tag:blogger.com,1999:blog-57114084493284489992024-02-19T08:21:52.059-08:00IdiosyncracyLaws alone can not secure freedom of expression; in order that every man present his views without penalty, there must be spirit of tolerance in the entire population. (Albert Einstein)herni sri nurbayantihttp://www.blogger.com/profile/02256987121040537652noreply@blogger.comBlogger53125tag:blogger.com,1999:blog-5711408449328448999.post-45798143615243781962010-03-05T00:40:00.000-08:002010-03-05T00:44:17.553-08:00RT Remeh RW Kerdil<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEifMTcur3L8-idj5b9vbJxVGTCSBcOYY-TwGMzkTK68jjHxXAOO2lDobbyUOpzKot-f9rCym8BVxjXdwSXKr-XLJ8aU5jpIhC3sX0fvxW6Ws4mSZww2XOXHuPO6QA02oncFWeaUuqwEcgc/s1600-h/istriku+seribu.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 213px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEifMTcur3L8-idj5b9vbJxVGTCSBcOYY-TwGMzkTK68jjHxXAOO2lDobbyUOpzKot-f9rCym8BVxjXdwSXKr-XLJ8aU5jpIhC3sX0fvxW6Ws4mSZww2XOXHuPO6QA02oncFWeaUuqwEcgc/s320/istriku+seribu.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5445067802701382530" /></a><br /><span class="Apple-style-span" style=" color: rgb(51, 51, 51); line-height: 14px; font-family:'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif;font-size:11px;"><b>Seri Ilmu Hidup Emha Ainun Nadjib</b><br />Membaca adalah kegiatan yang mencerahkan dan berguna. Ia bisa dilakukan dimana dan kapan saja. Ketika menunggu antrian, di waktu senggang, di angkot, bahkan di kamar mandi sekalipun. Terlebih membaca karya seorang Emha Ainun Nadjib, budayawan yang kemudian mendedikasikan hidupnya untuk kegiatan seni dalam mencintai Allah lewat Kiai Kanjengnya.<br /><br />Kritis, gemas, frustasi tapi masih berusaha menyimpan secercah harapan buat negara Indonesia yang makin carut-marut ini, Emha menerbitkan buku kecil yang disebutnya "Seri Ilmu Hidup". "Istriku Seribu" adalah seri pertama yang diterbitkannya Januari 2007 lalu. Buku ini menarik, karena meski dia mengambil tema diskusi "remeh dan kerdil" seperti poligami, namun ia berhasil menariknya menjadi suatu bahasan yang maha penting. Soal kecintaan pada Allah dan Rasulullah, soal bahaya kecintaan yang membabi buta pada dunia, soal pentingnya misi seorang manusia sebagai khalifah di dunia dan bagaimana keduniawian seharusnya ditempatkan oleh manusia, dan terakhir tapi tidak kalah penting, soal "cinta segitiga" antara Allah, Rasulullah, Suami-Istri dalam konteks ar-rahman dan ar-rahim.<br /><br /><b>Polimonogami Monopoligami</b><br />Buku yang cuma 64 halaman itu mengawali kisahnya dari perdebatan tanpa henti soal poligami dan perlahan mengdekonstruksi serta memberinya suatu makna baru yang disebutnya sebagai "Polimonogami Monopoligami". Dikemas dalam gaya dialog antara si penulis dan Yai Sudrun, Emha juga memasukkan konteks kekinian negara Indonesia dengan perilaku makhluknya yang "lucu" bagai drama komedi berjilid-jilid.<br /><br />Dengan gayanya yang tidak menggurui tapi usil menyentil dengan mengajukan pertanyaan dan mengajak pembacanya untuk melihat sisi lain dari suatu persoalan, buku kecil ini direkomendasikan untuk dibaca semua orang. Membaca buku ini, terutama dalam perjalanan dari rumah ke kantor yang hampir selalu dalam suasana kemacetan, bagaikan menemukan oase yang mampu merevitalisasi fisik dan jiwa yang dilemahkan oleh rutinitas keseharian.<br /><br />Selain itu, membaca tulisan Emha, saya teringat dengan pesan-pesan yang selalu disampaikan oleh KD, terutama untuk tidak terjebak dalam cinta keduniawian yang menyesatkan dan menjadi jiwa yang penakut menghadapi ketidakadilan. Emha sesuai porsinya mengkritik dan melawan sekaligus memberikan pencerahan terhadap situasi Indonesia saat ini.<br /><br />Layaknya makanan, ilmu pengetahuan adalah barang dan konsumsi publik yang baru bermakna bila ia dibagi. Oleh karena itu, beberapa kepingan dari buku itu akan disajikan dalam notes HI Duren Tiga Pancoran. Untuk "dimakan", dihabiskan dan jadi bahan renungan bersama.<br /><br />Kepingan pertama adalah "RT Remeh dan RW Kerdil" yang menurut saya sangat pas merefleksikan kondisi Indonesia saat ini, terlebih selepas melihat drama "pertandingan" Pansus Century kemarin. Selamat Menikmati! <b>(hsn)</b><br /><br /><br /><b>RT Remeh RW Kerdil</b><br /><br />Aku warga dari suatu negara yang sangat penuh berisi segala sesuatu yang remeh-remeh, dengan para penghuni yang sangat mengagumi kekerdilan.<br />Aku rakyat dari suatu pemerintahan kerdil yang menjalankan periode-periode remeh.<br />Aku bagian dari perjalanan sejarah suatu masyarakat kerdil yang sangat sibuk menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang remeh.<br />Aku dilingkupi oleh kebudayaan kerdil dengan perilaku-perilaku yang remeh.<br />Oleh ilmu-ilmu remeh yang disangka kehebatan oleh para pemuja kekerdilan.<br />Oleh pembangunan remeh yang menghasilkan bangunan-bangunan kekerdilan.<br />Oleh pertimbangan-pertimbangan peradaban yang remeh untuk berpanjang lebar memperjuangkan monumen-monumen kekerdilan.<br />Oleh ideologi-ideologi besar yang semakin diterapkan semakin memperjelas keremhan dan kekerdilan pelakunya.<br />Oleh karya-karya remeh yang penciptanya merasa besar sehingga kerdil.<br />Oleh tayangan-tayangan remeh yang pembuatnya sangat membanggakannya dan memerlukan puluhan tahun serta penderitaan di akhir kehidupan untuk memahami yang mereka lakukan adalah kekerdilan.<br />Oleh remehnya kekerdilan kepemimpinan.<br />Oleh kerdilnya organisasi dan institusi remeh.<br />Oleh produksi kerdil dan konsumsi remeh.<br />Oleh sekolahan kerdil dan gelar-gelar remeh.<br />Oleh diskusi kerdil dan ceramah remeh.<br />Oleh cita-cita hidup yang remeh yang disangka kehebatan sehingga satu persatu kaki kekerdilannya tersandung batu zaman.<br />Bahkan oleh perilaku ibadah dengan penghayatan kerdil dan perjuangan yang pijakannya adalah keremehan sehingga goalnya hanya dua: kekerdilan atau keremehan.<br />Oleh suatu bangsa yang sangat bergembira dan menikmati segala yang remeh-remeh. Dan yang paling remeh dari segala yang remeh itu adalah bahwa kami semua sama sekali tidak mengerti bahwa itu semua adalah remeh.<br />Lebih remeh lagi karena kami marah kalau ada yang menyebut kehidupan kami sangat bergelimang keremehan-keremehan..<br />Sehingga kamupun lahir sebagai manusia yang sangat remeh.<br /></span>herni sri nurbayantihttp://www.blogger.com/profile/02256987121040537652noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5711408449328448999.post-52474265732086311912010-01-24T22:33:00.000-08:002010-01-24T22:35:12.239-08:00Akses Keadilan untuk Perempuan (2)<p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><b style="mso-bidi-font-weight:normal"><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"">Persoalan Besar Akses Keadilan Berperspektif Perempuan<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"">Akses keadilan berperspektif perempuan penting mengingat di beberapa bidang, perempuan adalah pencari keadilan dan pengguna terbesar institusi peradilan. </span><span style="font-family:"Times New Roman","serif";mso-fareast-language:IN">Komnas Perempuan (2008) mencatat peningkatan pelaporan kekerasan terhadap perempuan hingga 80 persen setiap tahunnya pada periode 2001- 2007 dan menunjukkan lebih dari 25 ribu kasus pada tahun 2007. Dari jumlah kasus tersebut, sebagian besar (82 persen) merupakan kasus KDRT dan sekitar 45 persen korban adalah ibu rumah tangga. Sebagai catatan, ada kemungkinan data ini lebih besar dari realitasnya mengingat sebagian masyarakat masih menganggap tabu untuk melaporkan kasus KDRT. Selain itu, data Susenas (2006) menunjukkan bahwa prevalensi kekerasan terhadap perempuan sebesar 3,1 persen dan terhadap anak sebesar 7,6 persen. Atau, sekitar 3-4 juta perempuan dan sekitar 4 juta anak mengalami kekerasan setiap tahunnya .</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal;mso-layout-grid-align:none;text-autospace:none"><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"">Mengacu pada kerangka akses keadilan berbasis HAM di atas, maka akses keadilan berperspektif perempuan harus ditopang dengan adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin dan memastikan akses diakui oleh hukum. Beberapa peraturan perundang-undangan sudah dibuat untuk menguatkan posisi tawar perempuan di hadapan hukum. Misalnya, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), </span><span style="font-family:"Times New Roman","serif"; mso-fareast-language:IN">UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) sebagai landasan hukum yang kuat bagi pemerintah untuk mencegah dan memberantas kejahatan perdagangan perempuan dan anak, revisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri berikut peraturan pelaksananya.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal;mso-layout-grid-align:none;text-autospace:none"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; ">Selain itu, pelbagai upaya lain juga sudah dilakukan. Misalnya, pembuatan perangkat yang dibutuhkan seperti ruang khusus pemeriksaan untuk perempuan, pelatihan-pelatihan gender bagi aparat penegak hukum, dan lain sebagainya. Akan tetapi, perempuan masih mengalami hambatan dan kesulitan akses keadilan.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; ">Keadilan tidak bergerak dalam ruang yang vakum sehingga dimaknai secara berbeda-beda oleh lapisan masyarakat maupun aparat penegak hukum. Bagaimana keadilan itu diartikan dan diterapkan oleh aparat penegak hukum sangat dipengaruhi oleh struktur, sistem dan budaya yang tumbuh dalam masyarakat, yang belum memperhatikan kepentingan dan pengalaman perempuan. Akibatnya, terjadi jurang pemisah antara keadilan yang dipahami oleh penegak hukum dan perempuan pencari keadilan. Sehingga, pemenuhan hak-hak perempuan masih dibentengi oleh persepsi mengenai hak-hak, keadilan dan akses terhadap keadilan yang masih bias gender baik dalam mekanisme formal maupun informal. Ada beberapa persoalan besar kesulitan perempuan mengakses keadilan.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"">Pertama, keadilan dibuat untuk tidak mendengar dan berjarak dengan realitas perempuan. Pengalaman perempuan seringkali tidak diperhatikan dan bahkan dinegasikan. Buku </span><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";mso-fareast-language:IN">“Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan demi Keadilan” (Komnas Perempuan: Jakarta, 2009) </span><span style="font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman","serif"">mengungkapkan salah satu </span><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif";mso-fareast-font-family: "Times New Roman";mso-fareast-language:IN">perempuan korban penyiksaan di Aceh pada masa konflik bersenjata 2001 yang bercerita tentang keadilan, yaitu:</span><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif""> </span><i><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif";mso-fareast-font-family: "Times New Roman";mso-fareast-language:IN">”Adil adalah adanya kesempatan untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi (pada saya) dan itu diterima sebagai sebuah fakta dan kebenaran”.</span></i></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; ">Perempuan-perempuan korban konflik mengalami kesulitan dalam membawa kasus kekerasan yang dialaminya pada masa konflik ke hadapan hukum. Misalnya, kekerasan terhadap perempuan pada masa konflik dianggap sebagai sesuatu yang “wajar” untuk situasi konflik. Sebagai contoh, pengalaman salah satu korban penyiksaan di bawah ini:</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><i><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";mso-fareast-language:IN">“Mereka tidak tahu kecuali bahwa saya hanya dipukul. Saya tidak cerita kepada suami. Saya sangat takut dan merasa sangat malu. Saya tidak berani ambil resiko dan tidak berani membayangkan kalau suami saya tahu. Kemungkinan besar, dia tidak bisa menerima bahwa saya telah ditiduri oleh orang lain, walaupun itu diperkosa…. Malu, kalau terjadi perceraian dan masyarakat nanti akan cari tahu (apa alasanya).”</span></i><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";mso-fareast-language:IN"> <i>(Perempuan Aceh korban penyiksaan seksual pada masa konflik bersenjata, 2003)</i></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal;mso-layout-grid-align:none;text-autospace:none"><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";mso-fareast-language:IN">Kedua, masih adanya hambatan sosial dan budaya. Dalam kasus <span style="mso-bidi-font-style: italic">perempuan korban kekerasan pada masa konflik di atas, mereka kesulitan untuk memberikan bukti-bukti tindak kekerasan yang dialaminya serta perspektif kebudayaan umum terhadap tubuh perempuan yang seakan sah dieksploitasi dalam bentuk apapun di ruang privat atau publik. Seandainya pun kasus tersebut di bawa ke muka publik, mereka juga mengalami hambatan psikologis dan sosial untuk menghadapi segala konsekuensi dari masyarakat sekitarnya akibat terbongkarnya kasus mereka di hadapan umum. Hal yang sama juga terjadi pada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dalam situasi normal. P</span></span><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"">ersoalan kemiskinan, domestikasi dan subordinasi status sosial perempuan membuat perempuan semakin termarjinalkan dalam akses keadilan.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; ">Ketiadaan perspektif perempuan dan pengabaian pengalaman perempuan dalam struktur pengambilan keputusan, terutama di daerah, mengakibatkan lahirnya produk hukum dan kebijakan yang tidak memerhatikan kepentingan perempuan. Hal yang sama juga terjadi dalam berbagai mekanisme pencarian keadilan informal di mana kultur patriarki yang kuat menghalangi akses perempuan untuk memperoleh keadilan. Perempuan dihadapkan pada aturan-aturan adat dan agama yang masih biasa jender dan melemahkan posisi perempuan. Posisi perempuan yang masih disubordinasikan sebagai makhluk yang lemah secara intelektual, di bawah laki-laki, tidak perlu diikutsertakan dalam pengambilan kebijakan, tidak memiliki pilihan sendiri, tidak dihargai kontribusinya baik dalam ruang privat dan publik, membuatnya menjadi pihak yang terpaksa pasrah ketika berhadapan dengan dominasi patriarki dalam struktur dan budaya di masyarakat.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; ">Sebagai gambaran, sejak tahun 2005 menunjukkan bahwa sekitar 50% dari total kasus yang dilaporkan dicabut kembali oleh korban sehingga proses hukum tidak dapat diteruskan (Komnas Perempuan, 2008). Pencabutan laporan ini diakibatkan perempuan korban masih merasa malu, bersalah atas kekerasan yang menimpa dirinya dan khawatir dipersalahkan oleh keluarga dan masyarakat di sekelilingnya.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal;mso-layout-grid-align:none;text-autospace:none"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; ">Ketiga, tidak semua perempuan memiliki akses keadilan yang sama. Meski data Pengadilan Agama 2007-2009 menunjukkan bahwa dari 97% kasus yang masuk adalah perceraian dimana jumlah perempuan yang mengajukan perceraian adalah dua kali dari laki-laki,<a style="mso-footnote-id:ftn1" href="file:///F:/PSHK%202010/FHUI/Jurnal%20LSD_Herni_Akses%20Keadilan%20terhadap%20Perempuan_revisi%20mbak%20inge.doc#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character:footnote"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size:12.0pt;line-height:115%; font-family:"Times New Roman","serif";mso-fareast-font-family:Calibri; mso-ansi-language:IN;mso-fareast-language:EN-US;mso-bidi-language:AR-SA">[1]</span></span></span></span></a> namun perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan memiliki kesulitan mengakses keadilan. Sembilan dari sepuluh perempuan kepala rumah tangga tidak dapat mengakses pengadilan untuk mengajukan kasus perceraian mereka.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"">Sebagai tambahan, hasil temuan LBH-APIK mengungkapkan bahwa kasus-kasus perempuan yang ditangani oleh organisasi perempuan masih terfokus pada kasus-kasus yang terjadi di perkotaan (World Bank, 2008: 6). Kasus-kasus perempuan di pedesaan, masih belum menjadi bagian dari agenda penanganan organisasi perempuan. Akibatnya, perempuan, terutama yang berasal dari kelompok masyarakat miskin dan tidak terdidik mengalami lebih banyak hambatan untuk memperoleh dan mempertahankan hak-haknya di di hadapan hukum, terutama dalam proses peradilan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"">Keempat, perangkat yang diciptakan khusus untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan tidak berjalan efektif karena terbentur dengan lemahnya kapasitas dan keinginan dari aparat penegak hukum. Dalam contoh kasus yang mengenaskan</span><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif";mso-fareast-font-family: "Times New Roman";mso-fareast-language:IN">, </span><span lang="FI" style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif";mso-fareast-font-family: "Times New Roman";mso-ansi-language:FI;mso-fareast-language:IN">perempuan korban kekerasan </span><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";mso-fareast-language:IN">masih belum terlindungi hak-haknya dan justru </span><span lang="FI" style="font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman","serif";mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:FI;mso-fareast-language:IN">mengalami aksi pembalasan dari pelaku. </span><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";mso-fareast-language:IN">Sebagai contoh, di tengah persidangan kasus pembagian harta gono-gini di Pengadilan Agama Sidoarjo, Eka Suhartini ditikam mati oleh mantan suaminya, Kol. TNI AL Irfan Djumrono. Pelaku juga membunuh hakim yang sedang memimpin sidang, Achmad Taufik. Peristiwa ini mencerminkan perempuan korban kekerasan belum dapat mengakses perlindungan saksi dan korban.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif""><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal"><span style="font-size:12.0pt;font-family: "Times New Roman","serif"">Quo Vadis</span></i></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal"><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif""> Masa Depan Akses Keadilan bagi Perempuan?<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; ">Mewujudkan akses keadilan berperspektif perempuan tidaklah mudah. Sebagai langkah awal adalah mendekatkan perempuan dengan proses di tataran legislasi dan peradilan. Pertama, produk hukum yang dihasilkan harus dipastikan mengandung nilai-nilai keadilan jender yang substansial. Peraturan perundang-undangan adalah produk hukum yang dilahirkan sebagai residu dari pertarungan kepentingan-kepentingan dalam proses politik yang pada akhirnya mereduksi nilai keadilan itu sendiri. Meskipun hakim diberi ruang untuk menginterpretasikan hukum, hakim tetap terikat pada peraturan perundang-undangan dalam mengambil putusan. Oleh karena itu, adalah penting untuk melibatkan perempuan dalam proses legislasi.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; ">Persoalan selanjutnya adalah membuka akses bagi perempuan untuk menggunakan institusi pengadilan, utamanya bagi perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan. Masalah terbesar adalah biaya proses peradilan yang tidak terjangkau. Sebagai gambaran, pada tahun 2008 biaya perkara perceraian rata-rata di pengadilan agama adalah sebesar Rp. 789.666,- dan di pengadilan negeri adalah Rp. 2.050.000,- (tidak menggunakan bantuan advokat) dan Rp. 10.350.000,- (menggunakan bantuan advokat). Jumlah ini sangat jauh bila dibandingkan dengan penghasilan rata-rata 14% masyarakat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan, yaitu Rp. 200.262,-. Oleh karena itu, bantuan hukum terhadap perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan perlu ditingkatkan, yang meliputi tidak saja biaya perkara namun juga biaya transportasi ke pengadilan.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; ">Terakhir namun tidak kalah pentingnya adalah, tekanan publik untuk mendorong perubahan di tataran non-hukum seperti cara pandang dan perilaku para pengambil kebijakan dan aparat penegak hukum. Para pihak yang terkait mulai dari aparat penegak hukum, pemangku adat hingga masyarakat umum yang menjadi bagian dari permasalahan perlu dilibatkan. Kesadaran bahwa persoalan akses perempuan memperoleh keadilan tidak lagi eksklusif menjadi milik perempuan saja, namun persoalan bersama bagaimana menciptakan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan jender. Suatu tata nilai yang perlu diyakini memberikan manfaat bagi semua orang, demi tatanan masyarakat yang lebih baik.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif""><o:p> </o:p></span></p> <div style="mso-element:footnote-list"><br /> <hr align="left" size="1" width="33%"> <div style="mso-element:footnote" id="ftn1"> <p class="MsoFootnoteText"><a style="mso-footnote-id:ftn1" href="file:///F:/PSHK%202010/FHUI/Jurnal%20LSD_Herni_Akses%20Keadilan%20terhadap%20Perempuan_revisi%20mbak%20inge.doc#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size:10.0pt;line-height:115%;font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-fareast-font-family:Calibri;mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:IN;mso-fareast-language:EN-US;mso-bidi-language:AR-SA">[1]</span></span></span></span></a> Laporan Pengadilan Agama 2007-2009, masih berupa draft dan belum dipublikasikan, halaman. 5.</p> </div></div>herni sri nurbayantihttp://www.blogger.com/profile/02256987121040537652noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5711408449328448999.post-24140867919035897062010-01-24T22:27:00.000-08:002010-01-24T22:30:30.320-08:00Akses Keadilan untuk Perempuan (1)<p class="MsoNormal" align="right" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt; text-align:right;line-height:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal"><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"">Keadilan adalah soal hati nurani. Ketika kita kehilangan hati nurani, maka tidak ada keadilan.<o:p></o:p></span></i></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif""><o:p>Petikan kalimat di atas yang diambil dalam sebuah film seri tentang kriminalitas, <i style="mso-bidi-font-style:normal">Crime Scene Investigation</i>, menyampaikan hal yang utama bagaimana keadilan harus dipersepsikan. Keadilan merupakan nilai yang seringkali dipakai sebagai pedoman dalam suatu proses maupun produk hukum, yaitu putusan pengadilan dan peraturan perundang-undangan Pada dasarnya, masyarakat memiliki harapan bahwa hukum yang dihasilkan dan diterapkan merefleksikan nilai-nilai keadilan. Para pihak yang menempuh proses penyelesaian sengketa, formal maupun informal, memiliki tujuan untuk memperoleh keadilan. Publik secara umum juga mengharapkan produk hukum yang dihasilkan merefleksikan nilai-nilai keadilan yang dianut masyarakat. Pertanyaannya adalah bagaimana keadilan itu dipersepsikan dan keadilan untuk siapa?</o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; ">Beberapa tahun belakangan ini, pengarusutamaan gender menjadi bagian penting kebijakan di segala bidang, terutama pada penegakan prinsip-prinsip demokrasi dan pembaruan penegakan hukum. Perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan sebagai kelompok rentan mewarnai pelbagai dokumen kebijakan para pengambil keputusan. Adalah tindakan yang salah secara politik bagi seorang pengambil kebijakan untuk tidak mendukung pengarusutamaan gender dan tidak memiliki keberpihakan terhadap perlindungan hak-hak perempuan. Akses keadilan bagi perempuan merupakan salah satu bagian penting dari pengarusutamaan gender tersebut.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; ">Namun demikian, masih ada jurang yang besar antara semangat dan implementasi untuk melindungi kepentingan dan hak-hak serta keberpihakan terhadap perempuan. Gagasan ini masih diterima sebagai jargon dan sesuatu yang sekedar secara politik harus diamini dan didukung. Masih ada ketidakpahaman dan bahkan resistensi terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh perempuan yang mengakar pada budaya, tradisi, struktur, relasi sosial dan sikap serta nilai-nilai yang dimiliki oleh aparat penegak hukum.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; ">Ketika perempuan berhadapan dengan hukum, maka dia tidak saja berurusan dengan peraturan perundang-undangan yang mungkin masih diskriminatif, namun juga sistem dan aparat penegak hukum yang seringkali masih dipengaruhi oleh budaya dan cara pandang patriarkal yang kental. Persepsi para pengambil kebijakan dan aparat penegak hukum terhadap keadilan dan akses keadilan itu sendiri acapkali belum memperhatikan pengalaman dan kepentingan perempuan. Akibatnya, hak-hak perempuan semakin tidak terjamin dan posisinya semakin terpinggirkan.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; ">Tulisan ini mencoba menelusuri perkembangan konsep akses keadilan. Yaitu dari yang tidak memperhatikan persoalan struktural dalam masyarakat menjadi akses keadilan berbasis hak asasi manusia (HAM). Pendekatan ini berusaha meningkatkan akses keadilan kelompok marjinal, terutama perempuan dan anak, serta memperhatikan pengalaman mereka dalam proses hukum. Namun demikian, untuk mewujudkan akses keadilan bagi perempuan tidak saja membutuhkan perbaikan di bidang proses beracara di peradilan saja, namun juga meliputi banyak aspek mulai dari peraturan perundang-undangan, kesiapan institusi negara dan perubahan radikal terhadap nilai-nilai aparat penegak hukum dan masyarakat. Sehingga, akses terhadap keadilan bagi perempuan perlu dilihat dari spektrum yang lebih luas.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><b style="mso-bidi-font-weight:normal"><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif""><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><b style="mso-bidi-font-weight:normal"><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"">Evolusi Gagasan Akses Keadilan: Dari Pendekatan Ekonomi ke HAM<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; ">Manusia perlu melindungi hak-haknya dari setiap kemungkinan pelanggaran hak atau kekerasan yang dilakukan oleh manusia lain, terutama ketika terjadi sengketa atau konflik. Ketika itu terjadi, maka perlu ada tindakan koreksi berupa restitusi ataupun kompensasi atas pelanggaran hak atau kekerasan yang dilakukan terhadap korban. Proses ini dapat dilakukan secara formal oleh institusi penegak hukum yang dibentuk oleh negara maupun institusi penyelesaian sengketa atau konflik informal yang hidup dan mengakar dalam budaya masyarakat.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; ">Namun demikian pada kenyatannya, tidak semua kelompok masyarakat dapat mengakses proses itu dan memperoleh keadilan. Ada kesenjangan relasi kekuasaan dalam masyarakat dan ketimpangan struktural lainnya yang membuat mereka tidak memiliki daya dan kapasitas, tidak merasa perlu untuk menempuh jalur penyelesaian hukum atau sebaliknya dirugikan hak-haknya oleh sistem hukum. Akibatnya, posisi dan kondisi mereka terancam semakin lemah dan terpuruk. Disinilah persoalan akses keadilan bagi kelompok masyarakat marjinal, terutama perempuan, menjadi penting.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; ">Terminologinya akses terhadap keadilan sesungguhnya tidak mudah dijelaskan. Namun, akses keadilan sebagai suatu gagasan bukan suatu hal baru. Gagasan ini dapat ditelusuri setidaknya sejak masa liberalisme klasik. Wacana mengenai akses terhadap keadilan itu sendiri berangkat dari keresahan mendasar setiap orang terhadap sistem hukum. Untuk apakah sistem hukum itu dibuat dan siapakah yang sesungguhnya memperoleh keuntungan dari itu?</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; ">Mauro Cappeletti dan Bryant Garth (1978) mencoba menelusuri perkembangan gagasan ini. Liberalisme klasik memandang akses terhadap keadilan sebagai sebuah hak dasar (<i style="mso-bidi-font-style:normal">natural right</i>) sebagai hak individu untuk menuntut dan memperoleh hak-haknya. Namun demikian, karena sifatnya yang <i style="mso-bidi-font-style:normal">natural right </i>maka tidak dibutuhkan tindakan afirmatif dari negara untuk melindungi hak-hak tersebut dan memedulikan kelompok masyarakat yang tidak memiliki kapasitas untuk mengakses institusi hukum. Akibatnya, akses terhadap keadilan hanya diperuntukkan bagi mereka yang mampu memanfaatkan institusi ekonomi, politik dan hukum.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; ">Konsep ini pun mengalami evolusi, sejalan dengan perkembangan masyarakat pasar bebas yang memunculkan wacana hak asasi manusia dan konsep kolektivitas yang menyeimbangkan karakter individualitas yang menjadi ciri khasnya. Gerakan yang mewacanakan hak-hak sosial dan kewajiban negara, masyarakat, dan individu pun meluas. Hal ini terefleksikan dalam dokumen-dokumen penting seperti <i style="mso-bidi-font-style:normal">Bills of Rights </i>dan Konstitusi Perancis 1946 yang menjadi tonggak perubahan tersebut.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; ">Perdebatannya tidak lagi terfokus pada pemenuhan hak-hak saja, namun juga bagaimana hak-hak tersebut dapat dimiliki dan diakses oleh semua orang. Sehingga dalam sistem demokrasi modern yang mulai berkembang luas, pemenuhan hak akses terhadap keadilan membutuhkan peran negara untuk menciptakan kondisi dimana hal itu dapat diakses oleh semua orang. Oleh karena itu, gagasan mengenai akses keadilan pun bergeser. Akses keadilan dengan pendekatan berbasis ekonomi bergeser menjadi akses keadilan berbasis hak asasi manusia (HAM).</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; ">Peran negara diperlukan karena negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak asasi manusia penduduknya. Hak asasi manusia adalah dasar yang sah untuk menuntut kewajiban negara memenuhi hak-hak yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat sebagai manusia. Tujuannya untuk memberdayakan kelompok miskin, marjnal lainnya dan menguatkan tata pemerintahan yang demokratis. Hal ini yang melatarbelakangi munculnya program-program akses keadilan berbasis hak asasi manusia. Membuka akses terhadap keadilan sebagai hak asasi manusia diyakini mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan (UNDP, 2005: 3-6).</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; ">Pendekatan akses keadilan berbasis HAM menuntut negara untuk membangun fondasinya melalui kebijakan dan menciptakan kondisi yang kondusif. Hal ini membuat persoalan akses keadilan dilihat dalam spektrum yang lebih luas, yaitu tidak sekedar persoalan prosedur dan mekanisme penyelesaian perkara.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; ">Pemerintah melalui Bappenas mengeluarkan strategi nasional akses keadilan pada tahun <span style="mso-spacerun:yes"> </span>2009. Dokumen kebijakan ini meletakkan fondasi dan arah akses keadilan di Indonesia. Akses keadilan meliputi pelayanan publik, penanggulangan kemiskinan, otonomi daerah, Selain itu, strategi pengembangan akses keadilan difokuskan pada bidang <span style="mso-spacerun:yes"> </span>pertanahan dan sumber daya alam,<span style="mso-spacerun:yes"> </span>perempuan dan anak, Pemerintahan Daerah, pelayanan bantuan hukum,<span style="mso-spacerun:yes"> </span>reformasi hukum dan peradilan, ketenagakerjaan, dan strategi lintas bidang (kemiskinan, kelompok tertindas dan terpinggirkan).</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal;mso-layout-grid-align:none;text-autospace:none"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; ">Instrumen yang digunakan untuk mengidentifikasi sejauh mana masyarakat telah memperoleh akses terhadap keadilan dari berbagai strategi di atas, yaitu:</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-top:0cm;margin-right:0cm;margin-bottom:0cm; margin-left:18.0pt;margin-bottom:.0001pt;text-align:justify;text-indent:-18.0pt; line-height:normal;mso-list:l0 level1 lfo1;mso-layout-grid-align:none; text-autospace:none"><span style="mso-bidi-font-size:12.0pt; font-family:"Arial","sans-serif";mso-fareast-font-family:Arial"><span style="mso-list:Ignore">a.<span style="font:7.0pt "Times New Roman""> </span></span></span><span lang="DE" style="font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:DE">kerangka normatif; </span><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif""><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-top:0cm;margin-right:0cm;margin-bottom:0cm; margin-left:18.0pt;margin-bottom:.0001pt;text-align:justify;text-indent:-18.0pt; line-height:normal;mso-list:l0 level1 lfo1;mso-layout-grid-align:none; text-autospace:none"><span style="mso-bidi-font-size:12.0pt; font-family:"Arial","sans-serif";mso-fareast-font-family:Arial"><span style="mso-list:Ignore">b.<span style="font:7.0pt "Times New Roman""> </span></span></span><span lang="DE" style="font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:DE">kesadaran hukum; </span><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif""><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-top:0cm;margin-right:0cm;margin-bottom:0cm; margin-left:18.0pt;margin-bottom:.0001pt;text-align:justify;text-indent:-18.0pt; line-height:normal;mso-list:l0 level1 lfo1;mso-layout-grid-align:none; text-autospace:none"><span style="mso-bidi-font-size:12.0pt; font-family:"Arial","sans-serif";mso-fareast-font-family:Arial"><span style="mso-list:Ignore">c.<span style="font:7.0pt "Times New Roman""> </span></span></span><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"">akses kepada forum penyelesaian konflik yang terjangkau masyarakat; <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-top:0cm;margin-right:0cm;margin-bottom:0cm; margin-left:18.0pt;margin-bottom:.0001pt;text-align:justify;text-indent:-18.0pt; line-height:normal;mso-list:l0 level1 lfo1;mso-layout-grid-align:none; text-autospace:none"><span style="mso-bidi-font-size:12.0pt; font-family:"Arial","sans-serif";mso-fareast-font-family:Arial"><span style="mso-list:Ignore">d.<span style="font:7.0pt "Times New Roman""> </span></span></span><span lang="DE" style="font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:DE">penanganan keluhan </span><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"">masyarakat </span><span lang="DE" style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"; mso-ansi-language:DE">yang efektif; </span><span style="font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman","serif""><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-top:0cm;margin-right:0cm;margin-bottom:0cm; margin-left:18.0pt;margin-bottom:.0001pt;text-align:justify;text-indent:-18.0pt; line-height:normal;mso-list:l0 level1 lfo1;mso-layout-grid-align:none; text-autospace:none"><span style="mso-bidi-font-size:12.0pt; font-family:"Arial","sans-serif";mso-fareast-font-family:Arial"><span style="mso-list:Ignore">e.<span style="font:7.0pt "Times New Roman""> </span></span></span><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"">mekanisme </span><span lang="DE" style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"; mso-ansi-language:DE">pemulihan hak</span><span style="font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman","serif"">-hak yang dilanggar</span><span lang="DE" style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif";mso-ansi-language: DE">; </span><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif""><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-top:0cm;margin-right:0cm;margin-bottom:0cm; margin-left:18.0pt;margin-bottom:.0001pt;text-align:justify;text-indent:-18.0pt; line-height:normal;mso-list:l0 level1 lfo1;mso-layout-grid-align:none; text-autospace:none"><span style="mso-bidi-font-size:12.0pt; font-family:"Arial","sans-serif";mso-fareast-font-family:Arial"><span style="mso-list:Ignore">f.<span style="font:7.0pt "Times New Roman""> </span></span></span><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"">terselesaikannya permasalahan kemiskinan, kelompok tertindas dan terpinggirkan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal;tab-stops:36.0pt"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; ">Dengan kerangka di atas, maka program-program penguatan akses keadilan difokuskan pada (UNDP, 2005: 3-6):</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-top:0cm;margin-right:0cm;margin-bottom:0cm; margin-left:18.0pt;margin-bottom:.0001pt;text-align:justify;text-indent:-18.0pt; line-height:normal;mso-list:l1 level1 lfo2"><span style="mso-bidi-font-size:12.0pt;font-family:"Arial","sans-serif";mso-fareast-font-family: Arial"><span style="mso-list:Ignore">a.<span style="font:7.0pt "Times New Roman""> </span></span></span><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"">Perlindungan hukum, yaitu pembentukan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum bagi perlindungan akses keadilan sebagai sebuah hak.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-top:0cm;margin-right:0cm;margin-bottom:0cm; margin-left:18.0pt;margin-bottom:.0001pt;text-align:justify;text-indent:-18.0pt; line-height:normal;mso-list:l1 level1 lfo2"><span style="mso-bidi-font-size:12.0pt;font-family:"Arial","sans-serif";mso-fareast-font-family: Arial"><span style="mso-list:Ignore">b.<span style="font:7.0pt "Times New Roman""> </span></span></span><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"">Peningkatan kesadaran hukum, yaitu meningkatkan kesadaran kelompok marjinal, aparat penegak hukum dan pengambil kebijakan mengenai pentingnya akses keadilan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-top:0cm;margin-right:0cm;margin-bottom:0cm; margin-left:18.0pt;margin-bottom:.0001pt;text-align:justify;text-indent:-18.0pt; line-height:normal;mso-list:l1 level1 lfo2"><span style="mso-bidi-font-size:12.0pt;font-family:"Arial","sans-serif";mso-fareast-font-family: Arial"><span style="mso-list:Ignore">c.<span style="font:7.0pt "Times New Roman""> </span></span></span><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"">Bantuan dan konsultasi hukum, yaitu memberikan jasa-jasa bantuan dan konsultan hukum bagi kelompok marjinal ketika berhadapan dengan aparat penegak hukum dan mengajukan kasusnya ke pengadilan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-top:0cm;margin-right:0cm;margin-bottom:0cm; margin-left:18.0pt;margin-bottom:.0001pt;text-align:justify;text-indent:-18.0pt; line-height:normal;mso-list:l1 level1 lfo2"><span style="mso-bidi-font-size:12.0pt;font-family:"Arial","sans-serif";mso-fareast-font-family: Arial"><span style="mso-list:Ignore">d.<span style="font:7.0pt "Times New Roman""> </span></span></span><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"">Ajudikasi, yaitu menguatkan mekanisme penyelesaian sengketa informal (non-negara) agar turut melindungi hak-hak kelompok marjinal.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-top:0cm;margin-right:0cm;margin-bottom:0cm; margin-left:18.0pt;margin-bottom:.0001pt;text-align:justify;text-indent:-18.0pt; line-height:normal;mso-list:l1 level1 lfo2"><span style="mso-bidi-font-size:12.0pt;font-family:"Arial","sans-serif";mso-fareast-font-family: Arial"><span style="mso-list:Ignore">e.<span style="font:7.0pt "Times New Roman""> </span></span></span><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"">Penguatan mekanisme penegakan hukum, yaitu menguatkan mekanisme penegakan hukum mulai dari penyelidikan hingga di pengadilan yang memperhatikan kepentingan kelompok marjinal.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-top:0cm;margin-right:0cm;margin-bottom:0cm; margin-left:18.0pt;margin-bottom:.0001pt;text-align:justify;text-indent:-18.0pt; line-height:normal;mso-list:l1 level1 lfo2"><span style="mso-bidi-font-size:12.0pt;font-family:"Arial","sans-serif";mso-fareast-font-family: Arial"><span style="mso-list:Ignore">f.<span style="font:7.0pt "Times New Roman""> </span></span></span><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"">Pemantauan parlemen oleh kelompok masyarakat sipil, yaitu tekanan publik berupa monitoring dan evaluasi masyarakat sipil terhadap kebijakan terkait akses keadilan yang dikeluarkan oleh parlemen.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-top:0cm;margin-right:0cm;margin-bottom:0cm; margin-left:18.0pt;margin-bottom:.0001pt;text-align:justify;line-height:normal"><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif""><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif"">Namun demikian, saat ini studi-studi mengenai akses keadilan umumnya baru mengenai tingkat akses keadilan bagi kelompok masyarakat miskin seperti yang dilakukan oleh lembaga-lembaga donor yang besar seperti World Bank (2004, 2006 & 2008), UNDP (2007) dan Asia Foundation (2001). Studi mengenai bagaimana perempuan terutama yang berasal dari kelompok masyarakat miskin tersebut memperoleh akses kepada keadilan masih minim. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><b style="mso-bidi-font-weight:normal"><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman","serif""><o:p> </o:p></span></b></p>herni sri nurbayantihttp://www.blogger.com/profile/02256987121040537652noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5711408449328448999.post-15383707934777792292009-09-11T20:46:00.000-07:002009-09-11T20:51:15.933-07:00Ramadhan 10: Ciputat Kuningan by Max the Rabbit<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmU5eDPwhylA5nXsmdQjvqlSil8ipI7E24B8NgF6ec2LllHZdJr8gmYy4juM4yukAkYm2qBXArmNE34VSH_Z20lwPSfC0fFpuVyPeG7c8sg0RQrZSLsao6pWLi8k-TQSj4u8jCWEXpxyo/s1600-h/traffic_jam.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 213px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmU5eDPwhylA5nXsmdQjvqlSil8ipI7E24B8NgF6ec2LllHZdJr8gmYy4juM4yukAkYm2qBXArmNE34VSH_Z20lwPSfC0fFpuVyPeG7c8sg0RQrZSLsao6pWLi8k-TQSj4u8jCWEXpxyo/s320/traffic_jam.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5380422725855855698" /></a><br /><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(51, 51, 51); line-height: 14px; "><b><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;"><div><br /></div>Tentang Max the Rabbit</span></b><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;"><br /><br />Max the Rabbit adalah band rahasia (secret band) pertama di dunia. Secret band adalah konsep baru di mana para musisi yang bermain menyebarkan musiknya melalui berbagai media elektronik, dengan terus konsisten menolak ketenaran walau lagu-lagunya ciamik dan menggetarkan belantika musik dunia.<br /><br />Waktu pembentukan band Max The Rabbit dirahasiakan begitu juga dengan nama-nama personelnya. Banyak dugaan bahwa Max The Rabbit membuat karya musiknya melalui metode metafisik lintas dimensi dengan menghadirkan arwah John Lennon dan Bruce Lee melalui medium tubuh para personelnya<br /><br />Di bawah ini adalah lagu mereka, ciputat-kuningan<br /><br /><br /></span><b><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">English Version</span></b><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;"><br /><br /></span><b><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">About Max the Rabbit</span></b><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;"><br />Max the Rabbit is the first secret band in the world. Secret band is a new concept in the music industry whereas the musicians publicize their music through various electronic medias, and they are continuously resisting their fame, although their songs rock the music world.<br /><br />The players of the band are all anonymous, as well as the date of their establishment. It is suspected that Max the Rabbit produce their songs using a unique method, a cross-dimension metaphysic by calling the spirits of John Lennon and Bruce Lee through their personnel's body.<br /><br />Below is one of their songs, ciputat-kuningan<br /><br />Ciputat-Kuningan<br /></span><a href="http://www.imeem.com/people/sRjvrZb/music/jShJ2GQa/max-the-rabbit-ciputatkuningantrial/" onmousedown="UntrustedLink.bootstrap($(this), "daa0f791eede147c74bc4bccd7924f09", event)" target="_blank" rel="nofollow" style="cursor: pointer; color: rgb(59, 89, 152); text-decoration: none; "><span><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">http://www.imeem.com/peopl</span></span><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;"><wbr></span><span class="word_break" style="display: block; float: left; margin-left: -10px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "></span><span><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">e/sRjvrZb/music/jShJ2GQa/m</span></span><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;"><wbr></span><span class="word_break" style="display: block; float: left; margin-left: -10px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "></span><span><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">ax-the-rabbit-ciputatkunin</span></span><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;"><wbr></span><span class="word_break" style="display: block; float: left; margin-left: -10px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "></span><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">gantrial/</span></a><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;"><br /><br />Ciputat-Kuningan<br />by Max the Rabbit<br /><br />Berlomba bangun pagi, raih mimpi<br />Coba kais rejeki, sakit hati<br />Sikut kanan, sikut kiri, setiap hari<br />Sampai kapankah pagi terus begini?<br /><br />Ganasnya... jalani hidup ini<br />Lalui pagi ini, aku letih... kejamnya<br />Padam gairah ini, redup semangat kita tuk kerja<br />Kerja.. kerja..<br />Ciputat-kuningan... ciputat-kuningan..<br />Ciputat-kuningan.. ciputat-kuningan<br /><br />Siang sudah menjelang berkeringat<br />Macet semakin hebat, tak bersahabat<br />Sikut kanan, sikut kiri, masih saja<br />Akan terus begini sampai mateee<br /><br />Ganasnya... jalani hidup ini<br />Lalui siang ini, aku letih.... kejamnya<br />Padam gairah ini, redup semangat kita tuk kerja<br />Kerja... Kerja...<br />Ciputat-kuningan... ciputat-kuningan..<br />Ciputat-kuningan.. ciputat-kuningan<br />Never ending...</span></span>herni sri nurbayantihttp://www.blogger.com/profile/02256987121040537652noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5711408449328448999.post-21492047066377634502009-09-11T20:45:00.002-07:002009-09-11T20:46:26.944-07:00Ramadhan 09: Tanggal Tua by Max the Rabbit<span class="Apple-style-span" style="color: rgb(51, 51, 51); line-height: 14px; "><b><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Tentang Max the Rabbit</span></b><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><br /><br />Max the Rabbit adalah band rahasia (secret band) pertama di dunia. Secret band adalah konsep baru di mana para musisi yang bermain menyebarkan musiknya melalui berbagai media elektronik, dengan terus konsisten menolak ketenaran walau lagu-lagunya ciamik dan menggetarkan belantika musik dunia.<br /><br />Waktu pembentukan band Max The Rabbit dirahasiakan begitu juga dengan nama-nama personelnya. Banyak dugaan bahwa Max The Rabbit membuat karya musiknya melalui metode metafisik lintas dimensi dengan menghadirkan arwah John Lennon dan Bruce Lee melalui medium tubuh para personelnya<br /><br />Di bawah ini adalah lagu mereka, tanggal tua<br /><br /><br /></span><b><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">English Version</span></b><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><br /><br /></span><b><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">About Max the Rabbit</span></b><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><br />Max the Rabbit is the first secret band in the world. Secret band is a new concept in the music industry whereas the musicians publicize their music through various electronic medias, and they are continuously resisting their fame, although their songs rock the music world.<br /><br />The players of the band are all anonymous, as well as the date of their establishment. It is suspected that Max the Rabbit produce their songs using a unique method, a cross-dimension metaphysic by calling the spirits of John Lennon and Bruce Lee through their personnel's body.<br /><br />Below is one of their songs, tanggal tua<br /><br /><br /><br />Tanggal Tua<br />by Max The Rabbit<br /><br /></span><a href="http://www.imeem.com/people/sRjvrZb/music/Kbxl0yTB/max-the-rabbit-tanggaltua/" onmousedown="UntrustedLink.bootstrap($(this), "daa0f791eede147c74bc4bccd7924f09", event)" target="_blank" rel="nofollow" style="cursor: pointer; color: rgb(59, 89, 152); text-decoration: none; "><span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">http://www.imeem.com/peopl</span></span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><wbr></span><span class="word_break" style="display: block; float: left; margin-left: -10px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "></span><span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">e/sRjvrZb/music/Kbxl0yTB/m</span></span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><wbr></span><span class="word_break" style="display: block; float: left; margin-left: -10px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "></span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">ax-the-rabbit-tanggaltua/</span></a><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><br /><br /><br />Hari ini ngajak makan<br />Di Cafe dan di restoran<br />Ooooo mending minggu depan<br /><br />Hari ini ngajak clubbing<br />Karaoke billiard bowling<br />Oooooooo kagak penting<br /><br />Maklum sekarang tanggal tua<br />Tapi hati tetap ceria<br /><br />Hari gini ngajak nonton<br />Bintangnya sylverster stallone<br />Ooooo mending nonton jojon<br /><br />Maklum sekarang tanggal tua<br />Tapi hati ceria<br /><br />Enak makan, kalau gue udeh gajian<br />Jalan jalan, kalau gue udeh gajian<br />Kalau gue udeh gajian<br /><br />Hari ini ngajak clubbing<br />Karaoke billiard bowling<br />Oooooooo kagak penting<br /><br />Maklum sekarang tanggal tua<br />Tapi hati tetap ceria<br /><br />Enak makan, kalau gue udeh gajian<br />Jalan jalan, kalau gue udeh gajian<br />Kalau gue udeh gajian<br />Sekarang duit tinggal ceban<br />Tolong dong cariin pinjeman<br />Tolong dong cariin pinjeman<br />Tolong dong cariin…</span></span>herni sri nurbayantihttp://www.blogger.com/profile/02256987121040537652noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5711408449328448999.post-7977783367689836702009-09-11T20:45:00.001-07:002009-09-11T20:51:10.851-07:00Ramadhan 08: Qur'an and Combating Corruption<span class="Apple-style-span" style="color: rgb(51, 51, 51); line-height: 14px; "><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">Yesterday, I was going to buy books on "law of attraction", the secret, quantum ikhlas, etc. Books on self-improvement, psychological development, that kind of thing. But then I decided not to buy them. It's so expensive for those tiny books :)<br /><br />I smiled. It's a funny thing that we feel that there is need to "islamized" any new ideas that is so marketable. There is a islamization of laws of attraction, islamization of the secret or probably islamization of the stephen covey's 8th habits. (and the word "islamization" is not even recognized by this automatic spelling check software!!! :D)<br /><br />The general idea behind the islamization of thoughts is to show to public that Qur'an is the source of any knowledge that was and will be discovered. That you don't have to buy those books, just read qur'an, the master book of knowledge and wisdom. The One book that could give you any knowledge that you need. The One book that could solve every problems that we face. I couldn't agree more on that point. As a trying-to-be-good-moslem person, of course Qur'an is my guidance. But my critic is that you should continuously do research on that powerful book of knowledge and wisdom and discover new ideas that could be contextualized with the current situations, not by doing islamization of the new knowledge and wisdom, looking for any clues that could be the basis of it. For me, such action is only confirming that Qur'an contains universalistic values. Something that all man/woman would agree on.<br /><br />Besides, it gives an idea that there are two versions/perspectives, the islamic and the non-islamic one. It seems that you should buy the islamic version, as it would be a sin for buying the non-islamic one. For me, they're only taking advantages to intervene and steal the markets of moslem buyers :)<br /><br /></span></span><div><span class="Apple-style-span" style="color:#333333;"><span class="Apple-style-span" style="line-height: 14px;">So I began to start feeling "overwhelmed" by those books and decided to leave. Few steps from the cashier, suddenly I bumped to this book, "Kisah-kisah Islam Anti Korupsi" (Islamic stories of anti-corruption), and voila, this one looks interesting.</span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(51, 51, 51); line-height: 14px; "><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;"><br />Will be continued... after I finish this deadly deadline article :)<br />My mind is so twisted :D</span></span></div>herni sri nurbayantihttp://www.blogger.com/profile/02256987121040537652noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5711408449328448999.post-36270037499827899132009-09-11T20:44:00.001-07:002009-09-11T20:44:55.701-07:00Ramadhan 07: My Childhood Memory of Ramadhan<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'lucida grande'; color: rgb(51, 51, 51); font-size: 11px; line-height: 14px; "><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">It's only been a week and I'm starting to running out of ideas :) And the fact that I have to finish an article this weekend (but am so lazy on saturday), also contribute for having this slow brain.<br /><br />Anyway, I went for a walk. Yup, in the middle of the day (I enjoy walking, so no comment ok? :D) Brought my MP3 to balance my mood a bit for having a hot day during ramadhan. I was checking out my neighbourhood, started with Plaza Cibubur :) A nice and cozy place to go to during weekend. They have a super indo for groceries, couple pharmacies (well, having a 73 old mom is like having a big baby, you have to locate the nearest pharmacies, hospitals, labs, etc), and a book store. The three things I need most from a plaza. Mind all those shoe, bags and clothes stores. After I bought what my mom needs, I went to a book store, of course, a place that you can always find quiteness and peace.<br /><br />I looked at those books and realized how this reform era has made so many books available. A good thing, actually. But forgive me for had been living under a tyrany regime for 32 years where books are monitored and controlled by the government, this freedom of publishing books somehow made my mind go nuts. Yes, I do understand that freedom is about having choices, but not that many! Please, deh :)<br /><br />And giving too many choices is not good for business, either. There is one chapter in galdwel's blink, a story about a research on whether giving many choices is good for business or not. The research was conducted in two supermarkets. The first supermarket was given only 5 choices of jams: strawberry, apricot, peanuts, burberry and mix fruits while the second one was given more than 10. It turned out that having more choices confused the customers and didn't boost-up the sales of those jams. And it seems people tend to categorize their choices, the classic, the contemporary or the crazy one (test-out). So the choices is whether you go with the classic, the contemporary/fushion or choosing a more risky-one. And people tend to go to the first or second choices. Few of them are the risk-takers customers.<br /><br />And that's what I did. I went for the classic one, sorry. Comics! :) Why? Well, suddenly my mind went back to my childhood. The idea of having comic for ramadhan. I remember dragging a table outside, having my comics to be rented for couple hundreds of rupiahs and so happy to get some money from my small business. And as an additional value, I also sold a traditional breakfasting snacks and drinks. Yes, they're all super sweet. We all have sugar-tooth in this country :) It is either sweet, sour or spicy.<br /><br />Some people see ramadhan as a time for break from the business. They're closing their business for a month. Some people see it the other way around. Ramadhan is a time for doing more and more business. It is a time where all those moslems would spend all of their money for.. almost anything. They would go for new shoes, new clothes, new bed, new paints, new car, new house, you name it. And we even don't have a giving gifts tradition! Only a tradition of forgiving. But of course you have to look nice when you do that. And when I mean you being nice, is not just what you wear, but your house, your everything have to look nice :)<br /><br />Mind all those nice people, but for the sake of my childhood memory, I prefer to see ramadhan as a time for the kids to learn earning their own money, to be creative and responsible for their own ideas, and to be independent. Although they have to cheat their parents a bit while they're doing that :) It's not cheating. It's what the business people call it as, how to negotiate and influence people :)) Let's have a nice ramadhan for our kids! Not just learning how to fasting but how to make the best out of it :)<br /><br />No smart idea for today. Have to go back to work.. or somebody would kill me for not finishing this one chapter by tommorrow morning :)<br /></span></span><br /></span>herni sri nurbayantihttp://www.blogger.com/profile/02256987121040537652noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5711408449328448999.post-74020198842843386992009-09-11T20:42:00.002-07:002009-09-11T20:43:09.162-07:00Ramadhan 06: Keyakinan dan Kegundahan<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'lucida grande'; color: rgb(51, 51, 51); font-size: 11px; line-height: 14px; "><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Dalam qur'an, kadang ada pasangan nilai, sifat atau kondisi yg saling bertentangan namun berpasangan. Contoh yang paling gampang dan sering adalah kesulitan dan kemudahan. Kemarin saya menemukan satu lagi, keyakinan dan kegundahan. Ini sebenarnya terinspirasi dari film Doubt yang dibintangi oleh Merryl Streep. Ceritanya tentang seorang kepala sekolah agama (lupa, kristen atau katolik) yang sangat kolot, kaku dan penuh prasangka. Berbeda dengan koleganya, seorang pendeta yang moderat, open-minded, berpikiran positif dan percaya bahwa manusia perlu belajar, berinteraksi serta berkembang dengan keimanannya sendiri.<br /><br />Keyakinan dan kegundahan adalah satu paket yang dihadapi oleh manusia yang beriman. Keyakinan dan kegundahan tidak bisa diposisikan secara tegas sebagai sesuatu yang berlawanan dalam pengertian, yang satu baik dan satunya lagi buruk. Sebaliknya, keduanya perlu dilihat sebagai sesuatu yang memiliki baik dan buruk secara bersamaan. Persoalannya adalah, apa yang membuatnya jadi baik dan buruk?<br /><br />Kegundahan, adalah fase dimana manusia bertanya dan karenanya, menjadi berpikir. Saya bertanya, maka saya berpikir. Dan pikiran saya, yang menunjukkan bahwa saya (masih) ada :). Dalam konteks ini, kegundahan menjadi sarana bagi manusia untuk berinteraksi dan berkembang dengan dirinya sendiri, dengan keyakinan dirinya sendiri. Suatu proses yang tidak serta-merta harus dilihat negatif sebagai sesuatu yang mendegradasi keyakinan, bahkan sebaliknya justru bisa merevitalisasi keyakinan itu sendiri. Iman dan keyakinan, layaknya sebuah tanaman, perlu dirawat, dipelihara dan dicintai. Tidak saja perlu disiram dan diberi pupuk, namun kadang kala perlu dipangkas sana-sini, terutama bagian-bagian yang kering dan busuk.<br /><br />Kegundahan, juga bisa jadi sarana untuk mengindentifikasi dan positioning diri sendiri. Pertanyaan "what makes a NGO, NGO" yang selalu dilontarkan, mengstimulus teman-teman untuk berpikir ttg jati diri/identitas dan positioning organisasi. Sebagai seorang muslim, pertanyaannya bukan apakah kita Islam atau tidak, tapi lebih pada orang Islam seperti apakah kita? Apakah kita muslim yang penyayang terhadap saudara, "tetangga" dan lingkungan atau sebaliknya yang hanya membawa kebencian, fitnah dan kerusakan di dunia? Apakah kita orang Islam yang santun dalam bertutur, menghormati dalam perdebatan, sportif dalam bertanding dan ulet serta penuh integritas dalam bekerja?<br /><br />Kegundahanlah yang menjaga kita untuk terus berusaha agar menjadi orang yang lebih baik, karena kita tidak yakin bahwa kita sudah menjadi baik atau amal kita sudah hebat. Yakin yang satu ini, justru perlu dihindari. Sifat yakin yang berlebihan pun dapat mengarah pada kerusakan. Para teroris, para pasukan moral, memiliki keyakinan yang berlebihan. Yakin bahwa mereka akan dapat surga dengan melakuakan pengeboman. Yakin bahwa mereka lebih bermoral, doing something for a greater cause. Yakin yang membuat dirinya merasa orang lain tidak sebaik dirinya dan karenanya perlu "diajari". Keyakinan seperti ini justru mengarah pada orang Islam yang hanya mengenal satu kata, kekerasan.<br /><br />Jadi buat saya, keyakinan dan kegundahan merupakan satu paket nilai yang membantu kita untuk selalu berinteraksi dan berkembang dengan keimanan kita sendiri, dalam artian yang positif. Jadi, bila kegundahan itu muncul, ikuti saja dan berpikirlah! :)<br /><br />Ngantukkkkk...</span></span><br /></span>herni sri nurbayantihttp://www.blogger.com/profile/02256987121040537652noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5711408449328448999.post-39041881438622845582009-09-11T20:42:00.001-07:002009-09-11T20:55:17.920-07:00Ramadhan 05: Khalifah Umar dan Sop Buntut<span class="Apple-style-span" style="color: rgb(51, 51, 51); line-height: 14px; "><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">Di antara para sahabat, Umar bin Khatab adalah sahabat Rasulullah dan khalifah yang paling menarik dalam pandangan saya. Daya tariknya terletak pada sosok pendekar (hehe..), ketegasan dan integritasnya. Benang merah dari ketiga daya tariknya adalah sifat kehati-hatiannya. Hati-hati sebagai pendekar dan hati-hati sebagai pemimpin.<br /><br />Umar (sok akrab bin gak sopan banget sih) terkenal berhati-hati menggunakan pedang. Alasan untuk menggunakan kekerasan, jadi penyebab utama. Beliau bukan tipe pendekar yang emosinya dengan mudahnya tersulut dengan provokasi yang menyerang dirinya sendiri. Buatnya sederhana saja, perlu ada satu alasan besar yang menjadi dasar penggunaan kekerasan dan senjata.<br /><br />Sebagai pemimpin, integritas Umar bisa dibilang luar biasa. Dia sangat hati-hati menggunakan kekuasaannya. Memisahkan mana yang menjadi hak dan harta komunitas dan mana yang merupakan hak dan aset pribadinya. Contoh kecil, untuk urusan penggunaan lampu saja, Umar bin Khatab sangat ekstra hati-hati. Apakah si lampu digunakan untuk pelaksanaan tugas kepemimpinannya, atau kepentingan pribadi. Prinsipnya dalam pekerjaan pun sederhana saja, ada ketegasan antara mana yang dipakai untuk kantor/negara/publik dan mana yang tidak/pribadi. Buat Umar, kekuasaan adalah soal tanggung jawab, tanggung jawab, tanggung jawab.<br /><br />Satu hal sederhana yang saya pikir sudah ditinggalkan oleh pemimpin kita, di institusi negara, di lembaga profit, dan bahkan di lembaga saya atau lembaga non-profit lainnya. Sudah mafhum bila power leads to access, to rights and privileges, incentives and even greater power. People who have given power tend to addicted to it and that's why we need check and balances mechanism. Kualitas manusia seperti Umar jarang ditemukan dan karenanya kita butuh sistem untuk memastikan nilai-nilai integritas seorang Umar bisa tetap terjaga.<br /><br />Hubungannya dengan sop buntut? Rasanya tidak mungkin bagi seorang Umar bin Khattab, seandainya memimpin rapat para kapten-kapten dibawahnya, akan bicara sop buntut dan bukan substansi. Sop buntut, yang masa emasnya sudah lewat, sebagai hidangan sebuah acara penting. Seorang Umar tidak mungkin menggunakan waktu kerjanya yang berharga untuk membahas hal-hal yang tidak penting, yang tidak berhubungan dengan pekerjaan dan kewajibannya sebagai pejabat negara. Sayangnya, kita seringkali tidak dipimpin oleh pemimpin sekualitas Umar bin Khattab. Sehingga kita masih menghadirkan isu sop buntut, dan bukan hal-hal yang lebih substansial, ke meja rapat :)<br /><br />"It's not what we eat but what we digest that makes us strong; not what we gain but what we save that makes us rich; not what we read but what we remember that makes us learned; and not what we profess but what we practice that gives us integrity.” (Francis Bacon)<br /><br />Tulisannya jelek.. karena ngejar kejar tayang satu ide/tulisan satu hari, tapi udah ngantuk kecapean :)</span></span>herni sri nurbayantihttp://www.blogger.com/profile/02256987121040537652noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5711408449328448999.post-37250198477116156412009-09-11T20:41:00.001-07:002009-09-11T20:41:57.490-07:00Ramadhan 04: Semua Tangan Perlu Tau<span class="Apple-style-span" style="color: rgb(51, 51, 51); line-height: 14px; "><b><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Bulan Seribu Musim</span></b><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><br /><br />Bulan ramadhan biasanya adalah bulan seribu musim. Sebut saja mulai dari musim beribadah, musim tobat, musim bersedekah, musim artis sinetron pake jilbab, musim tayangan sahur, musim kultum pengantar berbuka, musim rejeki nomplok buat para artis, musim kaca restoran dan warung-warung makan ditutupi kain atau karton, musim orang punya alasan ngeles untuk tidak produktif sampaiiii musim kolang-kaling, cincau, dan nata de coco cepat habis terjual di supermarket dan oh ya, musim timun suri (ujung-ujungnya kok ya selalu makanan :D).<br /><br />Daya tarik utama bulan ramadhan tentu saja janji pahala, rahmat dan berkah yang berlimpah. Obral gila-gilaan. Di hari-hari biasa di bulan Ramadhan saja, pahala bisa berkali-kali lipat. Belum lagi, bila dapat "jackpot" malam lailatul Qadar. 1000 bulan! Yang berpikir hitung-hitungan mungkin serasa dapat tabungan pahala lebih dari seumur hidup. Pikirnya, kalau dapat, setelahnya bisa ongkang-ongkang kaki dalam beribadah :)<br /><br />Sisi positifnya, semua orang berlomba-lomba dalam kebaikan, terutama dalam beramal jariyah. Sedekah lebih afdol di bulan puasa. Mungkin ini salah satu latar belakang munculnya THR. Bukan cuma untuk ketupat, sayur jakarta lengkap pakai petay, sambal goreng ati, daging, opor ayam dan kue-kue manis serta pakaian, sepatu, mukena, baju koko, dan sajadah baru, tapi juga untuk bersedekah.<br /><br />THR saya saja biasanya habis untuk memberi hadiah sana-sini. Sebagian ditukar lima ribuan untuk<br />pasukan anak-anak kicing. Bedanya, dulu sih ditukar segepok uang seratusan. Namun sekarang, uang angpau itu pun kena inflasi! :D Belum lagi, anak-anak kicing sekarang makin pinter-pinter. Kecil-kecil sudah tau kalau uang yang berwarna biru bergambar gunung lebih rendah nilainya dibanding yang warna coklat, apalagi pink. Atau membedakan merahnya 10.000 dengan pink-nya 100.000. Jadi maunya, "Minta yang pinkkkkkkkk..." Pinter ya kalian, udah bisa membedakan antara merah dan pink :) Kita aja yang udah gede masih suka ketuker-tuker :P.<br /><br /></span><b><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Tangan Kiri Tidak Boleh Tau?</span></b><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><br /><br />Beda banget dengan bulan biasa. Saya teringat waktu plamus (planet muslim) masih berdiri dan aktif dulu. Setiap ramadhan kita selalu berlimpahan uang-uang ummat yang memberikan sumbangannya, sementara sisa bulan di luar ramadhan rata-rata musim paceklik.<br /><br />Ngobrol soal sedekah dan amal jariyah ini, ada satu ungkapan yang diajarkan dari mulut ke mulut. Bersedekah itu, tangan kanan bersedekah, tangan kiri tidak boleh tau dan demikian sebaliknya. Maksudnya sih mulia, agar kita terhindar dari sifat riya.<br /><br />Amal bila dilakukan secara diam-diam lebih bernilai lebih dibandingkan yang dilakukan secara gembar-gembor, apalagi kalau pakai konferensi pers segala. Kalau jaman sekarang, mungkin sarana gembar-gembornya nambah. Fesbuk, misalnya, yang memang selalu jadi ajang narsis yang paling asik buat banyak orang.<br /><br />Dampak dari si tangan kiri gak boleh tau tadi umumnya adalah penulisan "hamba Allah" di lembar-lembar sumbangan. Mungkin mereka harusnya punya banyak nama seperti saya, hehe.. Bisa pakai herni, molly, atau hermun :P.<br /><br />Tapi kalau dipikir-pikir, pertanggungjawabannya gimana ya? Bagaimana sebuah amal bisa dipertanggungjawabkan ke publik kalau banyak sekali "hamba Allah". Saya sih tidak suudzon dng yg menyumbang, namun lebih ke persoalan manajemen pengelolaan dana amalnya. Bagaimana kita tau panitia atau pihak yang berinisiatif mengelola itu jujur dan berintegritas tinggi? Bagaimana kita bisa percaya bahwa uang yang disumbangkan benar-benar diterima dan disalurkan?<br /><br />Belum lagi persoalan takut riya tadi jadi membuat orang malu-malu kucing dalam menyumbang. Uang digenggam di tangan dan dimasukkan ke amplop tanpa terlihat. Dan benar, jangankan oleh orang lain, oleh si tangan kiri pun tidak terlihat.<br /><br />Malu-malu yang kedua, umumnya orang malu-malu untuk menyumbang, apalagi bila nilai sumbangannya kecil. Padahal, Allah tidak bodoh seperti kita, yang sering melakukan penilaian dengan standar yang picik. Rahmat sumbangan itu bukan terletak dari besaran sumbangannya, namun prosentase dibandingkan harta yang kita punya plus keikhlasan. Keduanya merupakan informasi yang susah untuk diakses. Apalagi yang terakhir, cuma Allah yang bisa menilai hal itu. Udah gitu, akibatnya ternyata tidak mampu mengstimulus derasnya arus dana amal yang masuk.<br /><br />Lalu, kalau melirik tradisi "tetangga" dimana sumbangan selalu dikoar-koarkan. Herni menyumbang 100 juta bulan ini...!!! dengan sebelum dan sesudahnya didoakan bersama. Dan orang jadi berlomba-lomba riya untuk menyumbang dalam jumlah yg lebih besar lagi.<br /><br />Saya pun terpikir, mengapa tidak kita tiru? Mari berlomba-lomba... resiko menjadi riya pun tak apa. Toh itu bukan urusan kita... yang penting ada uang yang tersedia yang bisa dioptimalkan penyalurannya. Kalau orang mau riya, ya silakan saja. Toh itu urusan dia dengan Allah. Urusan kita adalah bagaimana kita bisa menerapkan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam mengelola dana amal tersebut. Jadi, logika berpikirnya terbalik. Bukan sekedar tangan kanan menyumbang, tangan kiri harus tau. Namun, semua tangan perlu tau :)</span></span>herni sri nurbayantihttp://www.blogger.com/profile/02256987121040537652noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5711408449328448999.post-85111472654264565042009-09-11T20:40:00.000-07:002009-09-11T20:41:08.555-07:00Ramadhan 03: Puasa dan Produktivitas<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'lucida grande'; color: rgb(51, 51, 51); font-size: 11px; line-height: 14px; "><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Sewaktu di Belanda, teman saya bercerita soal pengalamannya di kampus. Dia menggunakan lift kampus untuk naik dari lantai satu ke dua. Kebetulan didalamnya ada seorang dosen kami (my opa! :D) yang bisa berbahasa Indonesia. Ketika opa melihat teman saya ini cuma naik 1 lantai, dia cuma berkata, "Kamu naik lift untuk naik ke lantai 2?". Teman saya pun tersenyum kehilangan kata-kata dan mengangguk. Segera keluar begitu pintu lift terbuka.<br /><br />Kisah lain, sudah mafhum buat kami yang seringkali bolak-balik ke Aceh ini, bahwa sulit sekali mengadakan training di Aceh selama bulan puasa. Jangankan bulan puasa, bulan biasa saja sulit. Adalah suatu prestasi yang besar bila kami berhasil mempertahankan jumlah peserta hingga training usai. Itupun umumnya cuma sampai jam 5. Yang seringkali terjadi, peserta minta training dipercepat, dan kita harus agak sedikit licik untuk tidak memenuhi permintaan mereka itu.<br /><br />Di beberapa tempat, terutama Aceh, ada beberapa ritual yang harus dilakukan. Umumnya seminggu sebelum puasa dan seminggu setelah puasa. Disinilah pengaruh adat dalam memberi warna pada pelaksanaan ritual agama terjadi. Sebagai "orang luar" tentunya kita harus mengerti dan sadar mengenai tradisi-tradisi lokal setempat.<br /><br />Dan sudah mafhum juga bila beberapa bulan menjelang ramadhan, semua hotel yang biasa digunakan untuk pelaksanaan acara sudah penuh di-booking. Semua instansi dan organisasi agaknya "sepakat" untuk tidak mengadakan acara formal apapun selama bulan ramadhan. Alasannya lebih pada karena bulan puasa menurunkan produktivitas kerja sehingga melaksanakan kegiatan di bulan puasa bukan saja tidak efektif namun juga pasti diprotes orang banyak :) Tapi pertanyaannya adalah, apakah bulan puasa selalu harus dijadikan alasan untuk tidak produktif? Lantas, bagaimana kebijakan yang bisa diterapkan agar selama bulan puasa kita tetap bisa produktif?<br /><br /></span></span><b><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Ramadhan Produktif</span></span></b><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><br /><br />Mungkin ini berkah bulan ramadhan, alhamdulillah bulan ini kegiatan sedang banyak-banyaknya. Saya menamainya, bulan yang sinting jilid II :-) Saking sintingnya, meski tindakan pencegahan agar jadwal di bulan puasa bisa lebih longgar sudah dilakukan, namun masih ada rangkaian kegiatan yang terpaksa dilakukan pada bulan puasa. Kalau kegiatannya buat kita-kita saja tidak masalah, namun karena obyek dari kegiatan justru orang lain, ini yang jadi masalah. Minggu ini, ada serangkaian kegiatan dari senin hingga jum'at, full dari pagi hingga sore. Itupun sudah didiskon dari jam 10 pagi hingga 5 sore. Inipun saya sudah dibilang "dzolim" karena membiarkan orang mengikuti kegiatan dari jam 10 sampai 5.<br /><br />Segala sesuatu memang tergantung cara pandang. Mari kita coba ganti kacamatanya, jadi kacamata kuda (toh kuda lambang hewan kuat dan hewan pekerja, hehe..). Bulan puasa, adalah bulan yang sangat produktif, baik untuk urusan pekerjaan dan ibadah. Bayangkan saja, tengah malam sudah bangun sambil ngucek-ngucek mata menyiapkan makanan sahur dengan sebelumnya bertahajud bila sempat, makan makanan yang sehat dan bergizi (menjaga kesehatan adalah sebagian dari iman :D), menunggu beduk shubuh sambil fesbuk-an atau mengerjakan hal yang lain, sholat shubuh, baca qur'an sebentar kalau lagi mood, beres-beres rumah dan berangkat kerja! Itu baru pagi hari.<br /><br />Di kantor? Berkah ramadhan kali ini membuat perhatian terfokus pada pekerjaan. Di hari yang biasa pun, seringkali makan dan minum terlupakan bila pekerjaan datang tanpa henti (hayo sapa tuh, ngakuuu..!!! :D). Di bulan puasa ini, karena kita sudah sahur dan minum air putih berbotol-botol (tapi kemudian pipis terus jadi impas dong ya? hehe..), persoalan sakit karena kurang gizi, dehidrasi, ginjal dsb insha Allah tidak terjadi.<br /><br />belum kelar.. dilanjut nanti ajah.. mau berangkat ke kantor :)</span></span><br /></span>herni sri nurbayantihttp://www.blogger.com/profile/02256987121040537652noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5711408449328448999.post-80960021114176689182009-08-22T16:37:00.000-07:002009-08-22T16:38:51.823-07:00Ramadhan 02: Berpuasa Itu Biasa Saja<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'lucida grande'; color: rgb(51, 51, 51); font-size: 11px; line-height: 14px; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;">Suatu hari, saya ikutan rombongan "karpet merah" ke daerah. Dibilang karpet merah karena memang kami selalu mendapat sambutan yang spesial sejak turun dari pesawat. Selalu ada rombongan yang menyambut dan menggiring kami ke ruang khusus untuk beristirahat dengan disuguhi makanan kecil dan teh manis hangat, meminta kupon bagasi dan mengambil, mengantar dan membawakannya hingga ke kamar hotel, serta memberikan jamuan makan istimewa setiap hari. Tentu saja, saya bukan siapa-siapa di rombongan itu, sekedar pengikut yang kena "cipratan" :) Makin tinggi "selebriti" yang berada dalam rombongan, makin ok servisnya.<br /><br />Ada satu kejadian yang menarik. Dalam salah satu perjalanan, tokoh "selebriti" yang ada dalam rombongan kami rupanya terbiasa berpuasa. "Badan saya lebih sehat bila berpuasa, jadi hampir tiap hari saya puasa." Wah, nabi Daud aja kalah, pikir saya. Lucunya, kebiasaan ini membuat panitia penyambutan kikuk dan salah tingkah. Seharusnya rombongan berhenti di restoran mewah sebelum check-in di hotel. Karena si bapak sedang berpuasa, rencana cadangan secara kilat dibuat. Pasukan segera saja tidak jadi membawa si bapak ke restoran, namun langsung ke hotel.<br /><br />Sementara kami, yang level kemampuan puasanya ini bahkan tidak mampu menyamai nabi Daud, mendapat kelimpahan rejeki makanan berlimpah! :) Selemah-lemahnya iman, bila tidak mampu berpuasa di luar bulan ramadhan, maka yang dapat dilakukan adalah tidak meninggalkan makanan berlimpah ruah sia-sia begitu saja. Mubazir adalah temannya setan. Sehingga pilihannya adalah makan atau jadi pengikut setan. Tentu saja kami memilih yang pertama :)<br /><br />Tidak berhenti sampai situ, puasanya bapak jadi mengacaukan semua rencana yang terkait dengan makanan hari itu. Yang lebih lucu, si bapak yang berpuasa santai-santai saja. "Ah, saya sih sudah biasa. Silakan saja, kalian makan. Jangan sungkan-sungkan". Lalu dengan santainya, dia mengambil koran dan membaca.<br /><br />Pengalaman di atas bercerita tentang menghargai mereka yang minoritas (oleh mereka yang mayoritas). Suatu nilai demokrasi yang perlu kita tegakkan. Idenya berangkat dari gagasan untuk menghindari adanya sikap otoriter dan bahkan penindasan dari mayoritas terhadap minoritas. Suatu nilai, yang saya yakin selaras dengan nilai keislaman.<br /><br /></span></span><b><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;">Menghormati Kelompok Minoritas</span></span></b><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><br /><br />Hal yang sama pernah saya alami sewaktu di Belanda. Kala itu kami mencicipi nongkrong di sebuah kafe di dekat kampus. Waktu itu kami cuma berempat, Eka, Kay, Meezan dan saya. Kebetulan Meezan sedang tidak puasa. Ketika hendak memesan makanan, Eka dan Kay kaget karena saya sedang puasa. Mereka lantas tidak enak memesan makanan. Saya sibuk meyakinkan mereka, "Tidak apa-apa. Pesan saja. Gak akan ngiler hehe.." Sepanjang sore itu kami ngobrol-ngobrol dengan ditemani makanan, kue-kue manis, teh hangat, yang tentu saja tidak bisa saya nikmati. Buat saya, puasa tidak bisa dijadikan alasan untuk mengubah kondisi di sekitar saya agar saya lebih "enak" berpuasa. Ini bertentangan dengan law of attraction, dimana semesta kali ini tidak perlu mengikuti mau-nya saya :) Nyontek dari ERK, berpuasa itu biasa saja :-)<br /><br />Sebagai mayoritas, kita tetap perlu memperhatikan kepentingan minoritas, yaitu mereka yang tidak berpuasa. Yang tetap butuh makan siang, minum, nongkrong-nongkrong menikmati kue-kue manis atau cemilan. Sehingga restoran tetap bisa buka (kecuali dengan pertimbangan ekonomis, lebih rame bila dibuka sore). Yang makan masih bisa makan. Yang mau minum masih bisa minum. Tidak perlu sembunyi-sembunyi, dan silakan saja bila hal itu dilakukan di depan yang berpuasa.<br /><br />Di beberapa tempat, yang terjadi adalah sebaliknya. Tujuannya mungkin untuk membantu mereka yang berpuasa. Namun tanpa sadar, jadi bentuk pemaksaan terhadap minoritas untuk ikutan berpuasa. Restoran ditutup atau ditutupi kacanya. Gak boleh makan atau minum di depan mereka yang berpuasa. Dan bila tidak berpuasa, bukan cap temennya setan lagi yang ditempelkan dikeningnya, tapi naik derajat jadi "pengikut setan". Laki-laki tentu kelompok yang paling serba salah dan paling gampang untuk memperoleh cap ini karena relatif tidak ada alasan untuk tidak berpuasa. Kalau perempuan, masih bisa "ngeles" dengan berkata, "Saya lagi tidak berpuasa." atau "Saya lagi M". Malas, maksudnya.<br /><br /></span></span><b><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;">Awas, Jangan Kepeleset!</span></span></b><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><br /><br />Buat saya, usil dengan ketaqwaan itu perbuatan yang tidak berguna. Wong ketaqwaan diri sendiri aja masih perlu diusilin, hehe.. Jalan menuju taqwa bukan tangga yang kita tau dimana posisi kita berada sehingga kita bisa nengok ke belakang dan bilang ke orang di belakang kita "Payah lo, masih di bawah sana" :) Kita gak pernah tau sampai dimana ketaqwaan kita sebenarnya. Yang kita bisa tau adalah bahwa menjadi orang yang lebih baik itu adalah sebuah pilihan yang bisa kita ambil. Manusia adalah makhluk istimewa yang diberikan pilihan. Manusia adalah tempatnya salah. Yang bisa kita lakukan adalah berusaha, berefleksi dan berusaha lagi. So I guess the point is not necessarily doing the right thing, but do the things right.<br /><br />Sehingga, jangan juga kita menghakimi mereka yang keliatannya sok-sok bertaqwa, lantas berkata, ah mereka itu saking taqwanya malah jadi busuk. Generalisasi dan pen-cap-an adalah penyakit sosial yang perlu diberantas. Ini biasanya dilakukan oleh mereka yang mengadvokasikan "Hormatilah orang yang tidak berpuasa". Saya setuju idenya dalam konteks menghargai hak-hak kelompok minoritas, namun bukan berarti kita jadi menghakimi semua orang yang berpuasa dan beramal shaleh mengikuti jejak dan memiliki mental yang sama dengan para pasukan FPI dan pasukan pembela moral lainnya.<br /><br />Tidak semua orang Islam di negeri ini adalah FPI atau muslim berpandangan kolot :) Satu hal yang menurut saya, adalah tindakan "kepeleset" yang kadang dilakukan oleh mereka yang mengklaim sebagai muslim moderat atau liberal :)<br /><br />Agama tidak bergerak dalam ruang yang vakum. Masing-masing punya persepsi bagaimana kewajiban dan ritual agama diaplikasikan. Satu hal yang perlu kita bangun adalah bagaimana tradisi saling-menghormati dan tidak menghakimi bisa dibangun. Bukan cuma sekedar nafsu kepingin makanan padang yang harus kita kendalikan, namun juga nafsu kepingin makan orang :) Dengan cara tindak kekerasaan, kata-kata, maupun pikiran negatif terhadap sesama muslim. Amin.<br /></span></span><br /></span>herni sri nurbayantihttp://www.blogger.com/profile/02256987121040537652noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5711408449328448999.post-76074043155411761932009-08-21T20:02:00.000-07:002009-08-21T20:25:07.264-07:00Ramadhan 01: Maaf Memaafkan<span class="Apple-style-span" style="white-space: pre-wrap; "><i><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Di milis WM (wanita-muslimah), pernah ada tradisi yang coba kita bangun selama ramadhan. Posting artikel ramadhan setiap hari selama sebulan penuh. Ide ini saya ambil, meski tentu dilakukan dng cara yg berbeda. Yang pasti sih tidak spt tulisan teman2 di WM yg super huebat. Wong isinya rata2 ustadz dan ustadzah, hehe. Tulisan saya sekedar tulisan asbun dng jurus sotoy. Jadi jangan harap akan ada kutipan ayat, hadist, dan kata-kata mutiara. Sekedar pikiran saya yg asbun dan gelar master of sotoy saja :) Mari kita lihat, sampai hari ke berapa ide asbun bin sotoynya masih bisa tersalurkan.. hehe. </span></i></span><div><span class="Apple-style-span" style="white-space: pre-wrap;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><b></b><br /></span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="white-space: pre-wrap; "><b><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Ramadhan 01: Maaf Memaafkan</span></b></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="white-space: pre-wrap;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><br /></span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="white-space: pre-wrap; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Bulan ramadhan buat banyak orang dipraktekkan sbg bulan ritual maaf-memaafkan. Ia diawali dan diakhiri dengan maaf-memaafkan. Tahun ini, tumben cuma 2 sms soal maaf-memaafkan yang masuk. Biasanya hp penuh dengan sms itu. Dan biasanya pula, orang mengirimi beberapa kali dengan pelbagai media, mengucapkan langsung, sms, ym, email, fesbuk, dll. Bagus aja sih, asal kata maaf jangan jadi kata yang ringan diucapkan seperti kata makan (apa-apa kok ya dihubungi dng makan hehe). </span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="font-size:100%;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: 13px; white-space: pre-wrap;"><b><br /></b></span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="white-space: pre-wrap; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"></span><b><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Paku dan Lubang</span></b><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"> </span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="font-size:100%;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: 13px; white-space: pre-wrap;"><br /></span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="white-space: pre-wrap; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Maaf memang jadi soal yang penting. Ada yg bilang, menyakiti hati orang itu seperti menancapkan paku. Bila pakunya dicabut, dia masih meninggalkan lubang yg menganga. Intinya sih, hati-hati dalam bertingkah dan berkata kepada orang lain. Jangan sampai menyakiti. Tapi kadang kita gak pernah tau, apakah orang lain tersakiti dng tingkah laku dan kata kita atau tidak. Bisa jadi karena standar ke-sensitif-an yang berbeda, kemampuan memaklumi orang yg berbeda, tidak semua orang bisa mengutarakan bahwa mereka sebenarnya tersakiti dll. </span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="font-size:100%;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: 13px; white-space: pre-wrap;"><br /></span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="white-space: pre-wrap; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Jadi buat saya, minta maaf itu tindakan yang cukup penting. Saking pentingnya, sampai-sampai pernah ada teman yang bilang, "Lo sering banget sih minta maaf". Lhaaaa, minta maaf untuk sesuatu yang mereka pikir belum atau bahkan tidak perlu. Rupanya, saya kadang bisa lebih sensitif dari orang lain hehe. Saya pikir orang marah dng tindak dan ucapan saya, ternyata gak, hehehe.. Dan kalau saya sudah merasa bersalah, duh, ampun deh. Jadi baik banget hehe.. ngerayu abis dng cara saya sendiri. </span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="font-size:100%;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: 13px; white-space: pre-wrap;"><br /></span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="white-space: pre-wrap; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Tindakan memaafkan juga perlu, termasuk memaafkan diri sendiri (yg mungkin lebih sulit). Saya justru agak bingung sama memaafkan, dibandingkan minta maaf, terutama untuk perbuatan yang punya dampak atau kerugian nyata. Ini lebih kompleks dibandingkan sekedar menyakiti perasaan. Entah hati saya terbuat dari batu hingga susah dirobek (halah...) atau memang dia punya kemampuan untuk memaafkan yang besar atau memang saya tipe orang yang tidak perduli (dan cepat lupa juga sih hehe). </span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="font-size:100%;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: 13px; white-space: pre-wrap;"><br /></span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="white-space: pre-wrap; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Ada beberapa kejadian dimana orang yang tadinya memaki-maki atau memusuhi yang keterlaluan sama saya, lha... beberapa tahun kemudian malah jadi temen. Saya jadi tempat curhat dan bahkan minta diterapi pula. Kata tita, mungkin cuma lo yg bisa bikin orang begitu. Bukannya saya malaikat, cuma memiliki musuh itu tidak nyaman dibanding memiliki teman. Kalaupun orang sempat melakukan kegilaan dalam melabrak, biasa bukan? Because some people are simply nuts :) Tinggal digoreng dan dinikmati, selagi si kacang masih panas dan crunchy :)) </span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="font-size:100%;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: 13px; white-space: pre-wrap;"><br /></span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="white-space: pre-wrap; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Yang saya bingung, maaf yang menimbulkan dampak kerugian. Dua bulan ini, saya lagi terlibat program yg cukup sinting. Belum pernah saya pegang program se-sinting ini hehe. Suatu hari, salah satu staff yang harusnya membantu saya, resign mendadak di tengah persiapan serangkaian kegiatan yg riweuh lah pokoknya kalau ada yg resign. Dia melakukannya pun dengan tidak penuh etika. Udah mendadak, hari ini resign, besok langsung gak bisa bantu lagi, eh dia gak bantu untuk mencarikan pengganti pula. </span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="font-size:100%;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: 13px; white-space: pre-wrap;"><br /></span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="white-space: pre-wrap; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Dia datang ke meja saya dengan muka yang takut. Maklum, muka saya memang setelannya jutek :) Ketika dia bilang maaf, saya jawab jujur dengan nada datar. "Maafnya sih saya terima, tapi itu tidak membantu menyelesaikan masalah saya karena kamu resign kan?" Dia minta pengertian saya kalau siang itu dia harus ke depnaker untuk pekerjaan barunya. Saya tidak menjawabnya dengan serentetan omelan, padahal dalam hati membatin, udah gw yg dirugikan, eh dia minta pengertian pulak... Saking speechlessnya, cuma mampu berkata, tolong diberesin kerjaan sebelum resign. Saya minta ini itu, anu ani dibereskan. Ignorance and order. Walhasil, dia nongkrong sebentar di kantor untuk membereskan ini itu. </span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="font-size:100%;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: 13px; white-space: pre-wrap;"><b><br /></b></span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="white-space: pre-wrap; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"></span><b><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Cabut Pakunya, Tutup Lubangnya</span></b><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"> </span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="font-size:100%;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: 13px; white-space: pre-wrap;"><br /></span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="white-space: pre-wrap; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Buat saya, minta maaf kadang tidak cukup. Ini bukan soal hati yang tidak mampu memaafkan, but it is about cleaning your mess you created. Kita tidak saja harus mencabut pakunya, tapi juga menutup lubang akibat tertancapnya si paku tadi. Baru deh, minta maafnya jadi afdol. Di program yang sama, saya sempat melakukan kesalahan yang cukup fatal. Banyak yang bilang, itu tidak murni kesalahan saya. Buat saya, itu alasan yang mungkin mengurangi tapi tidak membenarkan secara penuh. Tadinya saya bingung, kok saya tidak dibenci atau setidaknya dimarahin hebat. Terus saya runut lagi apa yg saya lakukan setelah kejadian itu. </span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="font-size:100%;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: 13px; white-space: pre-wrap;"><br /></span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="white-space: pre-wrap; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Seharian itu saya sibuk nelpon sana-sini. Yang pertama saya lakukan adalah menceritakan kesalahan yang saya lakukan, minta maaf, menjelaskan konteks masalahnya kenapa bisa itu terjadi and last but not least, clean up the mess. Mungkin tidak bisa mengembalikan kepada kondisi seharusnya, tapi yang saya lakukan adalah meminimalisir kerugian dan mencarikan jalan keluar. Entah saya dimaafkan karena itu, atau karena semua orang maklum itu terjadi dalam kondisi program yang super sinting (tapi penting, meski ada yg bilang ini kerjaan technicalities.. mudah2an yg bilang gitu tidak bermaksud jadi menurunkan nilai pekerjaan yang saya lakukan karena alasan saya ambil program ini karena komitmen ke lembaga tempat saya bekerja juga :D). </span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="font-size:100%;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: 13px; white-space: pre-wrap;"><br /></span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="white-space: pre-wrap; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Dalam tingkat yang lebih tinggi lagi, bila terkait dengan tindak pidana. Mencuri, misalnya. Masa iya, habis mencuri terus minta maaf, maka persolan jadi selesai? Masalah alasan si pencuri karena persoalan ekonomi, adalah persoalan yang meringankan si pencuri. Yang dicuri boleh memaafkan, tapi baiknya mencari jalan keluar juga untuk "menghukum" si pencuri. Kalau masalahnya karena miskin, ya kasih pekerjaan sekalian biar gak mencuri lagi. Selemah-lemahnya iman, itulah "hukuman'nya. Kecuali mencuri hati, saya gak ngerti tuh penyelesaiannya gimana hehe. </span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="font-size:100%;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: 13px; white-space: pre-wrap;"><br /></span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="white-space: pre-wrap; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Udah ah. Ngantuk, mo tidur. Kok penutup tulisannya kaya gini sih? :D </span></span><div><span class="Apple-style-span" style="font-family:'lucida grande';font-size:100%;"><span class="Apple-style-span" style=" white-space: pre-wrap;font-size:11px;"><br /></span></span></div></div>herni sri nurbayantihttp://www.blogger.com/profile/02256987121040537652noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5711408449328448999.post-84412668081596566202009-04-20T18:11:00.000-07:002009-05-02T20:43:25.802-07:00The Privacy Invaders<span class="Apple-style-span" style="line-height: 19px; font-style: italic; font-weight: bold; font-family: georgia;font-family:-webkit-sans-serif;font-size:85%;" ><span class="Apple-style-span"><div><span class="Apple-style-span" style="font-weight: normal; font-style: normal;">Wikipedia defines privacy as: </span></div><div><span class="Apple-style-span" style="font-style: normal; font-weight: normal;"><br /></span></div><div style="font-weight: bold; font-style: italic;"><span class="Apple-style-span" style="font-style: normal; font-weight: normal;"><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Privacy">http://en.wikipedia.org/wiki/Privacy</a><br /></span></div></span></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 19px; font-family: georgia;font-family:-webkit-sans-serif;font-size:85%;" ><span class="Apple-style-span">Privacy</span><span class="Apple-style-span"> is the ability of an individual or group to seclude themselves or information about themselves and thereby reveal themselves selectively. The boundaries and content of what is considered private differ among cultures and individuals, but share basic common themes. Privacy is sometimes related to </span><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Anonymity" title="Anonymity" style="text-decoration: none; color: rgb(0, 43, 184); background-image: none;"><span class="Apple-style-span">anonymity</span></a><span class="Apple-style-span">, the wish to remain unnoticed or unidentified in the public realm. When something is private to a person, it usually means there is something within them that is considered inherently special or personally sensitive. The degree to which private information is exposed therefore depends on how the public will receive this information, which differs between places and over time. Privacy can be seen as an aspect of </span><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Security" title="Security" style="text-decoration: none; color: rgb(0, 43, 184); background-image: none;"><span class="Apple-style-span">security</span></a><span class="Apple-style-span"> — one in which trade-offs between the interests of one group and another can become particularly clear.</span></span><div style="font-style: italic; font-weight: bold; font-family: georgia;font-family:georgia;" ><span class="Apple-style-span" style="line-height: 19px;font-size:85%;" ><span class="Apple-style-span"><br /></span></span></div><div style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="line-height: 19px;font-size:85%;" ><span class="Apple-style-span" style="font-family: georgia;">The concept of privacy is most often associated with </span><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Western_culture" title="Western culture" style="text-decoration: none; color: rgb(0, 43, 184); background-image: none; font-family: georgia;"><span class="Apple-style-span">Western culture</span></a><span class="Apple-style-span" style="font-family: georgia;">, English and North American in particular. According to some researchers, the concept of privacy sets </span><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Anglo-American" title="Anglo-American" style="text-decoration: none; color: rgb(0, 43, 184); background-image: none; font-family: georgia;"><span class="Apple-style-span">Anglo-American</span></a><span class="Apple-style-span" style="font-family: georgia;"> culture apart even from other Western European cultures such as French or Italian.</span><sup id="cite_ref-0" class="reference" style="line-height: 1em; font-family: georgia;"><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Privacy#cite_note-0" title="" style="text-decoration: none; color: rgb(0, 43, 184); background-image: none; white-space: nowrap;"><span><span class="Apple-style-span">[</span></span><span class="Apple-style-span">1</span><span><span class="Apple-style-span">]</span></span></a></sup><span class="Apple-style-span" style="font-family: georgia;"> The concept is not universal and remained virtually unknown in some cultures until recent times. A word "privacy" is usually regarded as </span><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Untranslatability" title="Untranslatability" style="text-decoration: none; color: rgb(0, 43, 184); background-image: none; font-family: georgia;"><span class="Apple-style-span">untranslatable</span></a><sup id="cite_ref-TranslationToday_1-0" class="reference" style="line-height: 1em; font-family: georgia;"><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Privacy#cite_note-TranslationToday-1" title="" style="text-decoration: none; color: rgb(0, 43, 184); background-image: none; white-space: nowrap;"><span><span class="Apple-style-span">[</span></span><span class="Apple-style-span">2</span><span><span class="Apple-style-span">]</span></span></a></sup><span class="Apple-style-span" style="font-family: georgia;"> by linguists. Many languages lack a specific word for "privacy". Such languages either use a complex description to translate the term (such as Russian "Неприкосновенность частной жизни") or borrow English "privacy" (as Indonesian "Privasi" or Italian "la privacy")</span><sup id="cite_ref-TranslationToday_1-1" class="reference" style="line-height: 1em; font-family: georgia;"><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Privacy#cite_note-TranslationToday-1" title="" style="text-decoration: none; color: rgb(0, 43, 184); background-image: none; white-space: nowrap;"><span><span class="Apple-style-span">[</span></span><span class="Apple-style-span">2</span><span><span class="Apple-style-span">]</span></span></a></sup><span class="Apple-style-span" style="font-family: georgia;">.</span><br /></span></div><div style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic; line-height: 19px;font-size:85%;" ><br /></span></div><div style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="line-height: 19px;font-size:85%;" >Blog is a place where people share stories. It could be their own stories, this is when blog is our own online journal. Or, it could be other's people stories. We tell other people stories in our blog. Some do it by hiding the subject's real identities, creating imaginary or symbolic names, some just totally reveal their identities, probably accompany by all those swearing and nasty words. This is when our blog is our own personal trash can. You can throw anything in it, and you can even throw it to your most hated person.</span><span style="font-size:85%;"><br /></span></div><div style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="line-height: 19px;font-size:85%;" ><br /></span></div><div style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic; line-height: 19px;font-size:85%;" ><span class="Apple-style-span" style="font-style: normal;">We tell other people's stories for different reasons. The noblest one is probably to share the lesson learnt from their experiences. The shallowest one of course, when you do it for your own personal revenge plan. While there others who make their real life (including people surround them) into one big smashing hits novel :), which then, someone is making a movie out of it. Raditya the "kambing jantan" and andrea hirata with his tetralogy are only the samples. Despite the funny and touchy parts of their stories, have you ever wonder about Raditya's girlfriend (they broke up now) or A Ling's --andrea's first love crush-- or Andrea's girlfriend (forgot the name of the girl)? I mean, do you really want your ex-boyfriend telling stories about you two together, both in a novel and movie (and let's also count the infotainment too)?<br /><br />We call it "privacy" because for some reasons, we would like keep it from the public realm. I always have questions and dilemmas whether I should bring other's people stories or not in this blog, in order to respect their privacy. Even, if they did some shittiest thing upon me. I did bring up those two bitches (should have brought up the third and the bitchiest :P) and then, erased them for good. At first, I didn't want to bring them up, until Tita asked me too, since they are the most important thing ever happened, hehe. But then again, I decided to erase them.<br /><br />And I did make some stories, true stories, which involve other people's, but I tagged them. I think it is the question of ethical that you should let them know that you're writing about them.<br /><br />Have I ever been brought up to other people's blog? Yes, couple times. A friend told me that she wrote my experience but of course, she made fake names to hide my identity. There is one article which I didn't know I was part of it. And to be honest, I found the subject to be "sensitive". Something that I don't even want to talk about.<br /><br />I wanted to tell that person to delete it, but I guess that person has the rights to tell it. And that person seems a kind of person that tells other people's stories in blogs anyway. For whatever reasons, just assumes that person uploaded it for a good reason :) Thank God, that person spared my name. It's funny, though.. to see other people's perspectives about yourself. Probably, I'd write about that subject. It is now a public material anyway.<br /><br />Privacy invaders? Well, I am a privacy invaders. People who can read beyond what a normal eyes see, are automatically privacy invaders. But that is totally different issues hehe..<br /></span></span></div><div style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="line-height: 19px;font-size:85%;" ><br /></span></div><div style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="line-height: 19px;font-size:85%;" ><br /></span></div>herni sri nurbayantihttp://www.blogger.com/profile/02256987121040537652noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5711408449328448999.post-23807007469121371012009-04-16T08:20:00.000-07:002009-04-16T16:41:50.090-07:00Me, Tita & Porky<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhPBvQOfOhUiqDjWQKgibOu6yxVl61QKR7F2EPCh-jdTrOOagxRwcY0XcyGRlAyV_RViQAijN6e2UbdT5ru9TKl4it6SbPWLAhK5Fkp1UiEsWUMabtLtWj5T06u9PGeEp7CsQAJ61-D5QQ/s1600-h/Tita+n+porky.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 240px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhPBvQOfOhUiqDjWQKgibOu6yxVl61QKR7F2EPCh-jdTrOOagxRwcY0XcyGRlAyV_RViQAijN6e2UbdT5ru9TKl4it6SbPWLAhK5Fkp1UiEsWUMabtLtWj5T06u9PGeEp7CsQAJ61-D5QQ/s320/Tita+n+porky.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5325437174721052002" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgTC3FqWvRwHEWlT2z7zBYGl-N9giWofcycFVMRw6hPYKRHNywDcac7_5-1gnjXdpUjQd6xxJUu4IUFW_6xJQpdiO6LhSy-8Hp1aKjYGcgUAZ4sVA0RpYMmQMjenPwdjzub7pZJ0v7zag0/s1600-h/Herni+dan+babi.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgTC3FqWvRwHEWlT2z7zBYGl-N9giWofcycFVMRw6hPYKRHNywDcac7_5-1gnjXdpUjQd6xxJUu4IUFW_6xJQpdiO6LhSy-8Hp1aKjYGcgUAZ4sVA0RpYMmQMjenPwdjzub7pZJ0v7zag0/s320/Herni+dan+babi.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5325437174711610098" /></a><br />Namanya Porky, si boneka babi berwarna pink. Dibeli tahun 2005, sebelum ke Belanda, dari Ole. Seketika dijadikan obyek foto dengan berbagai macam pose, tentu saja. Sayangnya, hanya dua foto ini yang tersisa, thanks to dek Iphe. Foto-foto dengan porky harus lenyap bersamaan dengan hp lama yang tiba-tiba mati total.<div><br /></div><div>Keberadaan porky sekarang? Tadinya ada di rumah. Tapi karena si gemblung suka sekali dengan boneka ini hingga dijadikan teman tidur tiap malam dan si porky jadi "bau laki-laki gemblung", maka diselamatkanlah oleh mbak helly. Bersama-sama dengan boneka teddy bear yang berwarna coklat, beli di scheveningen sebagai bentuk charity untuk anak-anak yang terkena penyakit kanker. Cuma sayangnya, status mereka berdua sekarang MIA (missing in action). Entah disembunyikan dimana keduanya oleh mbak Helly. </div><div><br /></div><div>Porky adalah koleksi pertama boneka atau pajangan berbentuk babi, mulai dari boneka babi dari kayu (dari Endah, oleh-oleh dari Prague), boneka babi berdaun irlandia (dari Avi, oleh-oleh juga), pasukan babi-babi mungil dari kaca bening (dari Kay, oleh-oleh dari Cina), dan celengan babi dengan corak keramik khas Belanda (yang ini beli sendiri di Volendam, tapi entah dimana sekarang).</div><div><br /></div><div><br /></div><div> </div>herni sri nurbayantihttp://www.blogger.com/profile/02256987121040537652noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5711408449328448999.post-10012657819361195192009-04-14T00:43:00.000-07:002009-04-14T01:07:03.343-07:00On Sorry<span class="Apple-style-span" style="color: rgb(51, 51, 51); font-family:'Lucida Grande';font-size:12px;"><p style="line-height: 1.5em; margin-top: 1.2em; margin-right: 0px; margin-bottom: 1.2em; margin-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;">It’s sad, so sad<br />It’s a sad, sad situation<br />And it’s getting more and more absurd<br />It’s sad, so sad<br />Why can’t we talk it over<br />Oh it seems to me<br />That sorry seems to be the hardest word<br />(Elton John).</span></span></p><p style="line-height: 1.5em; margin-top: 1.2em; margin-right: 0px; margin-bottom: 1.2em; margin-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;">Buat sebagian orang, kata maaf menjadi satu kata yg sulit untuk diucapkan. Entah teman, pacar, orang tua yang enggan meminta maaf pada anaknya, dan bahkan Pemerintah. Ya, adalah sangat tidak masuk akal ketika Parlemen Belanda memutuskan untuk menolak permohonan seorang wakil negara Indonesia untuk sebuah permohonan maaf karena telah menjajah rakyat Indonesia selama beratus-ratus tahun. Atau dalam film <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Civil Action</span>-nya John Travolta, yang bercerita tentang sebuah perusahaan yang membuang limbahnya sembarangan dan melukai pemuda-pemudi setempat, namun menolak untuk sekedar mengucap kata maaf dan memilih untuk memberikan ‘uang damai’ sebesar 8 juta dollar, atau sekitar 375ribu dollar (setelah dipotong biaya pengacara, biaya perkara dll) per orang untuk anak-anak mereka yang meninggal jadi korban. I mean, how do they sleep? How do they forgive themselves? Or maybe they don’t feel guilty at all.</span></span></p><p style="line-height: 1.5em; margin-top: 1.2em; margin-right: 0px; margin-bottom: 1.2em; margin-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;">In personal sphere, if you still have consciouness, to ask forgiveness is to forgive yourself. Untuk mengucap kata ‘maaf’ adalah bagian dari proses untuk memaafkan diri sendiri, yang telah melukai orang lain.</span></span></p><p style="line-height: 1.5em; margin-top: 1.2em; margin-right: 0px; margin-bottom: 1.2em; margin-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;">Tapi, ternyata persoalan tidak semudah itu. Pertanyaannya kemudian adalah, sampai sejauhmanakah kata maaf dianggap sudah cukup? Cukupkah kata maaf ketika perbuatan tersebut sudah mengakibatkan kerugian material maupun immaterial bagi orang lain? For some people, in some cases, maybe ’sorry’ would not be enough… to compesate. Otherwise, we wouldn’t have any legal action to deal with it, right? </span></span><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><img src="http://hermun.blog.friendster.com/wp-includes/images/smilies/icon_smile.gif" alt=":-)" class="wp-smiley" style="margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; border-style: initial; border-color: initial; border-top-width: 0px !important; border-right-width: 0px !important; border-bottom-width: 0px !important; border-left-width: 0px !important; border-style: initial !important; border-color: initial !important; " /></span></span></p><p style="line-height: 1.5em; margin-top: 1.2em; margin-right: 0px; margin-bottom: 1.2em; margin-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;">Terlebih ketika bagi sebagian orang, kata maaf menjadi satu kata yg mudah untuk diucapkan. Just say "Sorry" and the problem is considered solved. The person who said sorry is considered has redemption for any actions he/she may caused. And then, case closed. But, is it? Accepting other person's apology is one thing, restoring things to normal before it was impaired by his/her doing is a totally different thing. You probably would look at him/her in totally different perspective. Like a song from the Corrs, you are forgiven, but not forgotten. People may say it is already forgotten, but perhaps there is levels or degrees of forgetting something or someone that they don't aware of . Sometimes, you unconsiously make a note and keep it somewhere within you.</span></span></p><p style="line-height: 1.5em; margin-top: 1.2em; margin-right: 0px; margin-bottom: 1.2em; margin-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;">Another option is, to talk over, including between you and yourself. So, ’sorry’ is something to negotiate. Something that we have to compromise. Something to be agreed and deal with. But in personal sphere, it doesn’t always work that easy. Kadang-kadang, kita terpaksa harus ‘ikhlas’ menerima kata maaf, bahkan ketika perbuatan yang dihasilkan sudah menimbulkan kerugian… immaterial maupun material. And you wish that something would suddenly hit your head and take your memories away. Atau kita berharap, kita dikaruniai sifat pelupa. You simply just want to forget it, by not necessarily talking about it.</span></span></p><p style="line-height: 1.5em; margin-top: 1.2em; margin-right: 0px; margin-bottom: 1.2em; margin-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" style=" ;font-size:13px;"><span class="Apple-style-span" style=" ;font-family:georgia;">Dan maaf, menjadi sebuah kata yg tidak saja sulit tapi juga penuh dilema </span></span><span class="Apple-style-span" style=" ;font-size:13px;"><span class="Apple-style-span" style=" ;font-family:georgia;"><img src="http://hermun.blog.friendster.com/wp-includes/images/smilies/icon_smile.gif" alt=":-)" class="wp-smiley" style="margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; border-style: initial; border-color: initial; border-top-width: 0px !important; border-right-width: 0px !important; border-bottom-width: 0px !important; border-left-width: 0px !important; border-style: initial !important; border-color: initial !important; " /> </span></span></p><p style="line-height: 1.5em; margin-top: 1.2em; margin-right: 0px; margin-bottom: 1.2em; margin-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" style=" ;font-size:13px;"><span class="Apple-style-span" style=" ;font-family:georgia;">Yeah, sorry…</span></span><br /></p><p style="line-height: 1.5em; margin-top: 1.2em; margin-right: 0px; margin-bottom: 1.2em; margin-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" style=" ;font-family:georgia;font-size:13px;"><br /></span></p></span>herni sri nurbayantihttp://www.blogger.com/profile/02256987121040537652noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5711408449328448999.post-24770783692686457462009-04-11T08:54:00.000-07:002009-04-11T08:59:47.088-07:00On Leader and Leadership<div><a href="http://www.poetryfoundation.org/archive/poem.html?id=173018"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">http://www.poetryfoundation.org/archive/poem.html?id=173018</span></a><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><br /></span></div><div><br /></div><span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">The Lost Leader </span></span><div><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">By Robert Browning</span></div><div><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><br /></span></div><div><span class="Apple-style-span" style=" line-height: 18px; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Just for a handful of silver he left us, <br /></span><div style="text-indent: -1em; padding-left: 1em; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"> Just for a riband to stick in his coat—</span></div><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Found the one gift of which fortune bereft us, <br /></span><div style="text-indent: -1em; padding-left: 1em; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"> Lost all the others she lets us devote;</span></div><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">They, with the gold to give, doled him out silver, <br /></span><div style="text-indent: -1em; padding-left: 1em; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"> So much was theirs who so little allowed:</span></div><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">How all our copper had gone for his service! <br /></span><div style="text-indent: -1em; padding-left: 1em; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"> Rags—were they purple, his heart had been proud!</span></div><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">We that had loved him so, followed him, honoured him, <br /></span><div style="text-indent: -1em; padding-left: 1em; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"> Lived in his mild and magnificent eye,</span></div><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Learned his great language, caught his clear accents, <br /></span><div style="text-indent: -1em; padding-left: 1em; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"> Made him our pattern to live and to die!</span></div><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Shakespeare was of us, Milton was for us, <br /></span><div style="text-indent: -1em; padding-left: 1em; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"> Burns, Shelley, were with us,—they watch from their graves!</span></div><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">He alone breaks from the van and the freemen, <br /></span><div style="text-indent: -1em; padding-left: 1em; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"> —He alone sinks to the rear and the slaves!</span></div><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><br />We shall march prospering,—not thro' his presence; <br /></span><div style="text-indent: -1em; padding-left: 1em; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"> Songs may inspirit us,—not from his lyre;</span></div><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Deeds will be done,—while he boasts his quiescence, <br /></span><div style="text-indent: -1em; padding-left: 1em; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"> Still bidding crouch whom the rest bade aspire:</span></div><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Blot out his name, then, record one lost soul more, <br /></span><div style="text-indent: -1em; padding-left: 1em; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"> One task more declined, one more footpath untrod,</span></div><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">One more devils'-triumph and sorrow for angels, <br /></span><div style="text-indent: -1em; padding-left: 1em; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"> One wrong more to man, one more insult to God!</span></div><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Life's night begins: let him never come back to us! </span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style=" line-height: 18px; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><br /></span><div style="text-indent: -1em; padding-left: 1em; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"> There would be doubt, hesitation and pain,</span></div><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Forced praise on our part—the glimmer of twilight, <br /></span><div style="text-indent: -1em; padding-left: 1em; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"> Never glad confident morning again!</span></div><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Best fight on well, for we taught him—strike gallantly, <br /></span><div style="text-indent: -1em; padding-left: 1em; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"> Menace our heart ere we master his own;</span></div><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Then let him receive the new knowledge and wait us, <br /></span><div style="text-indent: -1em; padding-left: 1em; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"> Pardoned in heaven, the first by the throne!</span></div></span><div><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><br /></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><br /></span></div><div><a href="http://www.authorsden.com/visit/viewPoetry.asp?AuthorID=73862"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">http://www.authorsden.com/visit/viewPoetry.asp?AuthorID=73862</span></a><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><br /></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><br /></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="border-collapse: collapse; font-family: Arial; font-size: 13px; -webkit-border-horizontal-spacing: 4px; -webkit-border-vertical-spacing: 4px; "><span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Am I a Leader? <br /></span></span></span><span class="Apple-style-span" style="font-family: georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">By Mike Wash<br /><br />Do you care about others <br />Are you willing to give them time <br />Can you get angry about the failure <br />And waste caused by crime? <br /><br />Do you have a passion to make a difference <br />Can you help others see another option <br />Are you prepared to make a stance <br />And communicate clearly your position <br />Standing boldly stating what’s possible <br />And excite those around you, <br />Who in turn you inspire <br />To work beyond the ordinary <br />With passion, zeal and fire. <br /><br />Can people read you and your values <br />Know what you stand for <br />See your bold and good intent <br />So they can rely on your candour. <br /><br />Do you seek out opportunities to learn <br />From your own and indeed others mistakes <br />Thriving on new knowledge and yearn <br />For the opportunity to release the brakes <br />On people’s potential so they can grow <br />From the seeds you sow. <br /><br />Can you cry about other’s pain <br />Shout about injustice <br />Guard against false fame <br />And listen carefully in case you miss <br />The wisdom of others. <br /><br />Do you put into practice <br />Those values you hold dearly <br />Those principles you preach <br />Those behaviours you desire <br />And those standards you hope to reach. <br /><br />Can you reflect on your day <br />And admit to learn <br />That maybe another way <br />May lead you to earn <br />The respect of others who say <br />We have ideas too <br />If you let us follow through <br />And do <br />For you <br />To <br />Achieve extraordinary results <br />That reflect the spirit and pride <br />You often hide <br />Until the applause and roar <br />Of success are so evident <br />You may as well sit back and enjoy the ride. <br /><br />Leaders are big, leaders are small <br />Leaders don’t always walk tall <br />Quite often they talk with their actions <br />Quite often they speak with knowledge <br />And confidence that within a fraction <br />They can and will take themselves to the edge <br />Of the unknown to achieve that bit extra <br />So others learn and benefit <br />From the legacy of a unique contribution <br />That makes a difference. <br /><br />If deep down, these qualities highlighted here <br />Stir with recognition and instil <br />That sense of purpose to be true <br />To an ideal and way of being <br />Then yes, <br />Perhaps this is you. </span><br /></span></span><br /></span></div></div>herni sri nurbayantihttp://www.blogger.com/profile/02256987121040537652noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5711408449328448999.post-58849951945665539632009-04-09T09:00:00.000-07:002009-04-09T10:35:19.268-07:00Dari Golput-ers untuk Caleg Perempuan<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjuQZUSNDol-oGXdaQu6FNLx9A33y4iJFFXi2Xclf1G4udOVwgoafIatTqUIQ2s-I8L4oKFza8VkreLYtdT-DZzJUg_J-yLAuLHn3zmp0gnYZ7NyMzBClD2yjTP2YnY9KQyrjyqmQffvhg/s1600-h/women+election+perangko.png"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 236px; height: 148px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjuQZUSNDol-oGXdaQu6FNLx9A33y4iJFFXi2Xclf1G4udOVwgoafIatTqUIQ2s-I8L4oKFza8VkreLYtdT-DZzJUg_J-yLAuLHn3zmp0gnYZ7NyMzBClD2yjTP2YnY9KQyrjyqmQffvhg/s320/women+election+perangko.png" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5322727076490383266" /></a><br /><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style=" white-space: pre-wrap; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Ada yang berbeda dengan Pemilu 2009. Pertama, saya akhirnya memutuskan untuk memilih! Kedua, saya tidak lagi memilih partai, tapi individu. Ketiga, dan ini yang mungkin paling penting, semua ini adalah gara-gara: perempuan! :-)</span></span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><br /></span></div><span class="Apple-style-span" style="white-space: pre-wrap; "><div style="text-align: justify;"><br /></div><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;"><div style="text-align: justify;">Terakhir saya memilih adalah tahun 1999. Pemilu 2004 yang lalu, saya golput. Tadinya, pemilu kali ini pun saya berencana untuk golput, berdasarkan alasan-alasan yang sebelumnya sudah saya ungkapkan di blog ini. Tapi rupanya, ada yg membangunkan salah satu kawanan singa tidur bernama golput ini: caleg perempuan. Hal ini didorong juga dengan file daftar caleg perempuan yang perlu didukung dari mbak Dewi Tjakrawinata APAB (Aliansi Pelangi Antar Bangsa). Daftar caleg perempuan yang selama ini memang terbukti komitmennya untuk memperjuangkan keadilan jender. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Saya memilih mereka, meskipun saya tidak suka dengan partai yang direpresentasikannya. Pilihan saya jatuh pada caleg perempuan yang berasal dari salah satu partai yang kental dengan nuansa Islam (tapi bukan PKS, hehe), namun saya kenal dan tau baik sepak terjangnya selama ini dalam advokasi RUU Pelayanan Publik. Dia aleg yang bersuara lantang dan mampu bersikap tegas dalam rapat-rapat. Dia sangat akomodatif dan selalu menyediakan waktu untuk memahami substansi dari advokasi kita. Dia juga sangat terbuka dengan kritik, ketika pers release yang dikeluarkan oleh Jaringan Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3) membuat Pak Sayuti, konon katanya, kecewa. Dia mampu menerima kritik kami terhadap DPR sebagai lembaga dan secara legowo mengakui kelemahan-kelemahan institusi itu.<br /></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Buat saya, ketika kita bicara soal partai yang tidak memiliki platform, yang masih tidak profesional, dan segala masalah lainnya, kita bicara soal sistem. Dan memperbaiki sistem itu, tidak semudah membalikan telapak tangan. Ikut pemilu dan mencontreng nama salah satu caleg perempuan pun, tidak serta merta membuat sistem itu menjadi demokratis. Tapi yang pasti, kita butuh individu-individu yang terbuka dan memiliki komitmen yang kuat untuk memperbaiki sistem. Kita membutuhkan individu-individu yang bisa memberikan "sentuhan perempuan" dalam sistem. Membawa semangat keadilan jender di parlemen.<br /></div> <div style="text-align: justify;">Bicara caleg perempuan tentu tidak bicara soal representasi, jumlah dan muka perempuan di parlemen. Bicara caleg perempuan juga bicara bagaimana caleg perempuan bisa memberikan kontribusi bagi perubahan di parlemen pada tidak saja pada tataran manajemen, namun juga pada tataran aras. Perubahan yang mengajak baik perempuan maupun laki-laki untuk peduli pada isu keadilan jender.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div>Dan bila ada yang mengatakan, pemilu akan selalu bentuk kompromi untuk memilih yang lebih tidak buruk dari buruk-buruk, maka bentuk kompromi itu buat saya adalah, saya memilih individunya meskipun saya tidak terlalu "sreg " dengan partainya. Tentu saja, tiap kompromi memiliki batas toleransi. Demikian pula dengan pertimbangan partai yang direpresentasikannya. Saya memiliki batas toleransi saya sendiri.<div style="text-align: justify; "><br /></div><div style="text-align: justify; ">Jadi pemilu kali ini, saya sebagai anggota kawanan golput, bangun hanya untuk menyontreng, demi parlemen dan pelaksanaan fungsi representasi yang berkeadilan jender.</div></span></span>herni sri nurbayantihttp://www.blogger.com/profile/02256987121040537652noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5711408449328448999.post-38060994411599890482009-04-08T21:29:00.000-07:002009-04-09T10:55:31.469-07:00Home Sweet Home<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3P9cvQic5lE4AM5RPn4Vl2nwbQXEOYQymkior8dB-Iqm0YblMCCvgDj1EeHSYB6v3KsjrsA50UbAAgPIKFJEfJFzUiPc17yCNT0gL9S_WrNkR1B3ShialMezXN8GUKgZYeEpOwM0M1xw/s1600-h/tampak+depan+2a.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 240px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3P9cvQic5lE4AM5RPn4Vl2nwbQXEOYQymkior8dB-Iqm0YblMCCvgDj1EeHSYB6v3KsjrsA50UbAAgPIKFJEfJFzUiPc17yCNT0gL9S_WrNkR1B3ShialMezXN8GUKgZYeEpOwM0M1xw/s320/tampak+depan+2a.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5322692196881584898" /></a><br /><span class="Apple-style-span" style=" ;font-family:'times new roman';"><dt><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">What is home? A place where we experience independence, safety, privacy, and where we can dispense hospitality. The family is the true unit. Kerja keras terbayar sudah! This one is from us, for you, mommy!</span></span></dt><div><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;"><br /></span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;"><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">Home Sweet Home</span></span></span></div></span><div><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;"><br /></span></div><div><span class="Apple-style-span" style=" ;font-family:'times new roman';"><dt><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">Mid pleasures and palaces though we may roam,</span></span></dt><dt><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">Be it ever so humble, there's no place like home;</span></span></dt><dt><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">A charm from the sky seems to hallow us there,</span></span></dt><dt><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">Which, seek through the world, is ne'er met with elsewhere.</span></span></dt><dd><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">Home, home, sweet, sweet home!</span></span></dd><dd><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">There's no place like home, oh, there's no place like home!</span></span><p></p></dd><dt><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">An exile from home, splendor dazzles in vain;</span></span></dt><dt><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">Oh, give me my lowly thatched cottage again!</span></span></dt><dt><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">The birds singing gayly, that come at my call --</span></span></dt><dt><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">Give me them -- and the peace of mind, dearer than all!</span></span></dt><dd><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">Home, home, sweet, sweet home!</span></span></dd><dd><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">There's no place like home, oh, there's no place like home!</span></span><p></p></dd><dt><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">I gaze on the moon as I tread the drear wild,</span></span></dt><dt><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">And feel that my mother now thinks of her child,</span></span></dt><dt><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">As she looks on that moon from our own cottage door</span></span></dt><dt><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">Thro' the woodbine, whose fragrance shall cheer me no more.</span></span></dt><dd><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">Home, home, sweet, sweet home!</span></span></dd><dd><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">There's no place like home, oh, there's no place like home!</span></span><p></p></dd><dt><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">How sweet 'tis to sit 'neath a fond father's smile,</span></span></dt><dt><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">And the caress of a mother to soothe and beguile!</span></span></dt><dt><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">Let others delight mid new pleasures to roam,</span></span></dt><dt><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">But give me, oh, give me, the pleasures of home.</span></span></dt><dd><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">Home, home, sweet, sweet home!</span></span></dd><dd><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">There's no place like home, oh, there's no place like home!</span></span><p></p></dd><dt><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">To thee I'll return, overburdened with care;</span></span></dt><dt><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">The heart's dearest solace will smile on me there;</span></span></dt><dt><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">No more from that cottage again will I roam;</span></span></dt><dt><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">Be it ever so humble, there's no place like home.</span></span></dt><dd><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">Home, home, sweet, sweet, home!</span></span></dd><dd><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">There's no place like home, oh, there's no place like home!</span></span><p></p></dd><dd><b><span class="Apple-style-span" style="font-family:georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">John Howard Payne</span></span></b></dd></span></div>herni sri nurbayantihttp://www.blogger.com/profile/02256987121040537652noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5711408449328448999.post-32832164425833265722009-03-11T06:34:00.000-07:002009-03-12T02:08:36.836-07:00Nikmat Mana Lagi yang Kau Dustakan?Waktu SMA, kita punya satu kegiatan ekstra kurikuler yang "wajib". Mengapa diberi tanda kutip, karena diwajibkan secara sosial, pengajian kelas! Saya ingat dulu, saya sering kabur dari pengajian kelas ini. Namun kemudian ketika masuk jurusan A3 (sosial) malah membuat satu wadah pengajian alternatif, buletin dakwah pengajian kelas (BDPK) Sosial. Ini proyek usil saya yang pertama. Usil karena buletin ini kami dirikan dengan dana yang diperoleh dari "memangkas" infaq jum'at (yang lagi-lagi merupakan paksaan sosial sumbangan kelas ke mushola sekolah). Selain itu, usil juga karena materi laporan utama pertamanya tentang pengajian kelas yang tidak laku dan sepi pengunjung hihihi. Soal harga, saya iseng juga memasang "infaq: seikhlasnya". Suatu bentuk protes terhadap infaq-infaq yang keliatannya meminta keikhlasan cuma tidak lebih dari paksaan sosial. Gaya penyampaiannya pun populer bin nge-pop. Buletinnya sukses besar, terbukti dari dukungan keuangan dari teman-teman yang menyumbang lebih dari modal fotokopi dan cara-cara kami ditiru oleh buletin resmi terbitan musholla hihihi...<br /><br />Tapi, saya tidak mau cerita soal keusilan masa SMA. Benang merah ingatan yang melempar saya ke masa-masa penuh warna itu adalah doktrin-doktrin pengajian kelas, dakwah-dakwah di liqo (yang saya juga tidak tahan mengikutinya ini hehe..) yang rupanya tanpa sadar terpatri di kepala. Salah satunya, adalah satu ayat di Qur'an yang diulang-ulang. Nikmat mana lagi yang kau dustakan? Sesi soal nikmat. Satu sesi yang saya bisa terima, dibandingkan sesi-sesi tentang kebencian terhadap agama lain atau sesi-sesi tentang segala macam larangan, dosa dan azab dimana agama ditempatkan sebagai alat opresi dan wajah Tuhan ditampilkan sebagai Sang Maha Kejam, bukannya Yang Maha Pengasih.<br /><br />Bicara soal nikmat, sama halnya bicara tentang seseorang yang sifat spesialnya baru kita sadari setelah dia tidak ada. Kita baru sadar betapa nikmatnya kesehatan yang diberikan, manakala sakit. Kita baru sadar betapa nikmatnya punya duit banyak, manakala ketika miskin. Ah, contohnya kok kaya gitu sih! :)<br /><br />Saya baru merasakan betapa kondisi bisa mengunyah, menelan dan merasakan perut mencerna makanan itu hingga keluar melalui anus adalah suatu kenikmatan, manakala tubuh saya tidak mampu melakukan itu. Makan apapun, selalu dimuntahkan dalam bentuk yang persis ketika dikunyah. Saya coba nasi dan ikan, keluarnya demikian. Saya coba roti dan meses, keluarnya juga demikian. Seolah tidak menyerah untuk makan :), saya coba biskuit dengan teh hangat (ceritanya kaya makanan bayi hehe), saya muntahkan juga dalam bentuk persis seperti ketika masuk mulut. Nikmat kecil ini baru terasa setelah diberi obat dan akhirnya saya bisa mengunyah, menelan dan makanan itu diam di perut saya, diolah sampe keluar lewat anus. Menikmati perut yang kenyang ternyata hal yang luar biasa! Nikmat yang merasakan makanan masuk, "diam" diolah oleh lambung, kenyang.... Kita pun duduk dengan penuh rasa lega dan mungkin sambil mengelus-elus perut :)<br /><br />Satu nikmat kecil yang baru terasa nilainya adalah menikmati udara yang semilir di sela-sela rambut hingga ke tengkuk, tanpa harus menjadi gatal-gatal karena itu. Ya, ini karena kebaikan tita yang menularkan penyakit menahunnya ke diriku. Mungkin ini namanya persahabatan bagai ke...pom..pong :D. Gatal-gatal. Alergi dingin. Dalam kondisi ini, tubuh merupakan termometer alami dimana setiap penurunan suhu sedikiiiiit saja, langsung menyebabkan gatal-gatal. Tubuh juga merupakan detektor hujan yang baik, karena biasanya 2-3 jam sebelum hujan, pasti serangan gatal-gatal itu muncul.<br /><br />Terlepas dari segala "keuntungan" dari alergi dingin ini, sialnya, saya tidak bisa sembarangan menikmati semilir angin. Posisi kipas angin terpaksa harus diubah agar tidak langsung masuk ke kamar saya. Berenang adalah sesuatu yang sebaiknya tidak dulu dilakukan (apalagi dalam kondisi masih hujan). Mandi sore jadi sesuatu yang harus dilakukan lebih awal atau dengan memasak air panas terlebih dahulu (maklum, belum punya pemanas air :P). Ritual mandi pagi harus selalu diikuti oleh ritual minyak kayu putih dan bedak (dan bahkan jadi ritual ketika gatal-gatal menyerang). Jadi, rasa dingin-dingin enak ketika angin semilir memainkan rambut dan rasa dingin itu terasa di tengkuk, adalah suatu nikmat yang luar biasa! Kali ini saya sepakat dengan mbak-mbak akhwat di pengajian dulu, "Nikmat mana lagi yang kau dustakan?"herni sri nurbayantihttp://www.blogger.com/profile/02256987121040537652noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5711408449328448999.post-92209681566878092692009-03-04T01:46:00.000-08:002009-03-08T10:37:36.245-07:00Partai Tidak Milih<span class="Apple-style-span" style="line-height: 14px; font-family: georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;"><span class="Apple-style-span">Sekarang lagi ramai soal fatwa MUI yang mengharamkan golput. Ulasan yang mengkritik rasanya sudah banyak, ya. Toh, MUI tetap tidak bergeming mempertahankan kebodohannya. Konon katanya, obatnya orang bodoh ya diajari. Tapi kalau tidak jua bisa diajari, apa dong obatnya? Ah, sudahlah. Tulisan ini tidak mau menambah koleksi kekesalan masyarakat terhadap MUI yang kian memuncak. Tapi menelusuri kenapa golput jumlahnya masih banyak?<br /><br />Kebanyakan orang memahami golput sebagai sebuah sikap tidak peduli, acuh, abai atau bentuk ketidakpercayaan terhadap (elit) politik dan bagaimana sistem politik bekerja di Indonesia.<br /><br />Saya kebetulan lagi terlibat menulis dan bantu mengedit catatan awal tahun (Cawahu) atas kinerja DPR di sepanjang tahun 2008. Satu hasil bacaankami adalah tentang bagaimana DPR mengelola berbagai kepentingan dan meramunya menjadi sebuah kebijakan yang menyelesaikan masalah sehingga diterima semua pihak. Tahun-tahun lalu, kami sudah terlalu sering berkata, DPR jarang sekali mengeluarkan produk kebijakan yang menyelesaikan masalah. Nambah masalah sih sering. Tahun ini kami menampilkan bagaimana DPR mengelola dan mengolah aspirasi masyarakat menjadi suatu kebijakan… yang merugikan semua pihak. Niatnya sih mungkin win-win solution, kompromi… tapi apa daya semua pihak merasa tidak diuntungkan. Contoh sederhana, UU Pornografi yang kontroversial. Baik pihak yang mendukung, yang kontra, yang liberal dan yang fundamentalis sebenarnya ditipu. Tidak heran, dari kaum pekerja seni, aliansi bhineka tunggal ika, aktivis HAM, kelompok perempuan, sampai HTI pun mau mengajukan uji UU ke MK.<br /><br />Proses kompromi pada interpelasi kasus lapindo dan BLBI juga begitu. Tim dibentuk dan Lapindo diharuskan bayar ganti rugi (meski dibilang penyebabnya adalah fenomena alam), tapi toh lapindo bebas. UU Usaha Mikro, Kecil dan Menengah akhirnya dihadirkan, tapi masih dengan pendekatan lama yang lebih mirip basa-basi dibanding kebijakan yang benar-benar mendorong UMKM yang punya kontribusi signifikan ke perekonomian negara itu.<br /><br />Dunia politik kita memang suram. Produk yang dihasilkan dari senayan memang selalu produk politik. Sedimentasi atau bahkan residu dari proses politik. Tapi apakah yang residu tadi menyelesaikan masalah dan menguntungkan buat masyarakat ke depan, nah itu die masalahnya.<br /><br />Kalau mau menelusuri lagi, banyak hal yang membuat dunia politik kita makin suram dan mendorong orang berpikir untuk menjadi golput (untuk beberapa di antaranya, lihat: http://public.kompasiana.com/2009/03/06/simulus-fiskal-2009-stimulus-golput-2009/) .<br /><br />Partai politik jarang ada yang punya platform yang jelas. Yang menampilkan kebersihan pun, bukan tanpa cela. Fundamentalis gaya baru, yang dibungkus dengan kesopanan yang membumi. Keliatannya terbuka, tapi kadang menipu. Kenapa dibilang menipu, karena kadang-kadang keliatan aslinya, yang ironisnya, terlihat berseberangan dengan segala hal-hal baik yang dikampanyekan sebagai trade marknya. Mungkin memang itu tantangannya kalau mengaku-ngaku baik dan bersih. Tuntutannya lebih tinggi. Toh katanya, barang siapa menempuh jalan kesucian, siap-siaplah menghadapi kelokan yang berliku, terjal dan berbatu! Mending kita, yang memang tidak mengaku mengambil jalan itu, sekedar menjalani kehidupan bagai menikmati secangkir sanger (kopi susu khas Ulee Kareng, Aceh) dan setangkup roti srikaya.<br /><br />Kembali ke laptop, platform politik ini pun seringkali berubah-ubah, tergantung isu yang dibahas. Yang mendasarkan pada nasionalisme (dan sekulerisme), cuma bisa walk-out. Secara politik, memang terlihat sebagai aksi yang keren, berani dan keliatan "beda dari yang lain. Tapi tidak menimbulkan pengaruh apa-apa pada level kebijakan. Yang keliatan islami tetapi tidak mau disebut partai islam dan mengagungkan pluralisme serta mengandalkan tradisi intelektualitas, tetap saja tidak berani mengatakan tidak untuk kebijakan-kebijakan yang mengarah pada membuat negara ini menjadi sektarian.<br /><br />Selain tidak punya platform yang jelas, persepsi mereka mengenai diri sendiri sebagai partai politik pun tidak jelas. Mereka yang berusaha memperbaiki hal ini dan menawarkan konsep yang “berbeda” pun, masih punya cela. Ambil contoh, partai politik yang mengadopsi konsep dakwah dan politik menjadi satu yang diterjemahkan ke dalam bungkusan amal sekedar semakin menguatkan betapa agama ditempatkan sebagai alat politik. Dari ilmu politik pun menimbulkan pertanyaan, apa bedanya partai politik dengan lembaga amal/sosial?<br /><br />Bahwa politik dan partai politik harus mengandung unsur kepekaan, saya setuju sekali. Tapi masalahnya adalah, bagaimana kepekaan ini seharusnya dilakukan oleh partai politik. Apa sih porsi partai politik yang dalam hal ini jelas beda dengan lembaga amal? Atau bentuk amal seperti bagaimanakah yang seharusnya dilakukan partai politik? Kuncinya satu: keberpihakan dalam kebijakan! Saya teringat teman saya, salah satu councilmen di district II Maryland, US. Dia secara reguler melaporkan “amal”nya dia kepada para konstituen. Bahwa dia membantu memfasilitasi kebijakan di bidang pendidikan yang berdampak pada pembentukan atau perbaikan sekolah, pelayanan publik yang lebih baik dsb di wilayahnya. Ini bentuk "amal" yang sustainaibilitasnya terjamin. Bukan jenis amal yang hit and run, yang sifatnya kondisional, bila ada bencana… sedia rekening, kumpulin bahan, kirim mobil, dan pasang bendera partai. Amal jariyah anggota parlemen yang tetap menjaga relasinya dengan konstituennya. Mendengar, merespon dan melakukan. Memberi bukti, bukan sekedar janji.<br /><br />Hal-hal lain yang membuat dunia politik suram terlihat tanpa harapan adalah anggota parlemen yang tidak mandiri, masih terikat pada fraksi, aturan internal DPR yang banyak mengandung logika demokrasi terbalik, budaya, ketidakmampuan, de el el. Dalam konteks ini, slogan “satu suara anda sangat berarti” menjadi sesuatu yang tidak logis. Tidak masuk akal.<br /><br />Tapi, apakah golput tidak dapat disebut kekuatan politik? Salah. Tidak bisa bermain di kancah politik? Ah, salah juga! (kok tiba-tiba ke golput ya? hehehe..)<br /><br />Golput justru pemilih yang sadar dan peduli. Singa yang tidur. Singa yang produktif, kok. Mengaum-ngaumnya hampir setiap hari dan tidurnya cuma sehari, waktu pemilu aja. Seperti layaknya singa yang tidak mau tunduk pada relasi kekuasaan yang tidak jelas, dia tidak bisa dihentikan hanya dengan fatwa. Singa yang akan bangun sendiri tanpa harus dipecuti dan ditakut-takuti oleh kata “haram”, bila memang aumannya didengar dan diikuti hingga membawa perubahan. Kalau gak, ya dengar aja lagunya efek rumah kaca, "Mosi Tidak Percaya" :-)<br /><br />Golput bisa juga bermain di kancah politik. Siapa bilang golput tidak bisa bikin partai? Saya ingat waktu memantau pemilu di Belanda. Banyak terdapat partai-partai dengan nama lucu, salah satunya “Partai Tidak Milih” (geen vote partij, bener gak mam, terjemahannya?). Saya rasa, ini bisa saja terjadi, kalau singa-singa tidur ini pada kompak melakukan keusilan :P. Jumlahnya cukup besar, kok. </span></span></span>herni sri nurbayantihttp://www.blogger.com/profile/02256987121040537652noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5711408449328448999.post-52053473380391102002009-02-16T03:38:00.000-08:002009-03-06T19:58:39.254-08:00Valentine dan Solidaritas Antar Perempuan<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjR3vH_5N63z12V6fwPTiV_046fQL2I5wY3LgPfs0TxA0jPBe_6k06o4NMyN-0fdTCP1msv1s_FC306NCPo021_LV0jFEvMuK5IOV-jmlbmybJVvCv8YEx7XIpFFwk-6IFCCumKV1ZCdk/s1600-h/rose.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 240px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjR3vH_5N63z12V6fwPTiV_046fQL2I5wY3LgPfs0TxA0jPBe_6k06o4NMyN-0fdTCP1msv1s_FC306NCPo021_LV0jFEvMuK5IOV-jmlbmybJVvCv8YEx7XIpFFwk-6IFCCumKV1ZCdk/s320/rose.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5303359900567019538" border="0" /></a><br />14 February 2009. Hari sabtu. Malam minggu. Valentine. Sebagian orang mungkin tidak merayakan. Entah karena diharamkan atau memang tidak peduli. Sebagian orang merayakan valentine dengan caranya masing-masing. Romantic candle light dinner? Se-box coklat, setangkai bunga mawar merah dan secarik puisi? Datang bersama ke pasangan ke event-event valentine? Mencari sudut gelap di pelosok kota hanya untuk mojok berduaan? Posting kalimat atau tulisan cinta kiriman sang terkasih? Atau posting agak nyinyir soal valentine itu sendiri, kaya gue hehe..<br /><br />Valentine kali ini, dihabiskan berdua sama tita. I know, for some of my friends, the fact that I'm spending a valentine with tita, worries them :-) But hey, kapan lagi dua makhluk muncrut bin gembyul bisa menghabiskan akhir pekan bersama-sama, mulai dari bangun tidur sampe tepar ngorok (dalam arti yang sebenarnya... tapi gue gak denger kok, ta..:P) karena kecapean? hihihi..<br /><br />Valentine tahun ini didedikasikan untuk perempuan, utamanya solidaritas antar perempuan. Suatu hal yang saya rasa susah dibangun, bahkan di antara perempuan feminis sendiri. Yang nge-gosip orientasi seksual perempuan lain di belakang lah, yang merasa keilmuan dan pengetahuannya tentang feminismenya lebih jago lah, yang hobi mendamprat perempuan lain (padahal laki2nya yang suwek) lah, de el el.<br /><br />Valentine kali ini hadir dalam dua peristiwa yang menyangkut dua isu perempuan yang berbeda. Yang pertama, pelatihan perancangan peraturan berperspektif gender di Aceh. Sebenarnya, pelatihan ini melanjutkan apa yang Bibip sudah mulai rintis. Saya hanya tinggal meneruskan saja. Pelatihannya sangat menarik karena cuma diikuti 6 orang, saya berkesempatan lebih membumikan metode MPM, dan topiknya tentang penyelesaian kasus perempuan korban konflik di Aceh. Yang saya suka dari pelatihan ini, kami membahas tuntas mulai dari mencoba keluar dari kebiasaan merancang peraturan --mengubah dari membenarkan yang biasa menjadi membiasakan yang benar-- sampai persoalan-persoalan strategi advokasi kepentingan perempuan, yang selalu saja dipertanyakan dan ditentang.<br /><br />Yang kedua, program percontohan penguatan penyelesaian sengketa informal di 7 nagari di Sumatera-Barat. Program yang serupa juga akan dilaksanakan di NTB. Peran PSHK (dan LeIP) melanjutkan perjuangan teman-teman di daerah untuk advokasi di tingkat nasional. Sum-Bar yang terkenal dengan sistem matrilinealnya, rupanya tidak kuasa melawan dunia patriarki yang justru melemahkan peran perempuan, terutama bundo kanduang, dalam proses penyelesaian sengketa adat.<br /><br />Di tengah dua kegiatan menarik inilah, saya merayakan valentine, bersama sahabat-sahabat saya, toni dan timun (ih, kompak deh pake huruf "t" hihihi). Perayaan valentine lengkap dengan aksesoris pelengkapnya. Di Aceh, nongkrong di ulee kareng dengan sanger hangat dan roti srikaya dengan obrolan santai teman-teman dari ACSTF, agung, toni dan dua "bule asia" dari UNIFEM. Di Padang, disuguhi pemandangan pantai di pesisir selatan Sumatera Barat, diapit pegunungan, di warung seorang nenek tua yang sedang menjemur pinang yang akan dijual dengan harga Rp. 3500/kilo. Di pedalaman Solok, dijamu di rumah seorang nenek-nenek bundo kanduang yang tomboy masih naik motor di umurnya yang mungkin sudah mendekati kepala 7 dan membuka tempat penitipan anak (termasuk untuk cucunya). Dan oh ya, diiringi ucapan selamat valentine juga dari mas har, selamat rahardjo, hihihi.... garing abis deh mas-mas Jawa satu ini :D.<br /><br />Ucapan valentine ke pasangan? ah... kita terlalu terdoktrin untuk menyatakan perasaan secara langsung. Satu hal yang kami pelajari dari kearifan masyarakat Sumatera-Barat adalah kepandaiannya dalam berpantun. Mereka mungkin tidak mengenal bahasa minang untuk "I love You". Tapi mereka punya jutaan pantun dari pelbagai aspek dan gaya, untuk menyatakan perasaan... hehe.. Amboiiii seminggu tidak bersua rasanya bagai bulan merindukan bertemunya dengan matahari (wah, gerhana dong hehehe..).<br /><br />Soal teori tentang cinta dan bercinta? Ah, silakan saja berteori soal cinta. Kali ini saya sepakat dengan ulum. Yang lebih enak, memang yang mengalir. Gak pake teori-teori gitu. Teori, menurut richard robison (supervisor saya dulu), sederhananya adalah cara manusia menjelaskan kekonteksannya. Membantunya memahami situasi. Kadang, teori dikeluarkan hanya untuk diri sendiri, sebagai pengarah. Belum tentu benar-benar dipahami, apalagi dilakoni. Dan seringkali jadi lubang jebakan bagi diri si penteori sendiri.<br /><br />Sebagai contoh, beberapa feminis seringkali mendorong perempuan untuk mengambil kontrol terhadap dirinya dan terhadap lingkungannya. Untuk memiliki otonomi terhadap dirinya dan menyadari seksualitasnya sebagai suatu kekuatan. Asumsinya, dengan cara begini perempuan bisa terbebaskan dari belenggu patriarki dan menjadi manusia yang otonom. Dan dalam hitungan ini, relasinya dengan laki-laki umumnya selalu jadi patokan, sejauh mana perempuan mampu menjadi manusia yang otonom itu. Mampukah perempuan mengatasi relasi yang tidak seimbang selama ini. Dari segi teori, memang indah. Mana ada teori yang tidak indah, kecuali dari makhluk yang nyinyir hehe..<br /><br />Tapi ironisnya, perempuan suka terjebak dengan teorinya sendiri, hehe. Perempuan bisa (merasa sudah) menjadi makhluk yang otonom dan sekaligus (tanpa sadar masih) tergantung pada laki-laki. Lebih parahnya, bila solidaritas antar perempuan tidak mampu dibangun dan terjadilah apa yang teman saya, yang mengaku seorang feminis radikal, katakan, "selalu ada laki-laki di antara perempuan". Otonomi yang malah menempatkan laki-laki sebagai barang, yang harus diraih, dipertahankan mati-matian, dikerangkeng, dirantai (bila perlu) dan tentunya, tidak mengubah apapun di tingkat relasi. Keliatannya memang perempuan berkuasa (di atas laki-laki), tapi tentu harus menjadi monster dahulu. Tidak saja bagi laki-lakinya, bahkan melihat perempuan lain pun, yang sebenarnya juga berada dalam posisi yang sama sebagai korban, sebagai musuh... yang perlu dihajar, dengan cara yang jalang khas perempuan atau santun.<br /><br />Tentu saja, dalam hal ini perempuan (yang tanpa sadar sudah berubah jadi monster tadi) tetaplah menjadi perempuan pada umumnya. Sumber energi. Sumber pemberi dan, ironisnya, penuntut cinta. Sebuah pertanyaan untuk cinta, menurut seno gumira, "apakah kau mencintaiku?" Sebuah, namun selalu ditanyakan tanpa henti hihihi.. Entah tidak dijawab-jawab atau tidak yakin-yakin.. Atau terjebak pada hubungan dimana dirinya tidak dihargai, tidak diakui eksistensinya sebagai pasangan, tidak memiliki relasi kekuasaan yang seimbang (maksudnya tidak terjajah atau sebaliknya, menjajah :P), tapi ya itu... sifat perempuannya yang selalu memberi dan menjadi energi dalam bercinta, membuatnya susah keluar dan bahkan menjadi monster, baik bagi si laki-laki maupun perempuan lain. Menciptakan ilusi bagi diri sendiri.<br /><br />Perempuan memang harus otonom. Perempuan memang harus menjadi kuat. Perempuan memang harus menciptakan dunianya sendiri yang penuh kreativitas. Tapi memiliki otonomi terhadap diri sendiri dan menjadi kuat, bukan berarti menjadi monster, bukan? Jadi, valentine kali ini saya dedikasikan untuk solidaritas antar perempuan, untuk tidak lupa mencintai dirinya sendiri...herni sri nurbayantihttp://www.blogger.com/profile/02256987121040537652noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5711408449328448999.post-74759898781025627792009-01-19T17:19:00.000-08:002009-01-19T17:30:27.258-08:00Tentang Twilight SagaPencapaian liburan tahun baru kemarin adalah menghabiskan 10 keping DVD dan buku ke-2 dan ke-3 dari serial twilight saga, new moon dan eclipse (edisi bahasa Indonesia). Buku ke-1nya, Twilight, malah belum baca karena sudah nonton filmnya. Buku ke-4nya terpaksa pesan di kinokuniya untuk edisi yang bahasa Inggris. Sebenarnya buku ini sudah lama terbit dan booming di US, jadi terhitung telaaaat. Apalagi dibandingkan ayu yang sudah khatam berkali-kali hehe..<br /><br />Buku ini bercerita tentang kisah cinta dua remaja yang bertemu di pertengahan masa SMA. Isabella Swan, produk keluarga cerai yang pindah ke Forks untuk tinggal dengan ayahnya. Edward Cullen, satu-satunya bagian dari keluarga vampir vegetarian (hanya minum darah binatang) yang masih single. Di tengah-tengahnya ada Jacob (yup, di buku 2-3 jadi percintaan segitiga), sahabat bella dari suku Quilette, suku Indian di Forks yang punya sejarah panjang dengan keluarga Cullen (Carlisle-Esme, Rosalie-Emmet, Alice-Jasper dan Edward). Perjanjian antara Cullen dan Quilette adalah Cullen tidak boleh mengubah manusia menjadi vampir dan menarik garis perbatasan antar mereka. Sejarah Quillette juga membawa gen untuk bisa mengubah keturunannya menjadi serigala sebesar beruang yang tugasnya melindungi manusia yang ada di Forks dari serangan vampir. Bila bahaya vampir ini menguat, jumlah mereka yang awalnya hanya tiga orang pun bertambah.herni sri nurbayantihttp://www.blogger.com/profile/02256987121040537652noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5711408449328448999.post-9902048865110111882009-01-18T17:41:00.000-08:002009-01-21T06:42:45.016-08:00Membangun Profesi Pustakawan yang Profesional: Pelajaran dari Amerika<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjr61Cs1VyiZKHsjwO8_CtWdR9q4vB1uvoDJ3sTMB5_UFw860Lq0KRz8JRyBmKCLxuyyqueo8b2VN4bEzj6cGhoz2jjfgkuVDEJo8beJlq3wZ4HAauqg7aXSSOIeiYcpxB9voolVXCiOT4/s1600-h/P1010018.JPG"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5293757275285958578" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 287px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjr61Cs1VyiZKHsjwO8_CtWdR9q4vB1uvoDJ3sTMB5_UFw860Lq0KRz8JRyBmKCLxuyyqueo8b2VN4bEzj6cGhoz2jjfgkuVDEJo8beJlq3wZ4HAauqg7aXSSOIeiYcpxB9voolVXCiOT4/s320/P1010018.JPG" border="0" /></a><br /><div><em>--ini waktu nemenin farli jadi moderator diskusi... akibat gak berani ngomong inglisssh :P</em><br /><br />Pertengahan Januari ini, Perpustakaan Hukum Daniel S. Lev kedatangan tamu, Judith Henchy, Head Southeast Asia Section University of Washington. Judith berbicara mengenai profesi pustakawan di Amerika di hadapan komunitas pustakawan hukum Indonesia pada Selasa, 13 Januari 2009.<br /><br />Judith merupakan salah satu sahabat baik Pak Dan. Pertemuan pertama Judith dengan pak Dan berlangsung di University of Washington, ketika pak menjadi interviewernya. Dari Pak Dan lah Judith tertarik dengan studi-studi mengenai asia. Keduanya menjadi rekan sekerja dan teman dekat bertahun-tahun setelahnya.<br /><br />Meskipun didahului dengan disclaimer dari Judith bahwa beliau bukanlah seorang pustakawan hukum, namun demikian Judith akan berbicara mengenai profesi pustakawan di Amerika Serikat, tuntutan kualifikasi pustakawan profesional, bagaimana mengenalkan dan mengintegrasikan pengetahuan keperpustakaan ke dalam kurikulum akademik di perguruan tinggi, agenda riset dan publikasi pustakawan yang dapat dilakukan, tantangan pustakawan di era elektronik, dan advokasi yang dapat dilakukan oleh komunitas pustakawan.<br /><br /><strong>Pustakawan dan Konsep Negara Modern<br /></strong>Satu hal penting mengapa profesi pustakawan dihargai di Amerika adalah bahwa dari sejarahnya, perkembangan profesi pustakawan di Amerika Serikat sejalan dengan sejarah pembentukan Amerika Serikat sebagai negara modern dan juga perkembangan dunia akademik. Pada masa kolonial, tradisi kepustakawanan di dunia akademik merupakan bagian dari konsep negara modern, utamanya berkaitan dengan fungsi negara untuk menyediakan dan menyimpan informasi. Oleh karena itu, profesi purstakawan (bibliographist) dan ahli pengarsipan (archieving specialist) mulai berkembang pada masa itu.<br /><br />Sejalan dengan itu, posisi pustakawan mengakar kuat di universitas-universitas dan tuntutan profesionalitas pustakawan pun meningkat. Untuk menjadi seorang pustakawan, Seseorang harus mendapatkan gelar pada jenjang S1 pada area tertentu terlebih dahulu untuk bisa melanjutkan ke jenjang S2 di bidang perpustakaan. Khusus untuk pustakawan hukum, beberapa sekolah perpustakaan memiliki jurusan khusus pustakawan hukum. Umumnya gelarnya berupa MLS atau MLIS (Master of Library and Information Science). Pendidikan jenjang S2 ini ditempuh selama dua tahun. Sistem pendidikan yang seperti ini sangat kondusif untuk menciptakan spesialisasi dalam profesi pustakawan itu sendiri, yang tidak hanya mampu membuat dan menyusun katalog namun juga memiliki pengetahuan khusus di bidang tertentu, misalnya pustakawan yang juga memiliki pengetahuan di bidang hukum.<br /><br />Untuk memastikan hal ini, dibentuklah panduan profesi pustakawan yang memastikan seorang pustakawan harus memiliki gelar profesional pustakawan. Selain harus memiliki sertifikat, para pustakawan profesional ini pun juga terus mengembangkan pendidikan profesinya dengan mengikuti pelatihan-pelatihan di area tertentu yang berkaitan dengan pengolahan dokumen. Hal ini penting untuk menghadapi perkembangan dunia elektronik yang juga berpengaruh terhadap kebutuhan pengguna dan proses pengolahan.<br /><br /><strong>Relasi Pustakawan dengan Staf Teknis dan Profesi yang Didukungnya<br /></strong>Sementara itu, pekerjaan-pekerjaan teknis yang berkaitan dengan manajemen dan pengelolaan perpustakaan seperti scanning dokumen, jaringan internet, memasang sistem katalog dalam jaringan komputer, dikerjakan ahli-ahli yang berfungsi sebagai staf teknis perpustakaan. Umumnyam mereka memiliki latar belakang pendidikan di bidang Teknologi Informasi. Mereka staf teknis dan bukan pustakawan.<br /><br />Hal ini tentu berbeda dengan kondisi di Indonesia. Profesi pustakawan seringkali ditempatkan hanya sebagai pekerjaan teknis, tukang mengolah katalog, mencari dan mengembalikan buku perpustakaan ditempatnya, serta memfotokopi dokumen yang dibutukan pengguna. Tidak ada pembagian fungsi dan tugas yang tegas antara pustakawan dan staf teknis.<br /><br />Perbedaan lainnya juga terletak pada relasi antara pustakawan dengan profesi yang didukungnya. Sebagai contoh, pustakawan yang bekerja di universitas memiliki kontribusi bagi dunia akademik dengan melakukan riset-riset. Misalnya, riset mengenai efektivitas perkuliahan. Selain itu, mereka juga mengenalkan ilmu keperpustakaan kepada mahasiswa melalui kurikulum dengan menyediakan satu sesi di setiap mata kuliah untuk berdiskusi megnenai akses informasi. Pustakawan mempresentasikan dan berdiskusi megnenai bagaimana menggunakan layanan perpustakaan dan menggunakan alat-alat yang disediakan untuk mencari informasi yang dibutuhkan serta etika akademis dalam mengutip tulisan orang lain. Selain itu, juga disediakan panduan online yang diintegrasikan dengan situs mata kuliah tersebut.<br /><br />Contoh lainnya adalah hubungan profesi pustakawan dengan profesi ahli bahasa. Pustakawan di Amerika Serikat bekerjasama dengan <em>The Modern Language Association</em> menyusun panduan yang berkaitan dengan informasi linguistik yang berisi materi-materi, metode-metode dan bahkan hal-hal mengenai etika yang berkaitan dengan linguistik.<br /><br />Profesi pustakawan hukum pun seyogyanya dapat melakukan riset yang dapat berkontribusi bagi profesi hukum. Banyak pustakawan hukum di Amerika Serikat yang juga memiliki gelar hukum dan aktif melakukan penelitian dan kontribusi lainnya terhadap profesi hukum. Sehingga, pustakawan tidak berfungsi sekedar sebagai supervisi dan kolektor dokumen saja. Selain itu, hubungan antar pustakawan dengan profesi yang didukungnya, misalnya dalam dunia akademik, menjadi setara.<br /><br /><strong>Komunitas Pustakawan yang Kritis<br /></strong>Hal yang menarik lainnya adalah komunitas pustakawan di Amerika Serikat yang sangat kritis terhadap perkembangan yang bisa berdampak pada perpustakaan dan profesinya. Komunitas pustakawan di Amerika Serikat terlibat aktif dalam gerakan akses terbuka terhadap informasi. Perpustakaan berfungsi sebagai penghubung dan penyedia informasi yang lebih murah bagi publik.<br /><br />Mereka bekerja dengan para akademisi dan organisasi-organisasi penting. Salah satunya, adalah advokasi kepada para akademisi untuk tidak mempublikasikan tulisannya melalui penerbit-penerbit yang mahal. Sebaliknya, mereka mendorong pendirian penerbit-penerbit di universitas-universitas dan menerbitkan tulisan-tulisan para dosennya sendiri. Hal ini merupakan upaya untuk menyediakan tulisan akademik dengan harga yang lebih murah.<br /><br />Selain itu, komunitas pustakawan juga terlibat dalam advokasi hak cipta. Misalnya, menyebarluaskan informasi mengenai hak-hak penulis terutama dalam penandatangan kontrak dengan penerbit. Di Amerika Serikat, penerbit umumnya memasukkan pasal yang mengharuskan penulis untuk membayar mereka untuk melakukan distribusi karyanya di lingkungan pengajarannya. Komunitas pustakawan melakukan advokasi kepada penulis untuk meminta pasal ini dihapus sehingga distribusi karya yang diterbitkan kepada lingkungan ajarannya tidak dikenakan biaya.<br /><br />Komunitas pustakawan juga mengadvokasikan posisi dan pandangan mereka terhadap UU Hak Cipta. Misalnya, hak untuk membuat duplikat tambahan untuk perpustakaan dari bahan-bahan yang diperuntukan untuk kepentingan penyimpanan. UU Hak Cipta Amerika Serikat membolehkan untuk membuat micro film dari koran-koran lokal atau bahan-bahan yang sudah jarang ditemukan dibolehkan untuk kepentingan penyimpanan. Namun demikian, komunitas pustakawan di Amerika Serikat berpandangan, perpustakaan memiliki hak untuk membuat duplikasi tambahan dari <em>micro film </em>yang sudah dibuat untuk kepentingan penyimpanan itu. Komunitas pustakawan di Amerika Serikat juga menentang privatisasi informasi yang diatur dalam WTO.<br /><br />Komunitas pustakawan ini memiliki organisasi yang efisien. Biaya keanggotaan digunakan untuk membiayai staff dalam skala kecil di Washington DC. Visinya adalah untuk melindungi kepentingan perpustakawan. Fokus pekerjaan mereka adalah isu-isu yang berdampak pada perpustakaan, hak cipta. Selain melakukan kegiatan di atas, mereka juga seringkali melakukan presentasi di hadapan kongres agar mengetahui isu-isu yang dihadapi oleh para pustakawan. Mereka juga aktif bila ada kebijakan nasional yang melanggar hak untuk memperoleh informasi demi alasan keamanan nasional. Sebuah kisah yang seharusnya menginspirasi profesi pustakawan di Indonesia.</div>herni sri nurbayantihttp://www.blogger.com/profile/02256987121040537652noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5711408449328448999.post-64409704479671405612009-01-04T21:09:00.000-08:002009-01-05T00:15:18.227-08:00Lost in Translation in France: Paris dan Pantat Babi<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiEtcNr5lI6CwCwhmfYO2APS8fqQ1BuY9R-Eq2OC2ui8kWuPkzSOiDLpBW8zNa8lPtWwvdV85m2stWmliDsS4Kn6clE5wjgQvXBiUM2uLnFgGB_eyOANhcmzdVldway9zH4-Vp40iDWimE/s1600-h/zodiac-pig-pic.gif"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5287702387378436434" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 320px; CURSOR: hand; HEIGHT: 250px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiEtcNr5lI6CwCwhmfYO2APS8fqQ1BuY9R-Eq2OC2ui8kWuPkzSOiDLpBW8zNa8lPtWwvdV85m2stWmliDsS4Kn6clE5wjgQvXBiUM2uLnFgGB_eyOANhcmzdVldway9zH4-Vp40iDWimE/s320/zodiac-pig-pic.gif" border="0" /></a><br /><em>Kisah ini terjadi sekitar bulan akhir Oktober- awal November 2005, segera setelah ujian Term IA, kalau tidak salah.</em> <em>Harap maklum kalau banyak bunga-bunga kalimat yang meloncat sana-sini tidak karuan. Tanda bahwa si monster berkepala banyak belum berhasil ditaklukkan :-) </em><br /><p>Eropa merupakan benua yang sangat menarik. Sebuah benua yang membentangkan pelbagai negara yang letaknya berdekatan dan relatif terjangkau, baik dari urusan transportasi maupun ijin masuk. Bila memegang visa <em>schengen</em>, lebih memudahkan untuk menjelajahi beberapa negara yang dapat ditempuh hanya dengan kereta api dan tanpa perlu mengurus visa seperti Paris, Perancis.<br /><br />Kenapa Perancis jadi tujuan pertama jalan-jalan di Eropa? Karena negara ini konon kotanya penuh dengan bangunan yang tidak saja megah namun juga eksotik dan romantis. Negara yang ibukotanya merupakan pusat kuliner, pusat fashion dan pusat belanja. Negara dimana bahasanya menjadi salah satu bahasa resmi PBB. Negara yang konon katanya bahasanya paling romantis di dunia. Tidak heran bila negara ini adalah tujuan pertama jalan-jalan kami segera setelah selesai ujian pada termin I di bulan November 2006 (benar-benar segera dalam pengertian, ujian selesai jam 13.00 dan kami berangkat pukul 14.00 tepat!).<br /><br />Hmmm, sebenarnya saya juga kurang paham dengan pemahaman umum yang diperoleh tentang Perancis dan romantis. Atau mungkin, saya adalah salah seorang yang berhasil lari dari konstruksi sosial yang menyatakan bahwa "Perancis" dan "teromantis di dunia" selalu berjalin kelindan. Segala sesuatu tentang perancis pasti romantis. Entah apa yang digunakan sebagai parameter romantis, mungkin karena pengucapan bahasanya yang rumit. Untuk melafalkan huruf "u" Perancis saja, mulut kita harus dimonyongkan membentuk "o" sementara secara bersamaa lidah kita membentuk huruf "u". Itu hanya untuk huruf u! Dan mereka tidak mengucapkan huruf "h", jadi nama saya dibaca "erni". Apa bedanya dengan erni, kalau gitu? Ah, sudahlah. Yang rumit-rumit kan sepertinya keliatan punya nilai teristimewa.<br /><br />Dalam kepala saya, bahasa perancis adalah suara vokalis perempuan yang sering disetel Kay, dengan suaranya yang tidak serak namun mendesah sepanjang lagu (ya, sepanjang lagu!), "Je ta'ime.... je ta'ime.... je tai'meeeeeee...". Itu saja isi liriknya. Atau, cerpen bahan lomba cerita dalam bahasa perancis yang dulu saya ikuti waktu SMA "Rund rund moi ma jambe". Ini adalah kisah tentang hantu paha sapi yg tergantung-gantung (bingung kan? saya juga!). Atau kalau mau ilmiah dikit, teringat akan tulisan seorang profesor bahasa dari Belanda yang dalam bukunya tentang evolusi bahasa di dunia mengatakan bahasa perancis adalah mirip (atau bahkan tidak lebih bagus) dengan bahasa katak. Atau setidaknya, bukan jenis bahasa yang sepantasnya didudukan pada tahta bahasa yang membuat para linguist terpesona. Jadi, Perancis = romantis? Ah, rumus yang salah! :-)<br /><br />Kembali ke cerita, dari sekian banyak tujuan wisata di Perancis, kami memfokuskan pada dua kota saja, Marseilles dan Paris, tentu saja. Marseilles adalah kota di belahan selatan Perancis yang dekat laut. Mereka adalah contoh dari penarikan "sample" yang tepat dari indikator keterwakilan wilayah, sekedar untuk memberikan aroma yang berbeda. Meskipun demikian, konsistensi kedua kota ini dalam menyuguhkan kemegahan yang eksotik tetap sama.<br /><br />Ada dua jenis level turis. Level pertama yang paling standar dan paling sering dilakukan adalah turis hit and run. Datang hanya beberapa hari sekedar untuk mengunjungi landmarks, mencicipi masakan lokal di restoran setempat, foto-foto, beli suvenir, upload di jaringan sosial di dunia maya and they’re done. Turis level kedua adalah turis penikmat dan pencinta kebudayaan. Mungkin mereka datang sama lamanya dari turis level satu, namun mereka lebih memilih untuk tinggal di rumah kenalan “orang lokal” yang sering berfungsi sebagai personal guide, mencicipi masakan rumah setempat, menghabiskan waktu dengan mengobrol hingga larut malam, singkatnya merasakan budaya lokal.<br /><br />Untuk alasan yang murni keterbatasan sumber daya :-), kami jenis turis level pertama. Tepatnya, turis level pertama yang <em>kere</em>. Pergi dengan tiket yang paling murah dan menginap di penginapan murah karena hanya difungsikan untuk menyimpan barang. Membawa <em>rice cooker </em>kecil, beras, piring, sendok-garpu, dan gelas. Dan ini yang paling parah, membawa lauk-pauk untuk dimakan selama perjalanan karena benar-benar menghemat biaya. Biasanya, ini tugas rutin berdua dengan endah. Lauk yang selalu menjadi andalan adalah ayam goreng, daging gepuk, kerling tempe, teri dan kacang (karena bikinnya pake kedipan mata hehe), serta sambal jahanam khas kami berdua. Makin pedas, makin irit karena makannya lebih sedikit hehe. Sementara untuk urusan akomodasi, Adrian dan Partono. Jadi, kami berempat, saya, endah, adrian dan partono.<br /><br />Kami pun berjalan-jalan seharian setiap hari. Dalam perjalanan inilah, kali pertama saya terpaksa memakai body lotion. Kulit saya yang biasanya baik-baik saja dengan iklim kering Eropa, terpaksa menyerah kalah. Sekujur paha saya merah-merah dan rasanya sedikit perih. Berkat body lotion Endah :-), saya pun nyaman berjalan-jalan ke menara eiffel, chateau de versailles, moulin rouge, sacre de coure, museum louvre, disneyland, dll (I hope these are the correct spelling for those place). Entah karena sudah memasuki musim dingin atau memang kami kelaparan karena berjalan jauh, persediaan bahan makananpun menipis. Pikir punya pikir, kami harus membeli makanan. Lebih memikirkan lagi sebagai muslim (hanya Adrian yang Kristen tapi karena kita berdemokrasi, jadi minoritas harus nurut ke mayoritas hehehe), ayam panggang merupakan pilihan yang tepat.<br /><br />Dalam perjalanan pulang dari sacre de coure, kami melihat ayam panggang menggiurkan dijajakan di depan toko daging di pinggir jalan. Ayam-ayam itu baru saja digiling. Saya hitung, tinggal 3 buah ukuran satu ayam. Warnanya coklat gelap habis dipanggang. Karena turis kere, kami mau tau dulu berapa harganya. Tapi ah, ya! Kami kesulitan berkomunikasi. Satu hal yang saya tidak suka lagi tentang Perancis, arogansi masyarakatnya terhadap dirinya sendiri. Narsis. (Padahal katanya, narsis adalah salah satu sifat dari psikopat, hihihi...). Mereka hampir mirip dengan orang Jerman atau Jepang, yang hanya mengakui bahasanya sendiri. Sampai ada joke, kalau di Perancis sebaiknya berbahasa jawa, jangan bahasa Inggris, atau bahasanya negara maju. Dijamin, tidak akan dijawab. Tetapi, yang kami hadapi adalah para imigran. Jadi, mereka punya dua bahasa, bahasa Perancis dan bahasa asalnya, bahasa Arab.<br /><br />Toko daging itu cukup kecil. Memanjang 6 meter ke belakang dengan lebar 3m. Pintu masuk ada di sisi kanan. Di sebelah kiri, ada etalase kaca memanjang yang memajang berbagai macam daging. Namun, yang menarik perhatian saya adalah daging --well, benda tepatnya--- mirip pantat babi, saya yakin lengkap dengan ekor kecilnya yang berwarna pink! Saya sampai terpana beberapa saat. Bukan karena saya hobi mengoleksi boneka babi dalam segala bentuk dan materi. Bukan juga karena ternyata si pedagang daging yang kami anggap saudara seiman ini menjual babi, tapi si pantat babi itu begitu nyata-nya sehingga bila ada babi dipotong dua, bagian pantatnya dipajang, nah itulah dia! Apakah itu pajangan? Karena tidak mungkin si babi dijual masih dalam bentuk utuhnya, bukan?<br /><br />Endah dan partono pun berdebat. Tadinya saya dan adrian ikut campur, namun akhirnya saya cape dan duduk agak jauh dari toko. Buat saya, entah itu pajangan atau pantat babi beneran, saya tidak perduli. Toh, ayam panggangnya terletak di depan. Di box yang terpisah pula. Saya sebenarnya juga tidak terlalu peduli apakah ayamnya disembelih dengan baca bismillah atau dengan kejamnya disetrum listrik oleh orang kresten, budha, hindu atau atheis sekalipun. Ini keadaan darurat, bung. And please forgive me, God. I know that You are the most merciful, the most understanding, terutama untuk hamba-Mu yang sedang kelaparan ini :-) Sementara adrian, dia kristen. Kalimat singkat ini sudah menjawab pertanyaan, bukan? Namun demi kata toleransi, meski jumlah kami seimbang kali ini, kami biarkan mereka berdiskusi sendiri. Memutuskan apakah ayam itu layak dimakan atau tidak.<br /><br />Endah dan Partono masih berdebat dengan saudara seiman kami, untuk memastikan kehalalan para ayam. Mereka berdebat lama soal itu. Laki-laki tua bermuka Arab itu hanya bisa berbahasa Perancis atau Arab. Sementara endah dan partono, berbahasa Indonesia, Inggris dan mungkin Jawa, sedikit. Kemudian mereka terlibat dalam pembicaraan yang lebih sengit.<br /><br />Saya dan adrian pun ikut nimbrung. Karena tampaknya urusan perut lebih penting ketimbang si pantat babi, kami pun mencoba berbicara dengan bahasa Inggris kami yang pas-pasan, "We want to buy these chicken, sir. How much is it? Lalu dia mengucapkan, "bldkdywls;erthtosketh;s.ndt;thwe" yang terdengar seperti bahasa Arab (maafkan keyboard latin saya :P) dan tidak kami mengerti, meskipun kami Islam dan meskipun kami membaca Qur'an dalam bahasa Arab (salah satu yang karim tidak habis pikir, bagaimana bisa kami membaca dan meyakini tanpa memahami dan hanya mengandalkan terjemahan?). Tapi mukanya masih keliatan bingung. Mulut-mulut kami memang terlalu cerewet. Lantas dia masuk ke dalam, memanggil saudara seiman kami yang lain. Kami pun lagi-lagi serempak bertanya dan berdiskusi di antara kami, apakah mau membeli 1, 2 atau ketiganya. Saudara-saudara seiman kami tampak bingung dihadapkan pada keempat saudara jauh yang bawel dengan bahasa yang tidak jelas. Ikatan saudara itu terjalin hanya karena jilbabku dan endah. Simbol Islam yang diterima dimana-mana. Kali ini, jilbab kami benar-benar bermanfaat, tidak lagi jadi penanda caci-maki orang Eropa yang super bodoh tidak memahami dunia Islam yang spektrumnya sangat luas, dimana muslim Indonesia jauh sangat moderat dibanding muslimnya Arab!<br /><br />Di tengah keributan itu, dia akhirnya mengerti.. Lantas dia mengacungkan tangannya, 5 jari! Oh, rupanya sudah sampai pada pemahaman bahwa harga satu ayam itu 5 euro. Wah, cukup murah! Satu ayam itu bisa untuk 2-3 kali makan. Cukup untuk menahan perut kami selama 2 hari. Kami berdebat lagi soal berapa jumlah ayam yang harus dibeli. Dasar turis kere, berdebat untuk skala 5-15 euro saja, hahaha! Angka 2 seolah-olah keputusan yang baik, ditengah-tengah, jadi kami pun mengacungkan dua jari. Tapi dua orang itu diam saja, tidak ada tanda-tanda akan membungkus si ayam. Kami pun ribut lagi, berusaha menjelaskan maksud kami dari bahasa yang kami bisa, bahasa Inggris dengan logat Indonesia :-) Laki-laki penjual ayam itu kelimpungan menghadapi kami berempat yang bersuara secara bersamaan. Belum lagi, dalam bahasa yang mereka tidak mengerti betul. Yang tertua mengambil si ayam, dua buah. Kemudian, "bldkdywls;erthtosketh;s.ndt;thwe.. shabar.." Aha! shabar! Saya tau kata itu. "Eh.. eh.. dia bilang shabar.. kita musti tunggu, kali.. disuruh sabar.."<br /><br />Kemudian, saudara kami yang tidak kami kenal namanya itu membungkus dua ayam yang tadi dia ambil dan memberikan pada kami. Uang 10 euro pun kami berikan. Tapi mereka menolak. Lho? Kami pun lagi-lagi kompak bersuara memaksa mereka menerima. Namun mereka lagi-lagi memaksa kami untuk menerima dua ayam yang dibungkus itu dengan bahasa "bldkdywls;erthtosketh;s.ndt;thwe.." yang tidak kami mengerti lagi.<br /><br />Rupanya ayam itu diberikan ke kami secara gratis. Dan rupanya pula, saudara-saudara kami itu tadi berdiskusi mengenai pemberian ayam ini, buat kami. Ah, baiknya! Kami sudah lupa sama si pantat babi. Dan, kami sudah lupa pada bahasa percakapan standar Perancis atau Inggris. Yang terpikirkan oleh saya saat itu adalah penutup-penutup di kop surat atau yang seringkali dikemukakan oleh teman-teman saya yang aktivis Mushola. Saya tidak teringat "merci beaucoup". Saya juga tidak teringat "thank you". Yang saya ingat dan langsung katakan adalah, "Jazakillah khayran katsiran!". Bahasa yang buat teman saya yang aktivis musholla mungkin lebih romantis dari bahasa Perancis. Bahasa yang untuk bapak-bapak saudara semuslim kami adalah bahasa yang mereka pahami. Karim terbahak-bahak ketika saya bercerita tentang itu. Dia bilang, bahasa yang saya gunakan adalah bahasa yang tua. Kuno. Bahasanya kakek-kakek. Saya cuma tersenyum, mengingat saudara semuslim kami yang berbaik hati memberikan ayam pada musafir seiman (bukan turis :P), memang sudah beranjak kakek-kakek. Berarti, pas! Masalah aktivis mushola di Indonesia yang dengan bahasa romantisnya ternyata kuno dan gak gaul untuk ukuran masyarakat Arab jaman sekarang, saya tidak peduli!</p>herni sri nurbayantihttp://www.blogger.com/profile/02256987121040537652noreply@blogger.com3