teringat "thank you". Yang saya ingat dan langsung katakan adalah, "Jazakillah khayran katsiran!". Bahasa yang buat teman saya yang aktivis musholla mungkin lebih romantis dari bahasa Perancis. Bahasa yang untuk bapak-bapak saudara semuslim kami adalah bahasa yang mereka pahami. Karim terbahak-bahak ketika saya bercerita tentang itu. Dia bilang, bahasa yang saya gunakan adalah bahasa yang tua. Kuno. Bahasanya kakek-kakek. Saya cuma tersenyum, mengingat saudara semuslim kami yang berbaik hati memberikan ayam pada musafir seiman (bukan turis :P), memang sudah beranjak kakek-kakek. Berarti, pas! Masalah aktivis mushola di Indonesia yang dengan bahasa romantisnya ternyata kuno dan gak gaul untuk ukuran masyarakat Arab jaman sekarang, saya tidak peduli!

Friday, January 2, 2009

Soal Israel dan Jihad (lagi)

Menutup akhir tahun, lagi-lagi kita dihadiahkan berita tentang penyerangan Israel (yang didukung Amerika, tentu saja) ke jalur Gaza, Palestina. Seperti biasa, hal ini memicu pelbagai perdebatan dan tindakan yang sudah "ketebak". Jum'at kemarin (2/1/2009), ribuan orang berdemonstrasi dari bundaran HI ke kedutaan Amerika Serikat yang dimotori oleh PKS, tentu saja.

Perdebatan lainnya pun meruak, seolah membenarkan bahwa bahkan orang sekelas Obama pun yang dengan lantangnya berbicara tentang "Change. Yes, we can" dan mendapat simpati banyak orang di dunia mungkin benar akan melakukan perubahan di Amerika Serikat seperti yang dijanjikannya, kecuali satu: kebijakan Amerika Serikat dalam konflik Palestina dan Israel. Bukannya saya tidak mendukung Obama, tetapi saya hanya ragu seorang Obama bisa melakukan perubahan sedrastis itu di jaringan pemerintahan Amerika Serikat. Kalaupun dia berani melakukan perubahan itu, saya jadi bertanya juga, akankah nasib dia akan sama seperti Presiden kulit hitam di film 24? Buat saya, Amerika Serikat, baik demokrat maupun republik punya kata yang sama dalam hal yang satu itu. Cuma bedanya, republik memakai kekuatan senjata, sementara demokrat memakai kekuatan ekonomi. Caranya saja yang beda, tapi at some point, kebijakannya masih sama.

Dan perdebatan "klasik" yang muncul adalah soal semangat ribuan jihaders muslim Indonesia yang bertekad untuk pergi ke Palestina, meski hanya dengan modal dengkul.

Hari ini, gama posting satu artikel di facebook mengenai apakah tidak biadab bila berteriak bahwa Israel tidak biadab? ---Saya sebel sama penulisan model gini, bikin bingung hehehe. Berikut artikelnya:


Dia bilang, "Israel tidak biadab."
Dia bilang, "Ini perang, dan wajar Israel (dan Amerika Serikat) menyerang habis2an."

Saya bukan ahli sejarah, bukan pula ahli agama.

Tidak banyak fakta yg bisa saya utarakan utk mendukung argumen saya menentang pendapatnya.Kita sedang melihat serangan membabi-buta.

Kita tdk melihat balasan serangan yg proporsional.Kita membicarakan korban
tewas dan luka dari umat manusia.
Kita tdk bicara ttg korban tewas dan luka dari umat Islam saja, Yahudi saja, atau Kristen saja.
Kita prihatin, tanah Palestina terus diganggu oleh kelompok yg tdk berhak
atasnya.
Kita sedih, anak2 Palestina itu kehilangan masa depannya setelah mortir menerjang nyawanya.

Saya sudah diam.
Dia bilang lagi, "Hamas juga akan berbuat hal sama (seperti tindakan Israel) jika punya kekuatan hebat."

Saya bukan ahli sejarah, bukan pula ahli agama.

Tidak banyak fakta yg bisa saya utarakan utk mendukung argumen saya menentang pendapatnya. Tapi, lihat di layar kaca. Israel digdaya, binasakan Palestina, mengsarakan umat manusia. Dan bukan hanya saat ini, tapi sejak lebih enam puluh tahun lalu.

Dia terus berkata.
Saya tetap diam.
Saya bukan ahli sejarah, bukan pula ahli agama.
Sementara dia pengacara.
Maka, saya memilih diam.

Buat saya, yang menarik kalimat "sementara dia pengacara" yang seolah mengamini stereotype bahwa pengacara itu makhluk bawel yang belum tentu argumennya bermutu hehe.

Menurut saya, persoalan konflik Israel-Palestina dan keterlibatan Amerika Serikat didalamnya dengan persoalan FPI pergi jihad ke Palestina adalah dua persoalan yang berbeda, bila memiliki cara pandang tertentu, tentu saja :-)

Persoalan yang pertama, lebih menyangkut kemanusiaan dan penghargaaan terhadap hukum internasional utamanya perlindungan terhadap hak-hak masyarakat sipil (baca: perempuan dan anak) dalam perang termasuk proses negosiasi perdamaian diantara keduanya. Dalam konteks ini, kita tidak butuh identitas agama tertentu untuk berposisi dan berpihak, karena keberpihakan kita sudah jelas, pada rasa kemanusiaan. Bukankah ini adalah inti dari ajaran agama?

Artikel di atas sekedar melemparkan pertanyaan menggelitik berandai-andai, bila posisinya dibalik, Palestinalah si singa yang berkekuatan besar menyerang Israel, akankah kita masih seribut dan semarah sekarang? Bila kita punya perspektif yang saya kemukakan tadi, kita akan sama marahnya terhadap tindakan yang menyerang membabi-buta dan menyebabkan perempuan dan anak-anak menjadi korban perang. Saya belum pernah bertemu Rasulullah, tapi saya yakin Rasulullah pun membenci muslim yang seperti itu. Cuma mungkin, menjadi batu ujian yang lebih berat. Karena kalau kata J.K. Rowling, to stand against your friends is much harder than to stand against your enemies. Meningatkan dan bertindak adil terhadap teman jauh lebih berat daripada melawan musuh.

Sementara persoalan yang kedua, adalah persoalan bagaimana umat manusia memahami dan memaknai jihad itu sendiri. Siapakah yang perlu kita bela? Allah? Muslim? Allah yang seperti apa? Muslim yang mana? Dan, bagaimana kita mengatasi masalah itu, apakah juga dengan kekerasan? Ironis rasanya, bila kita pergi jauh-jauh membela "saudara" di pelupuk mata sana tanpa mempedulikan sedikitpun "saudara" kita yang hanya sejengkal jaraknya dari rumah kita? Bukankah masalah ketidakadilan, kemanusiaan dll di bumi pertiwi yang konon katanya muslim masih menjadi mayoritas ini masih banyak? Belum lagi, cara menyelesaikan masalah itu tidak jarang dengan bahasa kekerasan dan laku tangan besi? Mengkriminalisasi, menghancurkan, mengeluarkan fatwa-fatwa yang absurd?

Cara berpikir yang praktis, mungkin tidak terlalu peduli dengan para jihaders dari FPI yang tidak sabar untuk mati syahid di Palestina. Mungkin ini win-win solution. Mereka mendapatkan jihad dan peluang menjadi syahid, sementara kita disini merasakan ketenangan sejenak dari ulah mereka selama ini yang menganggap dirinya tentara Allah. Sementara soal konflik Israel - Palestina? Ah, siapa yang mampu memberi jawaban terhadap pertanyaan satu ini?

Ps. Kemarin tidak sengaja nemu satu ayat, yang menurut saya menunjukkan keironisan kaum berkitab, " Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dan yang berselisih hanyalah orang-orang yang diberi (kitab), setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka sendiri. Maka dengan kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus" (Al-Baqarah: 213). Sebenarnya dari ayat ini muncul banyak pertanyaan. Sayangnya, saya belum menemukan buku asbabun nuzul yang menurut saya cukup baik. Mungkin karena kurang pengetahuan who's who dalam bidang ini juga sih hehehe...

Thursday, January 1, 2009

1 Januari 2009


1 Januari selalu kami rayakan. Bukan karena pergantian tahun masehi. Bukan karena mengikut arus sekitar yang merayakannya. Bukan karena kami senang meniup trompet. Karena 1 januari adalah ulang tahun mama. Tahun ini, mama berganti umur menjadi 73 tahun. Tua, ya? Orang tua yang pecicilan tidak bisa diam, masih kepingin ini itu sehingga diam-diam memakan coklat dua keping, es krim semangkok dan bakso dari abang-abang yang lewat hingga gulanya naik mencapai 530! Untung anaknya sudah kebal dan tidak hobi kagetan, so I guess I was cool in handling her.


For her kids, she's always been the uniquest person we ever known. Even for aki dan nini, also her sisters and brothers. For years, I've been trying to understand her. All her decisions, all her actions and those dramas, gosh, especially those dramas. And, I still can't understand her. I was at the point where I just accept her as she is. A unique person.


There are times that I feel I hate her so much (yes, i know.. karim told me --the non-english speaking person-- that "hate" is a strong word), but I can't hate her. I simply can't. It's not just because she is my mother so i owe her my life no matter what (kata ustadz sih gitu). But if I looked at her, especially during her sleep, I'm having a feeling... like a mommy watching her naughty girl sleeping. The way she sleeps, the way she hugs that guling, how her face looks innocent after what she is done which drive us all crazy.


I know that what happened between us is totally screw the general idea of mother-daughter relationship. I'm supposed to be the girl who always do the naughty things and drive my mom crazy. But with her, it's like the opposite. But still, I can't hate her.


Two reasons why I love her. I owe her my life when she was giving me birth (Yes, I listened to what those ustadz told us, I didn't fall asleep during their preaching :D). I was such a big baby. And she was getting old, too old to have a baby. She said it was an accident, forgot to take those birth-control pills and she was injected 16 times by the doctor during labour. The second reason is, she's my dad's wife. The light of his life. The person that i treasure the most in this life (halah...gombalnya keluar). I knew him for like, 6 years and 1 month (because he passed away exactly a month after my 6th birthday) but I'm taking him with me always. They said that a person is not really died. There's always a piece of him/her that is still with us. And he's one of that person to me. And through his unconditional love to her, is the way that I could understand her.


Apart from her hobby to make drama out of everything, she's a cool mom. The one who doesn't make too many rules. The one that told us to have fun in life. The one who initiatevely without being asked by her kids, gave us permission to date at the age of 12 (And ironically, I didn't date until I was 26 haha..). The one who basically, trusts her kids. The one who let us grow and be the person we want to be. The one who may not understand our world but since we're happy with ourselves and what we do, she simply loves and proud of us. And I could not imagine if she has a different character, the old, conventional and ordinary parents. Of course, among our cousins, we're a little bit weird for them. But I think, we're just turn out ok. I think, I've grown to be a decent woman. And she is part of it. So am glad that she could live this long. And I don't mind postponing my study plan, just for her. Happy birthday, mom!