Friday, March 5, 2010

RT Remeh RW Kerdil


Seri Ilmu Hidup Emha Ainun Nadjib
Membaca adalah kegiatan yang mencerahkan dan berguna. Ia bisa dilakukan dimana dan kapan saja. Ketika menunggu antrian, di waktu senggang, di angkot, bahkan di kamar mandi sekalipun. Terlebih membaca karya seorang Emha Ainun Nadjib, budayawan yang kemudian mendedikasikan hidupnya untuk kegiatan seni dalam mencintai Allah lewat Kiai Kanjengnya.

Kritis, gemas, frustasi tapi masih berusaha menyimpan secercah harapan buat negara Indonesia yang makin carut-marut ini, Emha menerbitkan buku kecil yang disebutnya "Seri Ilmu Hidup". "Istriku Seribu" adalah seri pertama yang diterbitkannya Januari 2007 lalu. Buku ini menarik, karena meski dia mengambil tema diskusi "remeh dan kerdil" seperti poligami, namun ia berhasil menariknya menjadi suatu bahasan yang maha penting. Soal kecintaan pada Allah dan Rasulullah, soal bahaya kecintaan yang membabi buta pada dunia, soal pentingnya misi seorang manusia sebagai khalifah di dunia dan bagaimana keduniawian seharusnya ditempatkan oleh manusia, dan terakhir tapi tidak kalah penting, soal "cinta segitiga" antara Allah, Rasulullah, Suami-Istri dalam konteks ar-rahman dan ar-rahim.

Polimonogami Monopoligami
Buku yang cuma 64 halaman itu mengawali kisahnya dari perdebatan tanpa henti soal poligami dan perlahan mengdekonstruksi serta memberinya suatu makna baru yang disebutnya sebagai "Polimonogami Monopoligami". Dikemas dalam gaya dialog antara si penulis dan Yai Sudrun, Emha juga memasukkan konteks kekinian negara Indonesia dengan perilaku makhluknya yang "lucu" bagai drama komedi berjilid-jilid.

Dengan gayanya yang tidak menggurui tapi usil menyentil dengan mengajukan pertanyaan dan mengajak pembacanya untuk melihat sisi lain dari suatu persoalan, buku kecil ini direkomendasikan untuk dibaca semua orang. Membaca buku ini, terutama dalam perjalanan dari rumah ke kantor yang hampir selalu dalam suasana kemacetan, bagaikan menemukan oase yang mampu merevitalisasi fisik dan jiwa yang dilemahkan oleh rutinitas keseharian.

Selain itu, membaca tulisan Emha, saya teringat dengan pesan-pesan yang selalu disampaikan oleh KD, terutama untuk tidak terjebak dalam cinta keduniawian yang menyesatkan dan menjadi jiwa yang penakut menghadapi ketidakadilan. Emha sesuai porsinya mengkritik dan melawan sekaligus memberikan pencerahan terhadap situasi Indonesia saat ini.

Layaknya makanan, ilmu pengetahuan adalah barang dan konsumsi publik yang baru bermakna bila ia dibagi. Oleh karena itu, beberapa kepingan dari buku itu akan disajikan dalam notes HI Duren Tiga Pancoran. Untuk "dimakan", dihabiskan dan jadi bahan renungan bersama.

Kepingan pertama adalah "RT Remeh dan RW Kerdil" yang menurut saya sangat pas merefleksikan kondisi Indonesia saat ini, terlebih selepas melihat drama "pertandingan" Pansus Century kemarin. Selamat Menikmati! (hsn)


RT Remeh RW Kerdil

Aku warga dari suatu negara yang sangat penuh berisi segala sesuatu yang remeh-remeh, dengan para penghuni yang sangat mengagumi kekerdilan.
Aku rakyat dari suatu pemerintahan kerdil yang menjalankan periode-periode remeh.
Aku bagian dari perjalanan sejarah suatu masyarakat kerdil yang sangat sibuk menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang remeh.
Aku dilingkupi oleh kebudayaan kerdil dengan perilaku-perilaku yang remeh.
Oleh ilmu-ilmu remeh yang disangka kehebatan oleh para pemuja kekerdilan.
Oleh pembangunan remeh yang menghasilkan bangunan-bangunan kekerdilan.
Oleh pertimbangan-pertimbangan peradaban yang remeh untuk berpanjang lebar memperjuangkan monumen-monumen kekerdilan.
Oleh ideologi-ideologi besar yang semakin diterapkan semakin memperjelas keremhan dan kekerdilan pelakunya.
Oleh karya-karya remeh yang penciptanya merasa besar sehingga kerdil.
Oleh tayangan-tayangan remeh yang pembuatnya sangat membanggakannya dan memerlukan puluhan tahun serta penderitaan di akhir kehidupan untuk memahami yang mereka lakukan adalah kekerdilan.
Oleh remehnya kekerdilan kepemimpinan.
Oleh kerdilnya organisasi dan institusi remeh.
Oleh produksi kerdil dan konsumsi remeh.
Oleh sekolahan kerdil dan gelar-gelar remeh.
Oleh diskusi kerdil dan ceramah remeh.
Oleh cita-cita hidup yang remeh yang disangka kehebatan sehingga satu persatu kaki kekerdilannya tersandung batu zaman.
Bahkan oleh perilaku ibadah dengan penghayatan kerdil dan perjuangan yang pijakannya adalah keremehan sehingga goalnya hanya dua: kekerdilan atau keremehan.
Oleh suatu bangsa yang sangat bergembira dan menikmati segala yang remeh-remeh. Dan yang paling remeh dari segala yang remeh itu adalah bahwa kami semua sama sekali tidak mengerti bahwa itu semua adalah remeh.
Lebih remeh lagi karena kami marah kalau ada yang menyebut kehidupan kami sangat bergelimang keremehan-keremehan..
Sehingga kamupun lahir sebagai manusia yang sangat remeh.

Sunday, January 24, 2010

Akses Keadilan untuk Perempuan (2)

Persoalan Besar Akses Keadilan Berperspektif Perempuan

Akses keadilan berperspektif perempuan penting mengingat di beberapa bidang, perempuan adalah pencari keadilan dan pengguna terbesar institusi peradilan. Komnas Perempuan (2008) mencatat peningkatan pelaporan kekerasan terhadap perempuan hingga 80 persen setiap tahunnya pada periode 2001- 2007 dan menunjukkan lebih dari 25 ribu kasus pada tahun 2007. Dari jumlah kasus tersebut, sebagian besar (82 persen) merupakan kasus KDRT dan sekitar 45 persen korban adalah ibu rumah tangga. Sebagai catatan, ada kemungkinan data ini lebih besar dari realitasnya mengingat sebagian masyarakat masih menganggap tabu untuk melaporkan kasus KDRT. Selain itu, data Susenas (2006) menunjukkan bahwa prevalensi kekerasan terhadap perempuan sebesar 3,1 persen dan terhadap anak sebesar 7,6 persen. Atau, sekitar 3-4 juta perempuan dan sekitar 4 juta anak mengalami kekerasan setiap tahunnya .

Mengacu pada kerangka akses keadilan berbasis HAM di atas, maka akses keadilan berperspektif perempuan harus ditopang dengan adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin dan memastikan akses diakui oleh hukum. Beberapa peraturan perundang-undangan sudah dibuat untuk menguatkan posisi tawar perempuan di hadapan hukum. Misalnya, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) sebagai landasan hukum yang kuat bagi pemerintah untuk mencegah dan memberantas kejahatan perdagangan perempuan dan anak, revisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri berikut peraturan pelaksananya.

Selain itu, pelbagai upaya lain juga sudah dilakukan. Misalnya, pembuatan perangkat yang dibutuhkan seperti ruang khusus pemeriksaan untuk perempuan, pelatihan-pelatihan gender bagi aparat penegak hukum, dan lain sebagainya. Akan tetapi, perempuan masih mengalami hambatan dan kesulitan akses keadilan.

Keadilan tidak bergerak dalam ruang yang vakum sehingga dimaknai secara berbeda-beda oleh lapisan masyarakat maupun aparat penegak hukum. Bagaimana keadilan itu diartikan dan diterapkan oleh aparat penegak hukum sangat dipengaruhi oleh struktur, sistem dan budaya yang tumbuh dalam masyarakat, yang belum memperhatikan kepentingan dan pengalaman perempuan. Akibatnya, terjadi jurang pemisah antara keadilan yang dipahami oleh penegak hukum dan perempuan pencari keadilan. Sehingga, pemenuhan hak-hak perempuan masih dibentengi oleh persepsi mengenai hak-hak, keadilan dan akses terhadap keadilan yang masih bias gender baik dalam mekanisme formal maupun informal. Ada beberapa persoalan besar kesulitan perempuan mengakses keadilan.

Pertama, keadilan dibuat untuk tidak mendengar dan berjarak dengan realitas perempuan. Pengalaman perempuan seringkali tidak diperhatikan dan bahkan dinegasikan. Buku “Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan demi Keadilan” (Komnas Perempuan: Jakarta, 2009) mengungkapkan salah satu perempuan korban penyiksaan di Aceh pada masa konflik bersenjata 2001 yang bercerita tentang keadilan, yaitu: ”Adil adalah adanya kesempatan untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi (pada saya) dan itu diterima sebagai sebuah fakta dan kebenaran”.

Perempuan-perempuan korban konflik mengalami kesulitan dalam membawa kasus kekerasan yang dialaminya pada masa konflik ke hadapan hukum. Misalnya, kekerasan terhadap perempuan pada masa konflik dianggap sebagai sesuatu yang “wajar” untuk situasi konflik. Sebagai contoh, pengalaman salah satu korban penyiksaan di bawah ini:

“Mereka tidak tahu kecuali bahwa saya hanya dipukul. Saya tidak cerita kepada suami. Saya sangat takut dan merasa sangat malu. Saya tidak berani ambil resiko dan tidak berani membayangkan kalau suami saya tahu. Kemungkinan besar, dia tidak bisa menerima bahwa saya telah ditiduri oleh orang lain, walaupun itu diperkosa…. Malu, kalau terjadi perceraian dan masyarakat nanti akan cari tahu (apa alasanya).” (Perempuan Aceh korban penyiksaan seksual pada masa konflik bersenjata, 2003)

Kedua, masih adanya hambatan sosial dan budaya. Dalam kasus perempuan korban kekerasan pada masa konflik di atas, mereka kesulitan untuk memberikan bukti-bukti tindak kekerasan yang dialaminya serta perspektif kebudayaan umum terhadap tubuh perempuan yang seakan sah dieksploitasi dalam bentuk apapun di ruang privat atau publik. Seandainya pun kasus tersebut di bawa ke muka publik, mereka juga mengalami hambatan psikologis dan sosial untuk menghadapi segala konsekuensi dari masyarakat sekitarnya akibat terbongkarnya kasus mereka di hadapan umum. Hal yang sama juga terjadi pada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dalam situasi normal. Persoalan kemiskinan, domestikasi dan subordinasi status sosial perempuan membuat perempuan semakin termarjinalkan dalam akses keadilan.

Ketiadaan perspektif perempuan dan pengabaian pengalaman perempuan dalam struktur pengambilan keputusan, terutama di daerah, mengakibatkan lahirnya produk hukum dan kebijakan yang tidak memerhatikan kepentingan perempuan. Hal yang sama juga terjadi dalam berbagai mekanisme pencarian keadilan informal di mana kultur patriarki yang kuat menghalangi akses perempuan untuk memperoleh keadilan. Perempuan dihadapkan pada aturan-aturan adat dan agama yang masih biasa jender dan melemahkan posisi perempuan. Posisi perempuan yang masih disubordinasikan sebagai makhluk yang lemah secara intelektual, di bawah laki-laki, tidak perlu diikutsertakan dalam pengambilan kebijakan, tidak memiliki pilihan sendiri, tidak dihargai kontribusinya baik dalam ruang privat dan publik, membuatnya menjadi pihak yang terpaksa pasrah ketika berhadapan dengan dominasi patriarki dalam struktur dan budaya di masyarakat.

Sebagai gambaran, sejak tahun 2005 menunjukkan bahwa sekitar 50% dari total kasus yang dilaporkan dicabut kembali oleh korban sehingga proses hukum tidak dapat diteruskan (Komnas Perempuan, 2008). Pencabutan laporan ini diakibatkan perempuan korban masih merasa malu, bersalah atas kekerasan yang menimpa dirinya dan khawatir dipersalahkan oleh keluarga dan masyarakat di sekelilingnya.

Ketiga, tidak semua perempuan memiliki akses keadilan yang sama. Meski data Pengadilan Agama 2007-2009 menunjukkan bahwa dari 97% kasus yang masuk adalah perceraian dimana jumlah perempuan yang mengajukan perceraian adalah dua kali dari laki-laki,[1] namun perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan memiliki kesulitan mengakses keadilan. Sembilan dari sepuluh perempuan kepala rumah tangga tidak dapat mengakses pengadilan untuk mengajukan kasus perceraian mereka.

Sebagai tambahan, hasil temuan LBH-APIK mengungkapkan bahwa kasus-kasus perempuan yang ditangani oleh organisasi perempuan masih terfokus pada kasus-kasus yang terjadi di perkotaan (World Bank, 2008: 6). Kasus-kasus perempuan di pedesaan, masih belum menjadi bagian dari agenda penanganan organisasi perempuan. Akibatnya, perempuan, terutama yang berasal dari kelompok masyarakat miskin dan tidak terdidik mengalami lebih banyak hambatan untuk memperoleh dan mempertahankan hak-haknya di di hadapan hukum, terutama dalam proses peradilan.

Keempat, perangkat yang diciptakan khusus untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan tidak berjalan efektif karena terbentur dengan lemahnya kapasitas dan keinginan dari aparat penegak hukum. Dalam contoh kasus yang mengenaskan, perempuan korban kekerasan masih belum terlindungi hak-haknya dan justru mengalami aksi pembalasan dari pelaku. Sebagai contoh, di tengah persidangan kasus pembagian harta gono-gini di Pengadilan Agama Sidoarjo, Eka Suhartini ditikam mati oleh mantan suaminya, Kol. TNI AL Irfan Djumrono. Pelaku juga membunuh hakim yang sedang memimpin sidang, Achmad Taufik. Peristiwa ini mencerminkan perempuan korban kekerasan belum dapat mengakses perlindungan saksi dan korban.

Quo Vadis Masa Depan Akses Keadilan bagi Perempuan?

Mewujudkan akses keadilan berperspektif perempuan tidaklah mudah. Sebagai langkah awal adalah mendekatkan perempuan dengan proses di tataran legislasi dan peradilan. Pertama, produk hukum yang dihasilkan harus dipastikan mengandung nilai-nilai keadilan jender yang substansial. Peraturan perundang-undangan adalah produk hukum yang dilahirkan sebagai residu dari pertarungan kepentingan-kepentingan dalam proses politik yang pada akhirnya mereduksi nilai keadilan itu sendiri. Meskipun hakim diberi ruang untuk menginterpretasikan hukum, hakim tetap terikat pada peraturan perundang-undangan dalam mengambil putusan. Oleh karena itu, adalah penting untuk melibatkan perempuan dalam proses legislasi.

Persoalan selanjutnya adalah membuka akses bagi perempuan untuk menggunakan institusi pengadilan, utamanya bagi perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan. Masalah terbesar adalah biaya proses peradilan yang tidak terjangkau. Sebagai gambaran, pada tahun 2008 biaya perkara perceraian rata-rata di pengadilan agama adalah sebesar Rp. 789.666,- dan di pengadilan negeri adalah Rp. 2.050.000,- (tidak menggunakan bantuan advokat) dan Rp. 10.350.000,- (menggunakan bantuan advokat). Jumlah ini sangat jauh bila dibandingkan dengan penghasilan rata-rata 14% masyarakat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan, yaitu Rp. 200.262,-. Oleh karena itu, bantuan hukum terhadap perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan perlu ditingkatkan, yang meliputi tidak saja biaya perkara namun juga biaya transportasi ke pengadilan.

Terakhir namun tidak kalah pentingnya adalah, tekanan publik untuk mendorong perubahan di tataran non-hukum seperti cara pandang dan perilaku para pengambil kebijakan dan aparat penegak hukum. Para pihak yang terkait mulai dari aparat penegak hukum, pemangku adat hingga masyarakat umum yang menjadi bagian dari permasalahan perlu dilibatkan. Kesadaran bahwa persoalan akses perempuan memperoleh keadilan tidak lagi eksklusif menjadi milik perempuan saja, namun persoalan bersama bagaimana menciptakan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan jender. Suatu tata nilai yang perlu diyakini memberikan manfaat bagi semua orang, demi tatanan masyarakat yang lebih baik.



[1] Laporan Pengadilan Agama 2007-2009, masih berupa draft dan belum dipublikasikan, halaman. 5.

Akses Keadilan untuk Perempuan (1)

Keadilan adalah soal hati nurani. Ketika kita kehilangan hati nurani, maka tidak ada keadilan.

Petikan kalimat di atas yang diambil dalam sebuah film seri tentang kriminalitas, Crime Scene Investigation, menyampaikan hal yang utama bagaimana keadilan harus dipersepsikan. Keadilan merupakan nilai yang seringkali dipakai sebagai pedoman dalam suatu proses maupun produk hukum, yaitu putusan pengadilan dan peraturan perundang-undangan Pada dasarnya, masyarakat memiliki harapan bahwa hukum yang dihasilkan dan diterapkan merefleksikan nilai-nilai keadilan. Para pihak yang menempuh proses penyelesaian sengketa, formal maupun informal, memiliki tujuan untuk memperoleh keadilan. Publik secara umum juga mengharapkan produk hukum yang dihasilkan merefleksikan nilai-nilai keadilan yang dianut masyarakat. Pertanyaannya adalah bagaimana keadilan itu dipersepsikan dan keadilan untuk siapa?

Beberapa tahun belakangan ini, pengarusutamaan gender menjadi bagian penting kebijakan di segala bidang, terutama pada penegakan prinsip-prinsip demokrasi dan pembaruan penegakan hukum. Perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan sebagai kelompok rentan mewarnai pelbagai dokumen kebijakan para pengambil keputusan. Adalah tindakan yang salah secara politik bagi seorang pengambil kebijakan untuk tidak mendukung pengarusutamaan gender dan tidak memiliki keberpihakan terhadap perlindungan hak-hak perempuan. Akses keadilan bagi perempuan merupakan salah satu bagian penting dari pengarusutamaan gender tersebut.

Namun demikian, masih ada jurang yang besar antara semangat dan implementasi untuk melindungi kepentingan dan hak-hak serta keberpihakan terhadap perempuan. Gagasan ini masih diterima sebagai jargon dan sesuatu yang sekedar secara politik harus diamini dan didukung. Masih ada ketidakpahaman dan bahkan resistensi terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh perempuan yang mengakar pada budaya, tradisi, struktur, relasi sosial dan sikap serta nilai-nilai yang dimiliki oleh aparat penegak hukum.

Ketika perempuan berhadapan dengan hukum, maka dia tidak saja berurusan dengan peraturan perundang-undangan yang mungkin masih diskriminatif, namun juga sistem dan aparat penegak hukum yang seringkali masih dipengaruhi oleh budaya dan cara pandang patriarkal yang kental. Persepsi para pengambil kebijakan dan aparat penegak hukum terhadap keadilan dan akses keadilan itu sendiri acapkali belum memperhatikan pengalaman dan kepentingan perempuan. Akibatnya, hak-hak perempuan semakin tidak terjamin dan posisinya semakin terpinggirkan.

Tulisan ini mencoba menelusuri perkembangan konsep akses keadilan. Yaitu dari yang tidak memperhatikan persoalan struktural dalam masyarakat menjadi akses keadilan berbasis hak asasi manusia (HAM). Pendekatan ini berusaha meningkatkan akses keadilan kelompok marjinal, terutama perempuan dan anak, serta memperhatikan pengalaman mereka dalam proses hukum. Namun demikian, untuk mewujudkan akses keadilan bagi perempuan tidak saja membutuhkan perbaikan di bidang proses beracara di peradilan saja, namun juga meliputi banyak aspek mulai dari peraturan perundang-undangan, kesiapan institusi negara dan perubahan radikal terhadap nilai-nilai aparat penegak hukum dan masyarakat. Sehingga, akses terhadap keadilan bagi perempuan perlu dilihat dari spektrum yang lebih luas.

Evolusi Gagasan Akses Keadilan: Dari Pendekatan Ekonomi ke HAM

Manusia perlu melindungi hak-haknya dari setiap kemungkinan pelanggaran hak atau kekerasan yang dilakukan oleh manusia lain, terutama ketika terjadi sengketa atau konflik. Ketika itu terjadi, maka perlu ada tindakan koreksi berupa restitusi ataupun kompensasi atas pelanggaran hak atau kekerasan yang dilakukan terhadap korban. Proses ini dapat dilakukan secara formal oleh institusi penegak hukum yang dibentuk oleh negara maupun institusi penyelesaian sengketa atau konflik informal yang hidup dan mengakar dalam budaya masyarakat.

Namun demikian pada kenyatannya, tidak semua kelompok masyarakat dapat mengakses proses itu dan memperoleh keadilan. Ada kesenjangan relasi kekuasaan dalam masyarakat dan ketimpangan struktural lainnya yang membuat mereka tidak memiliki daya dan kapasitas, tidak merasa perlu untuk menempuh jalur penyelesaian hukum atau sebaliknya dirugikan hak-haknya oleh sistem hukum. Akibatnya, posisi dan kondisi mereka terancam semakin lemah dan terpuruk. Disinilah persoalan akses keadilan bagi kelompok masyarakat marjinal, terutama perempuan, menjadi penting.

Terminologinya akses terhadap keadilan sesungguhnya tidak mudah dijelaskan. Namun, akses keadilan sebagai suatu gagasan bukan suatu hal baru. Gagasan ini dapat ditelusuri setidaknya sejak masa liberalisme klasik. Wacana mengenai akses terhadap keadilan itu sendiri berangkat dari keresahan mendasar setiap orang terhadap sistem hukum. Untuk apakah sistem hukum itu dibuat dan siapakah yang sesungguhnya memperoleh keuntungan dari itu?

Mauro Cappeletti dan Bryant Garth (1978) mencoba menelusuri perkembangan gagasan ini. Liberalisme klasik memandang akses terhadap keadilan sebagai sebuah hak dasar (natural right) sebagai hak individu untuk menuntut dan memperoleh hak-haknya. Namun demikian, karena sifatnya yang natural right maka tidak dibutuhkan tindakan afirmatif dari negara untuk melindungi hak-hak tersebut dan memedulikan kelompok masyarakat yang tidak memiliki kapasitas untuk mengakses institusi hukum. Akibatnya, akses terhadap keadilan hanya diperuntukkan bagi mereka yang mampu memanfaatkan institusi ekonomi, politik dan hukum.

Konsep ini pun mengalami evolusi, sejalan dengan perkembangan masyarakat pasar bebas yang memunculkan wacana hak asasi manusia dan konsep kolektivitas yang menyeimbangkan karakter individualitas yang menjadi ciri khasnya. Gerakan yang mewacanakan hak-hak sosial dan kewajiban negara, masyarakat, dan individu pun meluas. Hal ini terefleksikan dalam dokumen-dokumen penting seperti Bills of Rights dan Konstitusi Perancis 1946 yang menjadi tonggak perubahan tersebut.

Perdebatannya tidak lagi terfokus pada pemenuhan hak-hak saja, namun juga bagaimana hak-hak tersebut dapat dimiliki dan diakses oleh semua orang. Sehingga dalam sistem demokrasi modern yang mulai berkembang luas, pemenuhan hak akses terhadap keadilan membutuhkan peran negara untuk menciptakan kondisi dimana hal itu dapat diakses oleh semua orang. Oleh karena itu, gagasan mengenai akses keadilan pun bergeser. Akses keadilan dengan pendekatan berbasis ekonomi bergeser menjadi akses keadilan berbasis hak asasi manusia (HAM).

Peran negara diperlukan karena negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak asasi manusia penduduknya. Hak asasi manusia adalah dasar yang sah untuk menuntut kewajiban negara memenuhi hak-hak yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat sebagai manusia. Tujuannya untuk memberdayakan kelompok miskin, marjnal lainnya dan menguatkan tata pemerintahan yang demokratis. Hal ini yang melatarbelakangi munculnya program-program akses keadilan berbasis hak asasi manusia. Membuka akses terhadap keadilan sebagai hak asasi manusia diyakini mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan (UNDP, 2005: 3-6).

Pendekatan akses keadilan berbasis HAM menuntut negara untuk membangun fondasinya melalui kebijakan dan menciptakan kondisi yang kondusif. Hal ini membuat persoalan akses keadilan dilihat dalam spektrum yang lebih luas, yaitu tidak sekedar persoalan prosedur dan mekanisme penyelesaian perkara.

Pemerintah melalui Bappenas mengeluarkan strategi nasional akses keadilan pada tahun 2009. Dokumen kebijakan ini meletakkan fondasi dan arah akses keadilan di Indonesia. Akses keadilan meliputi pelayanan publik, penanggulangan kemiskinan, otonomi daerah, Selain itu, strategi pengembangan akses keadilan difokuskan pada bidang pertanahan dan sumber daya alam, perempuan dan anak, Pemerintahan Daerah, pelayanan bantuan hukum, reformasi hukum dan peradilan, ketenagakerjaan, dan strategi lintas bidang (kemiskinan, kelompok tertindas dan terpinggirkan).

Instrumen yang digunakan untuk mengidentifikasi sejauh mana masyarakat telah memperoleh akses terhadap keadilan dari berbagai strategi di atas, yaitu:

a. kerangka normatif;

b. kesadaran hukum;

c. akses kepada forum penyelesaian konflik yang terjangkau masyarakat;

d. penanganan keluhan masyarakat yang efektif;

e. mekanisme pemulihan hak-hak yang dilanggar;

f. terselesaikannya permasalahan kemiskinan, kelompok tertindas dan terpinggirkan.

Dengan kerangka di atas, maka program-program penguatan akses keadilan difokuskan pada (UNDP, 2005: 3-6):

a. Perlindungan hukum, yaitu pembentukan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum bagi perlindungan akses keadilan sebagai sebuah hak.

b. Peningkatan kesadaran hukum, yaitu meningkatkan kesadaran kelompok marjinal, aparat penegak hukum dan pengambil kebijakan mengenai pentingnya akses keadilan.

c. Bantuan dan konsultasi hukum, yaitu memberikan jasa-jasa bantuan dan konsultan hukum bagi kelompok marjinal ketika berhadapan dengan aparat penegak hukum dan mengajukan kasusnya ke pengadilan.

d. Ajudikasi, yaitu menguatkan mekanisme penyelesaian sengketa informal (non-negara) agar turut melindungi hak-hak kelompok marjinal.

e. Penguatan mekanisme penegakan hukum, yaitu menguatkan mekanisme penegakan hukum mulai dari penyelidikan hingga di pengadilan yang memperhatikan kepentingan kelompok marjinal.

f. Pemantauan parlemen oleh kelompok masyarakat sipil, yaitu tekanan publik berupa monitoring dan evaluasi masyarakat sipil terhadap kebijakan terkait akses keadilan yang dikeluarkan oleh parlemen.

Namun demikian, saat ini studi-studi mengenai akses keadilan umumnya baru mengenai tingkat akses keadilan bagi kelompok masyarakat miskin seperti yang dilakukan oleh lembaga-lembaga donor yang besar seperti World Bank (2004, 2006 & 2008), UNDP (2007) dan Asia Foundation (2001). Studi mengenai bagaimana perempuan terutama yang berasal dari kelompok masyarakat miskin tersebut memperoleh akses kepada keadilan masih minim.