Wednesday, December 31, 2008

Personal Kaleidoskop 2008


Hari ini tanggal 31 Desember 2008. Sebagai bagian dari latihan mengaktifkan sel-sel kelabu memoriku yang pelupa ini, baiklah kita mengingat-ingat apa saja yang terjadi selama setahun belakangan ini.

Kerjaan
Alhamdulillah, masih dipercaya menjadi Direktur Dokumentasi dan Informasi. Cuma, tahun ini Wiwid, pemred Jurnal Jentera, resign dan kami belum mendapatkan penggantinya. Ada beberapa perkembangan menarik. Pertama, tahun ini akhirnya berhasil memperoleh dana penerbitan sendiri, hasil dari kerja farli dan saya mengkompilasi peraturan perundang-undangan dan membantu rangkaian training panitera di padang, makassar dan jakarta. Kedua, kami membantu DPR menjadi bagian dari sebuah jaringan hukum yang katanya cukup prestisius, meskipun ada konflik di sana-sini (cuma, sikap kami tegas.. kami gak mau ikut2an urusan "politik", lempeng wae di urusan teknis). Ketiga, alhamdulillah dapet dana dari TAF untuk membeli buku perpustakaan. Sholikin dapet laptop (pinjeman) baru dari kantor.

Tahun ini juga adalah tahun "ban serep". Pertama, menggantikan ery sang dirop (direktur operasional -red) yang cuti sakit akibat back pain. Kedua, menggantikan erni sang dirprog (direktur program -red) yang cuti menikah dan menyelesaikan thesis. Saking seringnya menjadi ban serep, ery sampe becanda, mungkin perlu pasang iklan: "Anda butuh pengganti direktur sementara? Hubungi Herni, 0817 sekian sekian" :D.

Untuk eksplorasi pekerjaan, tahun ini program MJD yang diplesetkan menjadi Mudah-mudahan Jadi Dong :-) keliatannya sudah menghasilkan. Tepatnya, satu buku yang cukup tebal dijadikan bantal. Training panitera menghasilkan teman-teman baru di padang, makassar dan jakarta, belinda, yunita, ida, icha, sheila, bobby, panji, dida, pak rudi, pak erwan, ibu putu dll. Beberapa ide penelitian yang dulu sempat digagas alhamdulillah mulai terlaksana. Yang paling baru, penelitian kinerja DPRD di 9 wilayah.

Tahun ini juga penuh keanehan di beberapa program, soal interpretasi, faktor politik yang kental untuk kerjaan yang sebenarnya sangat teknis dan pekerjaan training assisstant yang harus disamarkan jadi translator. Ada juga yg mengecewakan. Kerjasama dengan CILC yang tadinya menyenangkan karena servaas, my dutch brother, yang memegang program itu akan datang ke Indonesia, eh servaasnya pindah ke Jerman. A part of me is sad, but a part of me is so happy to hear that he moves on with his life. He loves his wife so much that when she passed away, it seems impossible for him to live again. The only way I could think of is that to move to other place. So, it's good that he finally decided to start his life at a new place. So yes, am happy for him.

Last but not least, kerjaan di dua koalisi yang sedang hangat-hangatnya di tahun ini. Pertama, UU Pornografi yang penuh kontroversial, termasuk di dalam PSHK. Kedua, RUU Pelayanan Publik yang sampai sekarang belum disahkan DPR. Bikin lobby paper, talkshow, seminar, konferensi pers, lobby, dll.

Keluarga
Tahun ini, sakit diabetes mama makin parah. Obat gulanya termasuk obat yang paling keras, dosisnya pun dinaikkan dari 1mg menjadi 2 mg. Diminum 2x sehari, pagi dan sore. Belum lagi, ditambah dengan suntikan insulin di malam hari. Tipe insulin 24 jam, dosisnya berkisar antara 7-10ml, tergantung kadar gula di pagi hari. She once almost lost her sight, but after 4 times laser, obat ini obat itu, she finally could see. Text tv jadi patokannya hehe. And she can read qur'an again now, even still have to use the binocular. It's kind of cute, though.. watching her reading qur'an with kaca pembesar. But as always, I'm acting that her diabetis still can be managed. And always, always gives her reasons to live. That's how humans survive, right? Hope.

One big thing happened this year. I took a major commitment. A house! Yes, baby.. i finally keep my promise to buy us a house. Well, mas ade paid for most of the downpayment. I owe him around 44 mil. I don't how I'm going to pay it, but I'll pay it soon or later. He said that it's our house, but I intend to make it my house. So, although he's my brother, am going to pay him. But now, I need the money to buy the house stuffs, from teralis to kitchen set, from the bed to the stove. You name it. It's like I were marry or something, hehe. But hopefully, it's a place that we can always call... home.

Another big thing is mbak Helly went to UK for her Ph.D. Finally, she get a quite full scholaarship. I wish I could follow her step... but not know. Have to be a good girl, taking care of her mother. And that's totally fine with me.

Social Life
I took a guitar lesson at farabi. Took my first exam, actually. Hope I pass, am the oldest student there hahaha. Joined the fitness first, trying to be healthy and lose my weight. Went to US couple times, one for GLIN training, the other one is for NGS 18th. Become an US Embassy Agent, for the welcome back slank concert, hehe. Bagi-bagi tiket konser slank buat anak-anak Puri.

Made new friends and some old friends came to visit me. Mr. Brown came to visit, with Anthony, a blogger from Australia. Eka came to visit. We met in Palangkaraya, during Kay's wedding. Some of them changed their status: Maria is finally engaged and will going to get married in February 2009. Erni is married to Ardi, Cholil to Irma (finally!), and my others friends (sorry, totally forgot! :P).

Well, that's a short kaleidoskop for my personal life.

Wednesday, December 17, 2008

MP3 di Koalisi Transport Demand Management

Ini catatan sewaktu menghadiri diskusi FGD yang diadakan oleh ITDP. Kala itu, hadir sebagai perwakilan dari MP3 (Masyarakat Peduli Pelayanan Publik) -herni


MP3 diundang untuk hadir dalam FGD yang diadakan oleh Institute for Transport and Development Policy (ITDP) pada Rabu, 3 Desember 2008 di Restoran Handayani, Matraman. Tujuan dari FGD ini adalah membicarakan kerangka kebijakan di bidang transportasi. FGD dibuka dengan presentasi mengenai tiga hal yaitu hasil penelitian tentang parkir di Jakarta, kebijakan road pricing sebagai salah satu alternatif menyelesaikan masalah transportasi di Jakarta dan pengenalan konsep Transport Demand Management (TDM).

Mas Bagus dari FAKTA memaparkan hasil penelitian yang dilakukan Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) tentang revenue watch sektor perparkiran dalam memberi sumbangan bagi PAD APBD Propinsi DKI Jakarta. Persoalan parkir di Jakarta berawal dari paradigma dimana parkir ditempatkan sebagai sub sitstem public service dengan fokus manajemen untuk cari untung saja dan penerapan sistem jasa sewa lahan sehingga tidak ada tanggung jawab dari penyewa bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Di tataran implementasi, dibedakan antara parkir on street dan off street. Persoalan yang menyangkut biaya parkir on the street adalah biaya penarikan yang terlalu besar, disewakan pada para pedagang, sistem borongan/jual beli lahan, target petak parkir (misalnya Rp. 7 juta/hari di blok M), bayar dua kali (blok m dan senayan dll), mekanisme setor ke polisi, pembagian area resmi dan area fiktif, serta dikelola oleh petugas dan preman. Sementara persoalan yang menyangkut parkir off street adalah pihak pengelola swasta menganggap telah membayar double taxation sejak UU Pajak dan restribusi (1997) dan mengklaim bahwa biaya operasional tidak sesuai dengan pendapatan.

Persoalan juga ada di kelembagaan, BP Perparkiran yang diberi wewenang untuk mengelola parkir di DKI Jakarta. BP Perparkiran mengelola parkir on street saja, itupun tidak termasuk di wilayah ruang parkir yang bersinggungan dengan instansi lain seperti PD Pasar Jaya. Peraturan SK Gubernur No. 177/2000 yang menjadi dasar acuan dianggap sudah usang karena ada titik-titik parkir yang sudah hilang sehingga harus direvisi. Kondisi ini diperparah dengan masalah status kelembagaan yang tidak jelas, wewenang dan otoritas, persoalan kapasitas yang rendah dan tidak adanya lembaga pengawas. Persoalan lain yang tidak kalah penting, adalah tingkat kebocoran yang mencapai 112%. Sangat besar dibandingkan dengan potensi sesungguhnya yang belum tergali atau sudah tergali tapi bocor.

Presentasi kedua dari Masyarakat Transparansi Indonesia mengenai road pricing, yaitu salah satu kebijakan transportasi dimana pengguna kendaraan dikenakan biaya apabila melewati jalan atau area tertentu. Kegunaannya cukup penting sebagai sumber pendapatan untuk perbakan sistem transportasi, mengurangi kemacetan dan lingkungan.

Road pricing berbeda dng toll pricing. Toll pricing adalah kutipan pada ruas2 jalan tertentu, jembatan, tunnel dengan tujuan utama untuk membiayai sebagian atau seluruh biaya modal, operasi dan perawatan dari infrastruktur tsb. Sementara road pricing adalah kutipan ruas-ruas jalan atau area ttt sbg bagian dari TDM dengan tujuan menggunakan biaya sebagai alat untuk mempengaruhi sebagian pemakai jalan untuk mengubah perilkaku perjalanan mereksa sehingga kinerja lalu lintas yang telah ditentukan dapat tercapai. Sehingga, road pricing bertujuan untuk mengubah perilaku, bukan sebagai pembiayaan atas pembuatan dan pemelihraan infrastruktur.

Di negara lain, road pricing terbukti efektif menurunkan tidak saja traffic kendaraan namun juga perpindahan dari kendaraan pribadi ke transportasi atau angkutan publik dan juga lingkungan yang lebih bersih serta penghematan energi. Namun demikian, perlu ada faktor pendukung lain seperti adanya dukung kebijakan di sektor lain, political will, peran serta masyarakat.

Presentasi terakhir dari ITDP mengenai TDM, yaitu segala macam strategi untuk mengefisiensikan pererakan manusia dan barang serta pemanfaatan sdtransportasi, ruang, bahan bakar, waktu perjalanan dll. TDM mempersoalkan demand dan supply. Komponennya terdiri dari faktor-faktor pull measure yaitu faktor yang menarik orang dari kendaraan pribadinya dan faktor-faktor push measures yaitu yang menekan penggunaan kendaraan pribadi.

Sebagai penutup, forum ini membicarakan isu-isu penting yang perlu diperhatikan dalam membentuk koalisi TDM, yaitu pentingnya mengumpulkan contoh yang sudah ada, keterlibatan NGO dan masyarakat, kelemahan pemerintah dalam PR dan komunikasi kebijakan, proses eksplorasi hingga implementasi dengan seluruh stakeholder, studi cost benefit masyarakat, daftar prioritas upaya TDM, sosialisasi dan governance, serta perlu adanya juru bicara atau champion untuk membawa isu-isu transportasi publik di media massa. Tujuan koalisi ini memperhatikan aspek-aspek hukum, ekonomi, lingkungan dan sosial demi pelayanan publik di bidang transportasi yang baik di DKI Jakarta.

UU Pornografi tidak Menjamin Hak Perlakuan Khusus untuk Perempuan

Ini catatan ketika memoderasi diskusi yang dilakukan dalam rangka seri diskusi mengkaji UU Pornografi -herni

http://www.pshk.or.id/site/details.viewer.php?catid=7b8302aeaec8a3ce743058fabd0deefc&cgyid=58ff1b71f40474859fda135ce3a4d433


Tujuan Undang-Undang Pornografi untuk melindungi perempuan dan anak-anak perlu dipertanyakan. UU Pornografi tidak saja berpotensi mengkriminalkan perempuan korban trafficking, namun juga tidak melindungi hak untuk memperoleh perlakuan khusus yang dijamin oleh konstitusi. Hal ini muncul pada diskusi “Kritisi UU Pornografi dari Aspek Hukum Pidana” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) bekerjasama dengan Kalyanamitra di Perpustakaan Hukum Daniel S. Lev Selasa (2/12/2008) kemarin. Diskusi ini merupakan bagian dari seri diskusi kajian terhadap UU Pornografi dari pelbagai aspek.

Hak Memperoleh Perlakuan Khusus
Narasumber dari LBH APIK, Sri Nurherwati, menggugat Pasal 23 UU Pornografi yang menyatakan bahwa proses beracara UU Pornografi mengacu pada KUHAP, utamanya mengenai penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan, kecuali diatur secara khusus oleh UU Pornografi. Hal ini tidak sejalan dengan hak mendapat perlakuan khusus yang dijamin Pasal 28 H ayat (2) konstitusi yang berbunyi, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Padahal, pelaksanaan hak ini sudah dilakukan pada UU KDRT dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dengan menyediakan prosedur atau hukum acara khusus untuk perempuan korban KDRT dan trafficking. Hal ini merupakan pelanggaran hak konstitusi yang serius, mengingat target terbesar traffiking adalah industri pornografi.

Selain tidak memberikan prosedur khusus untuk perempuan korban trafficking yang dijamin oleh konstitusi, UU Pornografi juga berpotensi mengkriminalkan korban trafficking. Pasal 8 UU Pornografi menyatakan “Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi”. Meski tidak secara eksplisit menyebutkan perempuan dan ada unsur “sengaja” atau “persetujuan dirinya”, UU Pornografi tidak melihat relasi dan struktur sosial yang menempatkan perempuan dalam posisi korban pada industri pornografi dan sebaliknya, mengambil pendekatan yang represif dengan mengkriminalkan korban.

Narasumber lain dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Arsil, mengangkat persoalan kerumitan pengaturan tindak pidana dalam UU Pornografi. Pasal yang mengatur ketentuan pidana harus dibaca berbarengan dengan Pasal 1 dan Pasal 4 ayat (1) berikut penjelasannya. Bandingkan dengan model yang dipakai oleh KUHP dalam merumuskan pasal yang lebih sederhana. Selain itu, substansi yang diatur dalam UU Pornografi telah diatur dalam KUHP. Salah satu peserta, Ali dari kantor hukum Adnan Buyung Nasution, menambahkan hal baru yang ditambahkan di UU ini adalah alat bukti digital. Keanehan prosedur hukum acara di UU Pornografi juga terlihat di Pasal 43 yang mengatur gugatan perwakilan (class action) yang merupakan mekanisme perdata dan bukan pidana.

Pelanggaran terhadap Asas Hukum dan Pasal Konstitusi Lainnya
Patra dari YLBHI juga mengemukakan beberapa pelanggaran lain yang dilakukan oleh UU Pornografi ini. Pertama, UU Pornografi melanggar asas kepastian hukum. Definisi pornografi sangat tergantung pada konteks waktu dan norma kesusilaan masyarakat. Definisi pornografi yang berlaku di negara lain pun tidak detail sehingga tidak ada perumusan definisi pornografi yang ideal yang dapat digunakan sebagai pedoman.

Sementara itu, parameter untuk mengkategorikan apakah suatu tindakan merupakan tindakan pidana atau bukan adalah niat jahat, tindakan jahat, kerugian, kapasitas pidana dan tanggung jawab pidana yang memerlukan parameter untuk membuktikannya. Dolus, atau kesengajaan, mensyaratkan adanya unsur pengetahuan bahwa perbuatan tersebut adalah ilegal (wetten) dan unsur perbuatan itu dikehendaki oleh si pelaku (willen). Unsur-unsur ini sulit diaplikasikan dalam UU Pornografi sehingga berpotensi melanggar asas kepastian hukum.

Kedua, dari persepektif HAM, UU Pornografi juga melanggar Pasal 28I ayat (2) yang menjamin bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Suatu UU dikatakan diskriminatif bila melakukan pembatasan yang merujuk pada orang atau sekumpulan orang. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) a menyebutkan materi pornografi yang memperlihatkan persenggamaan lesbian dan homoseksual termasuk persenggamaan yang dianggap menyimpang dan dilarang oleh UU Pornografi.

Cukup Kuat untuk Uji UU ke MK?
Namun demikian, cukup kuatkah untuk menjadi bahan argumentasi mengajukan uji undang-undang ke MK? Menyusun dan mengemas argumentasi menjadi sebuah permohonan uji undang adalah persoalan tersendiri. Patra menambahkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun argumentasi untuk uji undang-undang, yaitu persoalan legal standing dan hubungan kausal antara pasal yang bermasalah dan potensi kerugian. Dalam kaitannya dengan kepentingan perempuan, UU Pornografi tidak secara spesifik menyebutkan diskriminasi atau kriminalisasi terhadap perempuan. Namun demikian, pelanggaran terhadap hak perlakuan khusus terhadap perempuan merupakan substansi yang dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi.

Sementara itu, Arsil mengingatkan mengenai tujuan dari pengajuan uji undang-undang dan konsekuensi hukum yang terjadi bila uji undang-undang itu dikabulkan oleh MK. Pengajuan uji undang-undang terhadap Pasal 2 berdasarkan hak untuk memperoleh perlakuan khusus yang diatur pada Pasal 28 H (2) merupakan ketentuan hukum acara. Bila ini dikabulkan, maka bukan berarti UU Pornografi ini tidak memiliki ketentuan hukum acara dan tidak bergigi lagi. Pengaturan hukum acara pidana tetap merujuk pada KUHAP.

Menggugat Landasan Filosofis RUU Pornografi

Ini dibuat sebagai brief paper untuk advokasi RUU Pornografi yang dilakukan Jaringan Kerja Prolegnas Pro-Perempuan (JKP3) -herni

Naskah Akademik adalah tempat yang tempat untuk menggali landasan filosofis suatu RUU. Latar belakang filosofis RUU Pornografi adalah keinginan untuk meluruskan moralitas bangsa Indonesia di tengah perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi dimana Masyarakat Indonesia telah mengadopsi nilai-nilai budaya tertentu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan mengancam persatuan dan kesatuan dengan perbuatan yang tidak bermoral, melanggar etika, tidak sopan, serta tidak menghargai dan menghormati kepentingan umum.

Naskah akademik RUU ini juga menempatkan RUU Pornografi sebagai: (i) pedoman bagi masyarakat dalam memilah budaya di era globalisasi; (ii) alat transformasi bagi masyarakat yang tidak menganut budaya yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila; (iii) alat untuk mengurangi terjadinya kasus-kasus kejahatan seksual dan perbuatan a-moral atau a-susila yang mengganggu tujuan nasional dalam Alinea IV UUD 1945; (iv) instrumen tambahan yang mengurangi kemungkinan terjadinya konflik sosial yang diakibatkan oleh pornografi serta alat untuk menegakan etika, sopan-santun dan budi luhur dalam kehidupan bermasyarakat; meningkatkan kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa dan meningkatkan penghormatan terhadap ketentuan hukum dalam kehidupan bernegara (Naskah Akademik RUU Pornografi hal. 3-5).

Alasan terbesar mengapa RUU Pornografi bermasalah dan menimbulkan kontroversi adalah karena sejak awal, dari landasan filosofisnya, RUU Pornografi memiliki pemahaman dan pendekatan yang keliru.

Pertama, RUU ini memfokuskan pada moralitas dengan pendekatan pelarangan yang mengabaikan hak-hak individu serta mengkriminalisasikan korban pornografi dan tidak melihat masalah pornografi sebagai industri yang perlu diregulasi dan dibatasi.

Meski RUU ini memberikan definisi, mengkategorikan jenis pornografi dan perbuatan yang dilarang, namun RUU ini tidak memberikan parameter serta batasan yang jelas kecuali keinginan untuk meluruskan moralitas masyarakat. Hukum memerlukan parameter obyektif yang dapat diukur. Pendekatan yang menekankan pada pengaturan perilaku berdasarkan moralitas malah menimbulkan aturan-aturan yang parameternya bersifat subyektif, tidak jelas dan mendefinisikan pornografi sesuai moralitas masing-masing. Pada akhirnya, RUU pornografi yang tercipta adalah aturan-aturan dengan parameter subyektif dan membuka celah-celah yang berpotensi tidak saja mengabaikan hak-hak individu namun juga menimbulkan konflik sosial baru dalam kehidupan bermasyrakat dengan alasan penegakan moralitas. Alih-alih ditujukan untuk persatuan dan kesatuan bangsa, malah menimbulkan potensi pemecah bangsa.

RUU ini memerangi kejahatan seksual dengan menegasikan korban-korban perdagangan manusia yang umumnya menjadi komoditas pornografi dengan menempatkan mereka sebagai salah satu pelaku kriminal tindak pidana pornografi. Karenanya, hukum yang dihasilkan juga bersifat represif dengan mengkriminalkan mereka yang dianggap tidak bermoral dan para korban industri pornografi.

Kedua, RUU ini kontradiktif dalam melihat nilai-nilai Pancasila, budaya dan kebhinekaan masyarakat Indonesia. Di satu sisi, RUU ini mengakui keragaman budaya dan kebhinekaan Indonesia, namun di sisi lain menempatkan “materi seksualitas” dalam bidang budaya, pendidikan dan kesehatan sebagai “materi pornografi yang ditoleransi” dan karenanya dikecualikan. Perspektif RUU ini menempatkan segala bentuk dan representasi “materi seksualitas” sebagai materi pornografi, termasuk segala jenis hasil karya budaya, materi pendidikan dan pengobatan. Pengecualian yang dilakukan terhadap budaya, pendidikan dan pengobatan dilihat sebagai bentuk “toleransi masyarakat Indonesia terhadap pornografi”, seperti yang tercantum dalam naskah akademis RUU Pornografi:

“.... masyarakat Indonesia yang umumnya masih menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila pada tingkatan tertentu memiliki toleransi terhadap pornografi. Mereka memahami bahwa dalam kondisi tertentu bagi sebagian orang-orang, pornografi merupakan suatu kebutuhan (misalnya: untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan atau pengobatan gangguan kesehatan seksual).”

Dengan demikian, RUU ini tidak mampu menghargai nilai-nilai budaya dan kebhinekaan Indonesia. Sebaliknya, RUU ini justru melihatnya sebagai nilai-nilai yang menghancurkan masyarakat Indonesia dan melihat masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang meski menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, namun memiliki tingkat toleransi terhadap pornografi. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan mengenai konsep dan pemahaman RUU ini terhadap nilai-nilai Pancasila, budaya dan kebhinekaan masyarakat Indonesia.

Thursday, December 4, 2008

Pendanaan Kampanye di US

Di sela-sela New Generation Seminar 18, saya sempat berbincang-bincang sedikit dengan Joe dan Jay mengenai pendanaan kampanye di US. Tentu saja, proses dan mekanismenya transparan dan akuntabel. Mereka harus melaporkan pemasukan dan pengeluaran sedetail mungkin. Yang menarik adalah, batasan maksimum sumbangan lebih rendah seiring dengan makin tingginya posisi jabatan publik yang hendak diraih. Jadi misalnya, untuk level state, batasan maksimum sumbangan lebih rendah dibanding untuk level county. Ini untuk menunjukkan semakin tinggi jabatan publik, semakin didukung oleh orang yang lebih banyak.

Dan kita tidak perlu menjadi aburizal bakrie dulu untuk sumbang sana-sumbang sini, hehe. Cukup dengan modal US $1 pun, kita bisa menyumbang. Dan kewajiban untuk mencatat dan melaporkannya sama jika kita menambahkan tiga nol dibelakangnya. Suatu konsep yang menarik, bukan?

New Generation Seminar 18: The Politics of Globalization



Akhir september hingga awal oktober lalu, saya dapat jekpot lebaran berupa undangan untuk mengikuti New Generation Seminar ke 18 yang diselenggarakan oleh East-West Centre. Acara ini merupakan pertemuan calon pemimpin muda dari "timur" dan "barat". Asia dan Amerika. Apa iya saya calon pemimpin muda Indonesia? Nah, itulah... kenapa saya bilang ini adalah jekpot hehe. Beberapa bulan lalu, Scott menawari aplikasi dan kebetulan saya diterima. Alhamdulillah, seberuntung itu :-)

Peserta seminar seharusnya terdiri dari 16 orang, namun 2 orang tidak bisa hadir. Peserta dari Amerika ada 4 orang. Jay Williams, walikota afrika-amerika pertama untuk kota kecil Youngstown di Ohio. Joe Dorman, state rep dari Oklahoma. Will Campos, councilmen dari District II Marlyand. Ketiganya demokrat. Dan Tim Moore, state rep dari North Carolina. Peserta dari Asia ada 10 orang, Maylin dari kantor presiden Philippines; Katherine dari CCTV China, Bonnie pendiri young leaders rountable dari Hongkong, Tipou ahli konstitusi dari Fiji Island; Amna dari Pakistan; Joey the baby kangaroo yang kerja di partai oposisi/demokrat di Thailand; Mr Brown direktur King Content dan salah satu blogger tertua (jaman kita belum ngeblog, dia udah mulai duluan hehehe); Asrif dari Pakistan; Ranga direktur eksekutif salah satu stasiun tv di srilanka; dan dev anggota parlemen di India. Sementara itu, koordinator dari East West Centre Ann dan Barbara.

Seminar dibagi menjadi dua bagian. Minggu pertama, presentasi dari para pakar di east west centre dan masing-masing dari kami sesuai topik seminar. Topik yang saya bawakan adalah the Indonesian Bankruptcy Reforms. It sort of fits the topic. Global Crisis. Globalization. Do you know that (pro-creditor) bankruptcy reforms has been one of the World Bank's agenda? It's one of the agenda for reform that has been spreading globally, started in Latin America in 1980s, European in 1990s and Asian in mid 1990s. And I guess I did my part quite well.

Presentasi yang lainnya, Amna tentang program pendidikan untuk anak perempuan di Pakistan, Asrif tentang peranan anak muda di Pakistan, Joey tentang konflik di Thailand, Mr. Brown yang bercerita tentang kiprahnya di dunia blogger yang sempat membuat senewen Pemerintah Singapura, Ranga juga tentang kiprah usilnya menyentil politikus melalui TV yang dikelolanya di Srilanka, May tentang kebijakan tenaga kerja di Filipina, Bonnie tentang kaum muda di Hongkong dan presentasi tentang Cina dan media dari Catherine serta kudeta dan konstitusi di Fiji dari Tipou. Sementara dari pihak teman Amerika kami, ada tentang kebijakan imigrasi di Amerika dari Will, Agroturis dari Joe, sistem politik di Amerika dari Tim dan Visi untuk mengembalikan kehidupan perekonomian di Youngstown dari Jay.

Selebihnya, kami habiskan waktu untuk menikmati kota honolulu, ke pantai waikiki, melihat tarian hula, mencicipi masakan lokal yang sekilas mirip dengan masakan di ternate :-), beli suvenir, makan malam bareng di outback, serta singgah di kantor obama dan mccain.

Bagian kedua dari seminar ini, kami berdiskusi dengan pelbagai macam orang dari pelbagai institusi sehingga kami pun berpindah-pindah tempat. Pertama, ke youngstown, melihat bagaimana kota ini berjuang menghadapi krisis. Kota yang tadinya makmur dari industri baja dan perlahan menurun kemudian berusaha bangkit lagi. Kami bertemu dengan pengusaha alat mekanik pertanian, keluarga petani, industriawan, dan para wakil kota di Youngstown untuk mendapatkan sejarah dan latar belakang krisis. Kami juga mengunjungi museum industri baja, bertamu dan menonton pertandingan football di Youngstown University. Sehari berikutnya kami habiskan di Cleveland, masih di negara federal yang sama, Ohio, namun kali ini adalah ibukotanya. Kami bertemu dengan salah satu senator yang semua orang berpendapat yang sama, senator yang sangat humanis.

Tiga hari berikutnya kami habiskan di Washington DC, dengan sebelumnya mampir di Minnesota dalam perjalanan transit pesawat, sekedar untuk sarapan dan melihat kotanya seribu danau itu sejenak, ditemani ayahnya Ann. Di washington kami bertemu dengan direktur East-West Centre, bertemu dengan beberapa institusi penting, melihat obama pidato di Senat, mencicipi kafe capitol di dekat gedung parlemen, mencobai tradisi marshmallow, dibakar-diletakan di atas biskuit, diberi coklat baru dimakan, serta mengunjungi landmarks. Beberapa hari terakhir, saya habiskan di Maryland, kediaman liliana and philipe, orang tua will. Sempat menikmati nongkrong di kafe sport melihat football game dengan 2 teman will yang lain, mengunjungi museum smithsonian, bertemu dengan mas dwi, mbak nina dan para krucilnya serta makan malam merayakan ulang tahun will di restoran favoritnya.

Toilet di Bandara Narita, Jepang

Buat yang baru “melek dunia” (baca: berpergian ke luar negeri), kebodohan dan kegagapan melihat perkembangan dunia di “luar sana” memang sering terjadi. Jangankan keluar negeri, pengalaman pertama naik pesawat domestik aja, kegagapan ini masih sering terjadi. Dan, kegagapan yang terasa ketika berpergian keluar negeri adalah: toilet! Kenapa toilet, karena entah kenapa kalau lagi berpergian, keinginan pipis lebih sering datang. Beda dengan kehidupan “hari-hari biasa” dimana pipis identik dengan kegiatan menjemput tita yg ngebuzz di YM ngajak pipis dan kami gunakan moment pipis tadi untuk ngobrol di sepanjang jalan dari ruangan ke toilet dan ke ruangan lagi. Lebih banyak waktu untuk mengobrol dibanding pipis :-) Beruntunglah kita tidak bekerja di kantoran, apalagi bank, yang aktivitas pipis aja dijatah pake stopwatch agar tidak lebih dari 5 menit.

Bicara soal toilet, perjalanan yang harus transit di beberapa negara (maklum, panitia membelikan kami tiket promo yang paling murah), mau tidak mau jadi membandingkan toilet. Kali ini saya diberi kesempatan mereview toilet dalam perjalanannya saya ke NGS (New Generation Seminar) yang diadakan oleh east west centre, Honolulu. Dari 3 negara yang saya singgahi, --Singapura, Jepang dan Honolulu, untuk urusan toilet, jepang lah pemenangnya. Faktor kemenangannya bukan pada kebersihan, kemodernan atau kecanggihannya. Toilet di Jepang memang canggih, tapi bukan sekedar canggih. Kecanggihan yang menurut saya, mengandung nilai kegilaan, yaitu kegilaan perhatian pada hal atau kebutuhan yang detail. Sekedar canggih itu hal yang biasa. Negara maju memang harus menghadirkan kecanggihan-kecanggihan sebagai bukti peradaban mereka yang menjunjung nilai-nilai kemanusian. Dan ini dimulai dari toilet. Kecanggihan plus nilai kegilaan pada kebutuhan atau hal yang detail ini yang menurut saya juga ada di acara takeshi castle (OOT dikit).

Kecanggihan pertama, toilet di bandara Narita memiliki tombol-tombol yang punya fungsi agak gila, di sisi kanan tempat dudukan toiletnya. Sekilas, saya pikir itu tombol mesin cuci hehe. Tapi pikiran bodoh saya pun disadarkan oleh pertanyaan saya sendiri, apanya yang mau dicuci di toilet? Setelah melihat lebih dalam lagi, tombol itu adalah tombol yang fungsinya mengatur jenis suara dan volume siraman toilet (mirip pengatur musik jadinya ya?), tombol yang mengatur tekanan air serta tombol yang menambah pengharum agar air siraman lebih wangi.

Kecanggihan kedua, adalah kecanggihan yang sudah seharusnya. Kecanggihan yang selama ini kita perjuangkan di advokasi RUU Pelayanan Publik bersama Jaringan MP3 (Masyarakat Peduli Pelayanan Publik). Toilet yang ramah terhadap mereka yang difabel, lansia, dan ibu-ibu yang hendak mengganti popok anaknya. Kecanggihannya terletak pada luasnya toilet itu. Lengkap dengan tombol merah untuk menutup dan tombol hijau untuk membuka. Menekan memang lebih mudah dibandingkan membuka pegangan pintu.

Tapi, yang bikin saya tergagap gembira adalah toilet ini memasukan satu kepentingan kelompok “minoritas” lain, yaitu orang yang hendak berganti baju. Untuk urusan kepentingan orang yang hendak ganti baju, rupanya luput dari kajian MP3. Mungkin, kepentingan untuk berganti baju di toilet umum belum dianggap sebagai kepentingan yang perlu diakomodasi. Tapi coba anda bayangkan, saya ingin mengganti bagian privat saya dan akhirnya saya enggan karena melihat antrian yang panjang. Saya mau melakukannya tanpa perlu melihat wajah misuh-misuh atau nyinyir tersembunyi dari mereka yang antri. Buat saya, ini kecanggihan dengan suatu terobosan yang kebutuhannya ada tapi tidak dipikirkan!

Kecanggihan ketiga, adalah kecanggihan yang mengandung nilai kepraktisan. Kecanggihan yang mengakomodasi kebutuhan pipis ibu-ibu yang lagi menggendong anaknya dan sang suami mungkin terlalu malas untuk menggantikan menggendong atau kebetulan tidak sedang menemani sang istri. Di dekat pintu, ada dudukan yang mudah dibuka dan ditutup (agar tidak terlalu makan tempat) sebagai tempat meletakan bayinya selama si ibu pipis. Ibu tidak perlu khawatir, karena letaknya berdekatan dengan toilet buat si ibu. Bahkan si ibu bisa pipis sambil becanda dengan anaknya.

Mungkin RUU Pelayanan Publik perlu direvisi. Siapa bilang, advokasi RUU tidak bisa menyentuh masalah nyata warga negara ini? Toilet adalah urusan yang nyata dan dekat dengan masyarakat!

Ps. Tapi rupanya, kecanggihan toilet di Jepang bisa jadi hanya di bandaranya saja. Untuk review toilet di Jepang di tempat-tempat yang bukan merepresentasikan kegengsian negara, baca tulisan farid mardin di: http://faridm88.multiply.com/journal/item/8/WC_DI_JEPANG

RUU Pornografi Masih Bermasalah

Ini dari algooth waktu lagi hangat-hangatnya isu RUU Pornografi pertengahan bulan September lalu. Interview sebelum menghadiri NGS di hawaii. Diambil dari link http://web.bisnis.com/kolom/2id1549.html. Fotonya sebenarnya dari acara ultah 10 tahun PSHK, yang ngambil gama :-)


Jumat, 19/09/2008 14:28 WIB

RUU Pornografi masih bermasalah
oleh : Herni Sri Nurbayanti
Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia

Diskursus RUU Pornografi mulai berkembang dengan tidak sehat. Ada kecenderungan dalam masyarakat untuk mempolarisasikan posisi menolak dan mendukung dengan stigma-stigma tertentu.

Untuk mendalami masalah ini berikut perbincangan dengan Herni Sri Nurbayanti, peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan anggota Jaringan Kerja Prolegnas Pro-Perempuan (JKP3) pekan ini sebelum bertolak ke AS memantau jalannya Pemilu AS.

Apa yang membuat Anda sebagai perempuan begitu gusar dengan RUU Pornografi. Bukankah justru perempuan yang terlindungi?
Keadaan tidak menjadi membaik ketika isu pornografi dikaitkan dengan isu agama. Dampaknya, ada stigma bahwa mereka yang menolak dianggap selain mendukung pornografi dan tidak melihat pornografi sebagai sebuah masalah namun juga dianggap tidak religius atau bahkan tidak punya rasa/nilai/moral. Sehingga perdebatan yang terjadi sebatas menolak dan mendukung saja, tidak benar-benar fokus pada isu pornografinya sendiri.

Arus penolakan terhadap pornografi perlu dilihat sebagai kritik terhadap pornografi yang sebenarnya mempertanyakan, apa dan siapa yang menjadi sasaran dari RUU Pornografi serta pendekatan yang diambil RUU Pornografi dalam menyelesaikan masalah pornografi di Indonesia.

Penolakan terhadap RUU Pornografi berangkat dari kritik RUU Pornografi yang tidak tepat sasaran dan malah menyasar apa yang seharusnya bukan sasaran RUU Pornografi.

Banyak suara skeptis menyatakan ini adalah kado Ramadhan?
Terlepas dari kado Ramadan atau tidak, semangat mengaitkan isu ini dengan bulan suci ini seharusnya juga dibarengi dengan pikiran yang jernih terhadap alternatif-alternatif pendekatan penyelesaian masalah pornografi dan bagaimana membungkus RUU yang benar-benar menyelesaikan masalah pornografi, tanpa menimbulkan masalah baru, dalam proses yang partisipatif.

Kalau boleh tahu sebetulnya bagaimana proses RUU ini?
Menjelang akhir September 2008, DPR dihadapkan pada setumpuk pekerjaan legislasi. Salah satunya, RUU Pornografi yang pembahasannya dimulai Juni di Panitia Khusus (Pansus). RUU ini dijadwalkan ditandatangani Raker Pansus 18 September 2008 dan disahkan di Rapat Paripurna pada 23 September 2008 mendatang. Namun, RUU ini belum menjawab berbagai masalah penting sehingga masih prematur untuk disahkan.

Masalah apa itu?
Definisi Masih Bermasalah. Perubahan draf RUU sering dilakukan, namun masalah mendasar di definisi belum selesai. Rumusan definisi terakhir: "Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat".
Definisi ini memasukkan unsur yang bukan pornografi, frase yang digarisbawahi, serta unsur yang tidak jelas parameternya (yang dapat membangkitkan hasrat seksual) dan mencampuradukan terminologi seksualitas dengan pornografi sehingga tidak tepat sasaran dan multi-interpretatif.

Padahal, naskah akademik RUU Pornografi memuat kajian yang ekstensif mengenai definisi pornografi. Namun, tidak terefleksikan hasilnya dalam rumusan definisi.

Banyak suara menakutkan dengan RUU ini akan mengintervensi hak seksualitas masyarakat? Apa betul?
RUU tidak memberi batas ruang privat dan publik serta menggunakan pendekatan intervensi penuh terhadap ruang privat untuk semua materi pornografi yang definisinya tidak tepat dan multiinterpretatif. Hal ini akan menimbulkan masalah pada praktiknya.

Sebagai contoh, Pasal 20 dan 21 membuka peran masyarakat untuk melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebaran, dan penggunaan pornografi dengan melaporkan pelanggaran dan untuk tindakan ini diberi perlindungan hukum.

Namun, dengan definisi dan batasan pornografi yang tidak jelas dan multi-interpretatif, pelaksanaan peran masyarakat untuk mencegah pornografi akan menimbulkan permasalahan baru.

Lalu pendekatan apa yang tepat?
Semestinya, pendekatan yang perlu digunakan adalah memberi batas ruang privat-publik dengan parameter penghapusan (zero tolerance) terhadap pornografi anak dan yang mengandung unsur kekerasan terhadap perempuan.

Di luar itu, memberi batasan ruang privat dan publik yang jelas dengan regulasi distribusi dan penggunaan pada ruang privat dan menutup akses anak. Ruang privat ini bisa ditembus hanya ketika digunakan untuk pornografi yang termasuk zero tolerance tadi.

Lalu pendekatan apa yang menurut Anda sesuai untuk RUU ini?
Kriminalisasi, bukan Perspektif Korban. RUU ini menggunakan pendekatan kriminalisasi terhadap objek atau model pornografi (istilah yang digunakan RUU), bukan perspektif korban.
Seharusnya RUU ini menggunakan pendekatan perspektif korban yaitu dengan menempatkan mereka sebagai korban yang penanganannya bukan mengkriminalisasikannya, namun menyediakan fasilitas pembinaan, pendampingan, pemulihan ekonomi dan sosial, kesehatan fisik serta mental.

Pendekatan kriminalisasi tidak menyelesaikan masalah dan mengesampingkan fakta pornografi sebagai salah satu tujuan perdagangan perempuan, apalagi untuk pornografi yang mengandung unsur kekerasan terhadap perempuan.

Mereka adalah korban, bukan pelaku kriminal. Dengan mengkriminalkan korban, justru menempatkan mereka ke jurang lebih dalam.

Lalu bagaimana proses legislasi. Apakah ini tak berjalan?
Proses Legislasi Tidak Partisipatif. RUU ini juga bermasalah dari segi proses legislasi. RUU yang direvisi belum tersosialisasikan dengan cukup, padahal Risalah Laporan Singkat Rapat Pleno Pansus 14 Mei 2008 mencatat sosialisasi masih perlu dilakukan. Partisipasi publik makin tertutup dengan Rapat Panitia Kerja (Panja) yang tertutup.

Tatib DPR mengatur Rapat Panja tertutup, kecuali dinyatakan terbuka. Namun mengingat substansi dan dampak RUU yang luas, seharusnya ada kepekaan politik untuk menyatakan rapat Panja terbuka untuk umum, seperti RUU Kewarganegaraan, RUU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan RUU Pelayanan Publik.

Kemampuan teknis Pansus dalam mengolah aspirasi masyarakat masih lemah. Berbagai elemen masyarakat selama ini berinisiatif untuk beraudiensi dan mengadvokasikan masukannya, namun masih banyak yang belum diakomodasi.

Pekan depan RUU ini bakal diteken. Ini artinya sudah final lalu bagaimana?
Pornografi adalah keprihatinan kita bersama. Persoalannya adalah bagaimana menyusun RUU yang tepat sasaran, tidak menimbulkan masalah baru serta melalui proses pembentukan hukum yang bertanggungjawab secara sosial.

RUU Pornografi belum memenuhi ketiga kualifikasi tersebut. Apakah DPR ingin mengesahkan RUU yang bermasalah seperti ini?

Pewawancara: Algooth Putranto Wartawan JBII/Monitor Depok

Thursday, June 19, 2008

Sebuah pertanyaan untuk demokrasi

Hari ini, ada pertanyaan cerdas dari mas dwi, moderator WM (wanita-muslimah@yahoogroups) untuk para kaum progresif demokrat pro-demokrasi. Apakah demokrasi membuka ruang bagi mereka yang anti-demokrasi?

Pertanyaan ini muncul bukan melihat persoalan besar demokrasi yang sedang dihadapi negara ini. Pertanyaan ini justru muncul, dari wilayah jagad maya yang sudah menjadi ruang publik tempat orang nongkrong, berkomunikasi, berjuang dan... berantem :-)

Demokrasi berdiri di atas prinsip-prinsip yang menjunjung tinggi HAM, menghargai perbedaan dan percaya bahwa setiap orang punya selayaknya punya kebebasan (lengkap dengan segala dilemanya dan diskursus yang muncul dari semua istilah ini). Perbedaan adalah sesuatu yang perlu disadari dan dihargai. Perbedaan perlu disadari sebagai perbedaan antar kelompok dan intra kelompok. Perbedaan jangan dijadikan sesuatu yang menghasilkan perseteruan, konflik atau bahkan dijadikan dasar kekerasan. Perbedaan justru harus diterima dan digunakan demi keharmonisan, baik di wilayah privat, publik maupun pasar (demokrasi berjalin kelindan dengan pasar juga toh? hehehe...)

Tapi, apakah demokrasi membuka ruang bagi mereka yang anti-demokrasi?

Demokrasi percaya pada penghargaan antar sesama manusia. Penghargaan terhadap perbedaan pemahaman. Saling jaga, saling hormat antar mereka yang berbeda. Bukan sekedar untukmulah pemahamanmu dan untukkulah pemahamanku. Karena kalau hanya berpikir dan berlaku dengan prinsip seperti ini, seringkali akan menemukan jalan buntu. Demokrasi adalah bicara tentang menyamakan persepsi dan membuka alternatif-alternatif baru. Demokrasi percaya pada dialog dan menentang segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan yang membungkam dialog itu sendiri. Demokrasi percaya bahwa prinsip-prinsip demokrasi dapat diterima dengan suasana diskusi yang penuh kearifan. Demokrasi tidak selayaknya dibungkam, apalagi sekedar untuk alasan kenyamanan berdiskusi. Demokrasi adalah pilihan yang tak terelakan. Setidaknya untuk saat ini. Tapi, apakah hal yang sama juga mampu diterapkan oleh mereka yg pro-demokrasi terhadap mereka yang "anti-demokrasi"? Termasuk salah satunya, harga yang perlu dibayar adalah suasana ketidaknyamanan dari para penyerang demokrasi. That's the challenge. The biggest one, indeed :-)

Sunday, June 15, 2008

Sonet XVII Pablo Neruda

Minggu lalu, sepulang dari makassar (hehehe soal perjalanan ke makassar ini belum diceritain di blog ya), saya kembali dalam rutinitas weekend saya: membegokan diri dengan kepingan DVD :-) Temanya adalah: pelem-pelem NOSTALGILA. Ya, saya bernostalgila menonton film-film favorit saya yang sebenarnya sudah saya tonton. Dua film yang saya tonton adalah: little women dan patch adams.

Saya baru sadar, ada puisi yang maniiiiiss sekali yang dibacakan patch adams (robin williams) buat carin fisher, pacarnya di film itu... yang mati ditembak psikopat. Iseng saya cari di internet, rupanya itu adalah Sonet XVII Pablo Neruda.

I do not love you as if you were salt-rose, or topaz,
or the arrow of carnations the fire shoots off.
I love you as certain dark things are to be loved,
in secret, between the shadow and the soul.

I love you as the plant that never blooms
but carries in itself the light of hidden flowers;
thanks to your love a certain solid fragrance,
risen from the earth, lives darkly in my body.

I love you without knowing how, or when, or from where.
I love you straightforwardly, without complexities or pride;
so I love you because I know no other way than this:
where I does not exist, nor you,
so close that your hand on my chest is my hand,
so close that your eyes close as I fall asleep.

Saturday, May 24, 2008

Some people are simply.... nuts!

Kayanya saya perlu diruwat. Bukan untuk menghindari dari terkaman batara kala, tapi dari orang-orang sinting. Mungkin perlu diruwat beberapa kali, mengingat banyak orang sinting beredar di dunia ini huhuhu. Dan sialnya, saya selalu kena labrak para orang sinting. Atau mungkin ada chemistry yang dalam tubuh saya yang perlu diubah sehingga tidak bertemu dan kena labrak para orang sinting itu.

Bicara soal labrak-melabrak, pastinya tidak jauh dari aktivitas label-melabel. Satu hal yang saya gak suka karena menurut saya gak guna. Labels are always contested terms. Memang label seringkali merupakan pasangan nilai-nilai yang berlawanan. Misalnya, baik-bandel. Benar-salah. Liberal-konservatif. Progresif-kolot. Hitam-putih. Dan sebagainya. Saya bilang gak guna, karena seringkali ini hanya bisa dipolitisasi. Dan saya kira, kita tidak bisa dengan seceroboh dan secepat itu mengkotak-kotakan orang.

Coba saja lihat, perempuan baik-baik versus perempuan tidak baik. Tapi, baik versi siapa? Apakah baik pada saat itu, atau baik sebagai nilai "rata-rata"? Baik artifisial atau baik genuine? Yang seperti apa baik artifisial dan genuine itu? Sebelnya, orang kalau sudah melabrak dan melabeli, mereka cenderung membuat polarisasi. Garis batas antara kamu yang jahat dan dialah yang baik. Ah, apakah saya harus merespon dengan hal yang sama, bahwa sebaliknya, sayalah yang baik dan kamu yang jahat. Jadi, berhentilah melabeli dan melabrak karena itu tidak bijaksana dan tidak berguna. Apalagi, bila yang dilabrak adalah orang yang salah dan labrakannya itu tidak pada tempatnya.

Gosh, mungkin benar saya butuh diruwat.

LDT terakhir dengan BRR

Sudah sekitar 2 tahun ini, kami sering diminta oleh BRR untuk memberikan LDT bagi anggota-anggota DPRK/A beserta Staff Dewan. Kali ini adalah LDT terakhir bekerjasama dengan BRR karena pada akhir April 2008, Satker Penataan Kelembagaan ditutup. (nama satkernya sih panjang, saya sendiri lupa. Kenapa juga nama satker di BRR panjang-panjang? hehehe). Timnya Ery, Sholikin dan saya. Permintaan ini datang mendadak. Persiapannya pun secepat kilat. Gimana tidak, proses permintaan, pemilihan trainer hingga pesan tiket dilaksanakan dalam waktu cuma 1 hari! Karena kebetulan reny memilih untuk tetap di Jakarta dan kita punya kebijakan representasi perempuan minimum 30% dalam tim trainer yang akan berangkat, lagi-lagi saya kena batunya berangkat training.

Wisata LDT Takengon


Beberapa bulan lalu, tepatnya tanggal 20-23 Maret 2008, saya ke Takengon untuk keperluan pekerjaan. Kali ini, memberikan Legislative Drafting Training (LDT) atau Pelatihan Perancangan Peraturan untuk anggota DPRK Bener Meriah, sebuah kabupaten baru perluasan dari Kabupaten Aceh Besar. Sebenarnya ini panggilan tugas dadakan. Tim aslinya adalah bang Irfan, Maryam dan Ery. Namun, karena punggung ery yang baru di operasi tidak sanggup menahan beban perjalanan ke Takengon yang memakan waktu 7 jam dengan naik mobil melewati jalan berkelok-liku tajam, maka sayalah yang diminta menggantikan. Waktu itu bertepatan dengan libur panjang karena 2 tanggal merah. Sial karena lagi-lagi tanggal merah terlewatkan dengan sia-sia. Saya sudah lupa tepatnya kapan tidak lagi ada batasan antara weekdays dan weekend. Buat saya (dan yg lainnya juga), gak ada bedanya. Setiap hari libur dan tanggal merah adalah hari kerja. Mungkin itu sebabnya kami suka menyempilkan kesenangan di sela-sela pekerjaan, hehehe..

Singkat cerita, seperti biasa saya menyiapkan bahan dan mencari pengetahuan di internet
tentang kota asal para peserta, Bener Meriah dan tempat training diadakan, Takengon. Pengetahuan saya tentang Takengon hanya sebatas salah satu kota wisata di Aceh. Itupun dari Erni, yang dulu pernah kesana. Kota yang memiliki potensi yang luar biasa di bidang pariwisata tapi seperti biasa, tidak digarap dengan baik. Sementara informasi mengenai Bener Meriah, tidak sempat saya cari.

Tiba di bandara, kami dijemput oleh bang Yasser dan Pak Win, langsung menuju Takengon. Dan perjalanan panjang pun dimulai.

Wisata Danau dan Wisata Kuliner
Yang menarik dari perjalanan kali ini adalah kami sempat berwisata danau dan wisata kuliner :-).

Dalam perjalanan ke Takengon, kami berhenti sebentar di sebuah rumah makan di satu tempat antah berantah antara banda aceh dan takengon. Warungnya sederhana. Prasmanan. Mirip warung padang dimana lauk pauknya disediakan di meja makan dalam piring-piring kecil. Kami makan dengan lahap, seperti biasa :-). Selain kelaparan, juga karena makanannya enak :-). Salah satu makanan khas Takengon adalah ikan kecil-kecil yang saya lupa namanya apa. Dan seperti biasanya pula, saya selalu pesan timun kerok. Entah kenapa, timun kerok di Aceh selalu enak. Dan jus-jus lainnya. Mungkin karena belum banyak pestisida. Entahlah.

Sepanjang jalan berikutnya kami juga melihat deretan kripik yang dijual dalam plastik bening seukuran karung beras. Berbagai macam kripik dijajakan, mulai dari kripik pisang (manis dan asin), singkong, ubi hingga sukun. Penjualnya ramah-ramah. Kalau kita ramah sedikit dengan mereka, dijamin bonus sekantong kripik diberikan :-) Sesampai di Takengon, hari sudah menjelang sore dan kami langsung menuju danai air tawar. Apalagi kalau bukan untuk foto-foto :-)

Mie Aceh di Kompleks Terminal
Perburuan makanan ini dilanjutkan pada malam pertama pelatihan. Teman-teman BRR menemani kami makan. Kami makan di sebuah rumah makan lesehan. Mencicipi mie Aceh di Takengon. Siapa tau saja rasanya berbeda :-). Perburuan mie aceh ini dilanjutkan pada malam kedua, oleh saya dan Maryam. Untuk informasi mie aceh yang enak, kami menggunakan metode pencarian data snowball. Kami bertanya kepada abang-abang di supermarket kecil di depan hotel, yang kemudian bertanya lagi pada abang-abang lain di dekat situ. Dari metode ini, kami dapatkan informasi: mie aceh di kompleks terminal. Bahkan, ada abang bentor yang siap mengantarkan kami di sana. Sip lah, dapat informasi dari "orang lokal".

Rupanya, yang kami kira nama kompleks sebuah perumahan adalah benar-benar... kompleks terminal (bus). Saat itu, jam sudah menunjukan pukul 9 malam. Untuk ukuran jakarta sih, masih "sore". Tapi ini Aceh, jeng. Tepatnya, Takengon. Yang menurut koran lokal yang saya beli di bandara, baru saja terjadi konflik penculikan salah satu tokoh penting. Agaknya, konflik-konflik kecil sudah mulai bermunculan. Terlepas dari kemajuan tentang Aceh yang diberitakan.

Kembali ke cerita, karena sudah terlanjur, kami cuek saja. Mantap dengan niat semula, mencicipi mie Aceh yang 100% orisinil :-) Rupanya benar, mienya benar-benar enak! Cuma sayangnya, terminal, pembeli cuma berdua dan perempuan serta jam 9 malam di Takengon bukan kombinasi yang baik untuk dapat menikmati mie aceh dengan santai. Di kejauhan, terlihat kedai kopi dengan bangku-bangku kosong. Kedai itu tidak semenarik kedai kopi di ulee kareng dan di tempat lain. Remang-remang. Konon katanya, di situ pernah menjadi lokasi prostitusi. Belum lagi, preman terminal yang suka melirik, menggoda dan bahkan menyetop kami yang sedang menunggu bentor di jalanan yang sudah sepi dan toko-toko sudah tutup. Untunglah, ada bentor yang lewat dan menyelematkan kami. Terpaksa si kepiting yg menggiurkan pesanan maryam harus dibungkus dan dimakan di hotel. Jadi, bila ingin menikmati mie aceh di terminal bus, pastikan anda membawa laki-laki. Ini bukan persoalan bias gender, tapi memang buat sebagian besar masyarakat kita, kehadiran laki-laki di tengah gerombolan perempuan masih seperti anjing penjaga yang memastikan dombanya tidak diganggu :-)

Wednesday, March 19, 2008

Katakan dengan kartu!

Kartu ternyata bisa berfungsi sebagai alat komunikasi, untuk mengungkapkan isi hati. Seringkali, kartu digunakan untuk mengungkapkan hal-hal yang "positif" seperti penggalian cerita tentang diri sendiri, cita, mimpi-mimpi dan harapan. Namun kali ini, saya menggunakannya sebagai alat komunikasi mengungkapkan hal-hal yang "negatif", seperti keluhan dan kritikan-kritikan. Sejak lama, banyak kritikan dan keluhan dari para staff baik yang gamblang disuarakan maupun melalui bisik-bisik yang terdengar samar-samar. Sudah lama saya merasa tertantang untuk menggali dan mengelola kritik dan keluhan ini untuk perkembangan dan kemajuan lembaga. Saya gunakan kartu karena pengungkapan keluhan dan kritikan dengan cara yang "biasa" atau "normal" seringkali berujung pada kekesalan, saling salah-menyalahkan dan luapan emosi semata yang berpotensial untuk mengaburkan pokok bahasan. Jadi saya mencobanya dengan kartu.

Akhirnya, hari minggu 16 Maret yang lalu, saya mencoba menggunakan metode penyampaian dengan kartu untuk mengelola kritikan dan keluhan para staff. Seharian itu staff pendukung berkumpul di ruang diskusi perpustakaan hukum Daniel S. Lev. Peneliti yang hadir hanya saya dan Maryam. Saya hadir karena posisi struktural (sementara) dan Maryam saya undang untuk mengenalkan masalah-masalah kelembagaan kepada peneliti muda. Biar tidak hanya memikirkan penelitian dan kariernya semata, tapi juga punya kepedulian pada lembaga.

Saya memakai dua set kartu berisi gambar-gambar binatang. Pinjaman dari Erni (dasar fasilitator tak bermodal hehe). Kami duduk melingkar. Suasana dibuat cukup santai. Posisi pun dibiarkan bebas. Bisa sembari duduk, tiduran, senderan, berdiri atau yang lainnya. Saya sebarkan kartu-kartu bergambar binatang itu di hadapan kami membentuk lingkaran (meniru cara mbak budhsi vibran, hehe). Instruksinya adalah memilih kartu yang merepresentasikan masalah-masalah mereka, utamanya mengenai posisi mereka sebagai staff di PSHK. Mulanya sebagian belum memahami instruksi ini. Mungkin belum terbayang akan seperti apa jadinya. Tapi mereka mau mencoba.

Ada yang memilih satu, dua hingga tiga kartu. Sengaja saya bebaskan jumlah kartu yang bisa mereka pilih. Sebagian bingung memilih, sebagian langsung memilih dan sibuk merangkai kata-kata yang menjelaskan makna kartu yang mereka pilih. Lalu tibalah momen untuk saling berbagi menjelaskan kartu yang mereka pilih beserta maknanya. Berikut kartu-kartu yang mereka pilih (untuk keperluan menjaga identitas pribadi, sengaja tidak saya sebutkan namanya).

Kartu

Tuesday, March 18, 2008

Jolanda Goldberg, Perempuan dibalik Penyusunan Sistem Katalog Library of Congress

Library of Congress merupakan salah satu perpustakaan yang berpengaruh di dunia. Perpustakaan terbesar dan terlengkap di seantero Amerika Serikat. Sejarahnya hampir sepanjang sejarah negara Amerika Serikat sendiri. Ia merupakan bagian dari mimpi Thomas Jefferson. Bagian dari institusi demokrasi yang dibangun di awal sejarah berdirinya Amerika Serikat.

Bila kita melihat catatan sejarah mengenai Library of Congress, anda akan menemukan uraian panjang sejarah terbentuknya, koleksi yang sangat ekstensif, kemegahan gedung, bangunan serta infrastruktur di dalamnya. Bagi pustakawan, satu hal yang bisa ditambahkan adalah sistem katalog yang dimilikinya, Library of Congress Catalogue atau dikenal dengan sebutan LC System. Yang menarik buat saya dari LC System ini yang mungkin luput dari catatan sejarah (setidaknya yang tidak tercatat di wikipedia maupun sumber-sumber lain yang dapat diakses oleh internet hehe), adalah Jolanda Goldberg, wanita warga negara Amerika asal Jerman, penyusun LC System.

Nama Jolanda Goldberg diperkenalkan oleh Merry, salah satu ahli katalog di Library of Congress yang saya temui di Library of Congress. Merry juga memperlihatkan buku panduan LC System yang dibuat oleh Jolanda Goldberg. Sistem katalog LC ini digunakan di seluruh perpustakaan di Amerika Serikat.

[bersambung.. capek hehehe]

Monday, March 10, 2008

Participation and Power: A Transformative Feminist Research Perspective by Joke Schrijvers

This summary was done by a friend of mine, A. Rahman -red


This action research was undertaken among the people (Muslins and Tamils) staying in relief camps in Sri Lanka. These people had been displaced by civil war and ethnic violence in 1990s.The article states that relief and rehabilitation measures are carried out in a top down manner without considering the views of the refugees, especially women and children who may have special needs.

The main points are as follows-

1. Neo-positivist ideology in its bid to be neutral starts treating people as objects. The processes of collecting data, analyzing and writing it are presented as simple and transparent. But this research is not value free and in fact it obfuscates power relationship. First the agenda for research is set up by professional social scientists. Secondly, the researched has no say in it. Third they are objectified during research and lastly the research is merely academic and has no liberating influence. Thus focus of research is now shifting to a view from below in which Feminism has made a significant contribution by adding to the perspective from below the perspective of women.

2. In feminist theory and practice issues of knowledge, power, representation and authority have been dealt with deeply.Ethnic, race, class and age relation crosscuts gender, which makes this study more difficult. Another problem is how to create equitable relations during the research process and support envoicing of participants.

3. The postulate of value free research is to be replaced by conscious partiality. Critical consciousness and exchange are important elements of this research. The researcher takes side of certain group, partially identifies and in a conscious process creates space for critical dialogue and reflection on both sides. It raises new questions and images of reality in a dialectical way. If dialogues form the main communication process, the objects of research become subjects as well. They are conceptualized as social actors who themselves participate in the research and therefore co- determine the outcome. They too are constructing knowledge and interpreting reality. The out come is intersubjective and negotiated and there is no single reality.

Five elements of this dialogical communication can be identified-

1. Dynamic focus on change as opposed to status quo.

2.Exchange- researcher and researched continuously change places as both are subjects and objects, active and passive and their views are open for discussion.

3. The ideal of egalitarian relation- the researcher and the participants are aware of the power inequalities that separate them. By articulating such differences less powerful will feel assured about the efforts of the power full to take a perspective from below.

4. Shared objective- the priorities of the research are decided by all the participants.The researcher or the funding agency have no control over the process of the research or its out come.

5. Shared power to define- participants are empowered to construct concepts and categories, discuss results and determine the course and out come of the research.

There are some problems with this kind of research. For example the ultimate power to define the out come will be with the researcher who is going to write it and there is possibility that some of the perspectives are not correctly reflected as it has not been written jointly. Secondly dialogical communication is meant more for the situations where the other group is powerless. What about sharing the power to define with the more powerful. Envoicing their concern may lead to perpetuation of status quo.

Transformative approach-if the aim of the research is transformation backed by the perspective from below, we call it transformative approach. It aims at bridging the gap between theory and practice and supporting change from bottom up. However this term is complicated as poor it self are a heterogeneous group. As researcher we are intellectual intermediary in this transformation and we have to make choice as to in whose interest, out of the heterogeneous reality, we use our perspectivee.How relevant is the acquired knowledge for their perspective? What are the possibilities of returning the insights gained, back to them?

If transformative research also involves direct action for change it is known as action or partisan research. The researcher takes sides with the people whose situation he wants to change. Thus all actors become engaged in a combined processor of research and action. One of the participants is facilitator. The decision to take side does not mean that the researcher has to accept the interpretation of the other actors. It means all parties create space to articulate their views so that they can exchange and discuss their interpretations

Participation in Context: Key Questions

Am sorry for not be able to provide the original sources (of reading). I think it's a summary from various articles or whatever. Well, I definitely needs to consume salmon omega-3 everyday, hehehe...


Key Questions on participatory development in terms of the practice and process of participatory research, planning and governance in the context of community development:

1. Why a participatory process ?

It is important to define the ends served and making them explicit in collaborative work. The end of participation includes the planners, the facilitators and the objective of the participants. This can be done through these steps:

  • All should make their reasons explicit and then to attempt to reconcile differences.
  • Participatory exercise can then be tailored to the various ends which the group decides to pursue

2. What ends does it serves?

  • Participation as a means to specific ends - Instrumentalism

Instrumentalism Participation is an instrumental use of people and their participation by outsiders for the achievement of some implicit or intentionally concealed aim. It is hand in hand with mobilization, in terms of getting certain people to do something, even if it undermines their interests.

In some cases, people are unable to re-orient or resist inappropriate interventions, and projects are perpetrated upon them rather than being designed and carried out by and for themselves. Participatory process, combined with an explicit treatment of the objectives of the process itself, can prevent such abuses.

  • Participation as an end in itself

It implies that men and women are learning, organizing, deciding, planning and acting, whether quickly or slowly, easily or painfully, and with or without a specific end. In some cases, the end is participation for its own sake in a first phase, so that people are in a position to define their own goals and to act on them in a second phase.

3. The Objectives of Participatory Research

There are many kinds of participatory research objectives which are:

  • To extract information from people (the more common approach)
  • To place outside researchers at the service of local communities or popular social movements.
  • It is placed as collaborative efforts ranging from documentation of local experiments and innovations by professional scientists to farmer participation in outsider-designed agricultural and forestry experiments. We propose to join together people and institutions with very distinct traditions of acquiring and testing knowledge, and often, very different needs and uses for knowledge.

4. Participation and Relations of Power

To promote social change through participatory development, it is essential to understand better and to address the way that power is distributed and wielded. Therefore facilitators should do the following:

  • Identifying the multiple actors within communities, as well as those who work within and between communities and others whose decisions affect local development from afar.
  • Understanding power relations embedded in the culture and social structure within local communities, based on class ethnicity, religion, race, nationality, ideology, etc.
  • Facilitator needs to consider carefully their choice of partners to organize and plan activities, whose interests to address and whom to include in any given event.

5. Whose Interests, whose voices, whose actions

· The community is not a homogenous group.

Individuals may identify more of less strongly with gender, class, ethnicity or religion, depending on their own experience and the current context. These attributes also interact. Culture and social relations are not static with respect to gender, class, caste or other dimensions of difference.

· The groups (in the community) will shift on the basis of the context and the issues at stake, i.e. people shared interests on a specific issues, coalitions between very distinct groups with a common goal or broader affinities among groups and between individuals. Therefore, facilitators need to grapple not only with difference, but with a multitude of different possible groupings and beyond that, a shifting constellation of groups with flexible boundaries. They must also confront the question of how actively they will promote the participation and follow-up actions of the less powerful groups.

6. The Temporal Context

· It is important to situate the origin of problems and opportunities in time, as well as the groups involved, and the nature of our interventions/partnerships, in order to choose the time horizon of participatory research, planning and action agendas.

· Participation need not be associated with either one-time appraisals or a life-time residential commitment, but should reflect an honest search for the most appropriate time frames suited to the context of the place, the people, the partnerships and the scope of changes contemplated.

· There are several ways to match the time frame of analysis with the topic, the actors and the scope of their concerns, includes the time frame for:

  • understanding the current situations: (i) to understand the history of the current situation in any given places and of any given group, including individual life histories, the history of specific groups and communities, etc; (ii) the history encompass social, cultural, economic, environmental changes, etc through people’s lives and landscapes, and are seldom written. conducting research
  • planning activities
  • implementing plans

with considering the time limits (for example immediate future -3 years, longer time frames for planning and actions -10-20years, etc) and the institutional concerns (e.g. the actors in the process).

7. Where to Focus Participation

The ‘popular’ participation are usually located in public meetings, where ‘local people’ and officials engage in planning discussions about local problems and proposed development solutions. Basically, participation could take place in national policy discussions and legislative process as well as in small, quite meetings between family members, neighbours, or members of particular groups based on occupation, class, race, ethnicity, gender, religion, or other bases of identity and difference.

8. Addressing the Problems

· Close attention to the appropriate scale of problem definition, analysis and action can make a major difference in the quality of participation, the rate of participation, and the representation of all groups involved in a given process. It also could influence the outcome, both overall and for particular groups.

· To address the problems of one community group at a given time and place may require a much broader look at the regional and national context, as well as a closer look at the daily lives and landscapes of individuals and particular groups. In order to do this, the steps are:

1) The explorations of problems and opportunities at multiple scales, always looking at larger and smaller-scale process that influence of influenced by any given problem.

2) The process, with special attention to the size and nature of the social unit of resource users and stakeholders and the size of the landscape units involved in various stages of participatory initiatives.

3) The size and nature of the landscape area and the social units for follow-up action will vary with the type of problem and the context. Careful attention to the scale of both social organization and ecological units can improve the quality and outcome of each of these stages of participatory activity.

The Narratives in Clifford Geertz’s “Which Way to Mecca?”

Abstract

Islam has become the main concern of the media, the society, even the governments, due to many kind of “terrorist” activities, for example September eleven (11/09), Kuta beach, suicide bombers, Osama bin Laden, the Iraq war and so on and so forth. Suddenly, Islam has become a contested terrain. A lot of writings from different perspectives are published in order to give information to the public about what the Islam is. They are the narratives of Islam which is thrown away to the public domain. These writings or narratives also represent responses and reactions, which include not only understanding but also warnings, reassurances, advices or attacks (Geertz, pp. 27). It also has impacts on the social practices, ranging from the daily lives of the people in general to the government’s policy. In Clifford Geertz’s “Which Way to Mecca”, we could found both the meta-narratives and the narratives from different perspectives by different authors, including the competing narratives among the story tellers and between them and Geertz.

A. The Big Story and The Story Tellers

1. The Big Story of Understanding Islam

In “Which Way to Mecca”, Geertz was explaining the phenomenon of “understanding Islam”,
especially after the September eleven’s attack on the World Trade Centre and Pentagon. This phenomenon was reflected in many kinds of writings and books about Islam that have been published. In the process, “understanding Islam” had become a contested issue. According to Clifford, this writings represent responses and reactions, which include not only understanding but also warnings, reassurances, advices or attacks (Geertz, pp. 27). Therefore, as explained by Geertz, understanding Islam had many approaches which divide and bound the overall field of argument and interpretation. The four approaches are: (i) the civilization approach which opposes the “west” as a whole to Islam; (ii) defining the various streams of contemporary Muslim thought and practices based on political expression; (iii) conciliate efforts seeking out “many are the roads but God is one”; (iv) studies that conceive Islam less as a cohesive mega entity persisting through time than as a collection of particular in the context of the vast and entangling forces of all over modernity advance (Geertz, pp. 27). These are the meta-narratives or the four mainstream narratives of understanding Islam.

2. Locating the Author and the Narrators

The article was written by Clifford Geertz, a well-known anthropologist. Geertz introduced four narratives in the article. Each narrative has different perspectives or aspects and written by different authors from different backgrounds. These authors are the story tellers. Geertz is also criticized them and gave his opinion which was also reflected in the title, “Which Way to Mecca?”. To this extend, he then implicitly became the narrator himself.

Clifford Geertz was in the US Navy during the World War II before he took a carrier as an anthropologist. He had studied at Antioch College (for BA) and Harvard (for Ph.D). He started his carrier as anthropologist at the University of Chicago (1960-1970) and became a professor of social science at the Institute for Advanced Study in Princeton until 2000, now emeritus [1]. He is also known as a champion of symbolic anthropology, which the role of thought (of “symbols”) in society is the main concern. He also has conducted extensive ethnographical research in Southeast Asia and North Africa and issues on religion, most particularly on Islam [2]. In short, he is one of the well-known experts of Islam.

The story tellers or the narrators in the articles are: Bernard Lewis, M.J. Akbar, Thomas W. Simons, Jr. and Karen Armstrong. In his article, Geertz gave some information of their backgrounds. Bernard Lewis is a famous orientalist, well-educated in Islamic studies-, and also an adviser to the USA’s vice president. Lewis had written many books about Islam. He is also known as the prominent expert in Islamic studies. M.J. Akbar is Muslim founder editor of the English-language Indian daily. He was also former Congress MP and a nonstop commentator, particularly on the issue of Islam in Delhi. Thomas W. Simons Jr. had a carrier as the US ambassador to Pakistan. He also has many experiences and strong education related in the area of Europe and European studies. Karen Armstrong is an ex-nun and a writer of a number of religious subjects, including the Semitism religion and also Buddhism, medieval mystics, and so on.

B. The Events, the Narratives and the Resulting Social Practices

Some authors points out the September Eleven (11/09) as their main event in the narratives, while others not. Akbar took the civil war in Kashmir as his events while Simon added the impacts of globalization especially after the fall of communism. Most of the narrators also wrote from historical approach in terms of they traced to the whole carrier of Islam itself. Some narrators also put the relationship between Islam with other religious groups, most particularly the Christianity, including Hindu radicalism (as can be seen in Akbar’s writing), and the Jewish (as can be seen in Armstrong’s writing). The resulting social practices were ranging from the daily lives of the people in general to the government’s policy.

1. The Narratives

The first narrative was from Bernard Lewis in his two books that were written before and after 11/09. In his book that he wrote before 11/09, he argued that Muslims are caught up in a confused and resentful mourning over the loss of a cultural primacy that was once theirs and has now been lost (Geertz, pp. 28). He also points out how the Muslims worlds were changing through the history because the external factors which is the crucial events and changes in the world that surrounds them. He also brought in the Christian-Muslim history into his narrative. On the other hand, in his latter book that was written after the 11/09, he described the attacks as “the latest phase in a struggle that has been going on for more than four centuries” (Geertz, pp. 28). Moreover, he also mention about “the holy war and unholy terror” and argued that this had became a threat to the world as a whole.

The resulting social practice can be seen in the daily practices from the level of society up to the government, particularly in the US. Through his consistency in producing his writings and his backgrounds, the American people recognized him as the experts on Islam. His book became the best seller. Thus, the narratives and arguments in his book were very influential in creating public opinions, especially in the US. Moreover, as he also an advisor to the USA’s vice presidents, his opinions were also influential to the policy-makers. According to Geertz, his narrative after 11/09 had been slightly shifted and became “intensely contemporary, close-up polemic designed to arouse the West, and most especially the US, to armed response”. One of the social impacts is the US foreign policy in fighting terrorism or its tight immigration policies towards the Muslims to come to US.

The second narrative is written by M.J. Akbar. The event is civil war in Kashmir, originated in the history of conflicts between India and Pakistan. Each title in each chapter in his books reflected the way he presented the narratives, such as “the joys of death”, “circle of hell”, “history as anger” and so on. He wrote about the rise of Islam and its engagements with Christianity and then he focused on the “Jihad in the East”. Generally, the narrative was about the continuing war between the cross and the crescent in many places (the west, Kashmir, Bangladesh and the destruction of Babri Mosque), including the rise of Hinduism radicalism and the appearance of Osama bin Laden. The messages were very clear that: (i) the Jihad is never over; (ii) defeat is only a setback in a holy war; (iii) the jihad goes on and; (iv)the stakes by now are nuclear. His narrative contributes to the creation of Islam’s images as a religion which legitimized and valued the attacks to other religion as a spiritual activity.

The third narrative was written by Thomas W. Simons Jr. His main event was over the entire course of its thirteen-hundred-year career and added the impacts of the globalization, particularly after the fall of communism (Geertz, pp. 29). According to Simon, the idea of globalization has emerged as common denominator in analyses of the world affairs. He argued that globalization is the main power in driving and directing the pace of change, including the Islamic society. He divided the history of Islam into: (i) the early Islam where most of them were lived in agricultural economy; (ii) 18th century and the imperialism which led to a “progressive simplification and brutalization of the increasingly revivalistic Islamic discourse; (iii) the 1970s globalization which led and driven by coal, steel, petroleum and information technology. He described Islam as “the world’s most powerful engine, agent, and vehicle of globalization, and … [its] most sharply contested battleground” (Geertz, pp. 29). It then caused the dispersion of religious authority, the weakening of the nation-state, the failure of “defensive modernization” and conduced to a new radicalism that caused the September eleven, thirty years later. Thus, he argued that the 11/09 attacks was the results of an old problem that originated at least 30 years before.

The fourth narrative was by Karen Armstrong. She tacked and portrayed the course of Muslim history as a temporal unfolding from a revelatory foundation, the carrying forth of a settled faith into an unsettled world. She did not focus on any particular events, but she emphasizes on the historical aspects of Islam “through the eyes of faith of external history” in more comprehensive way. It included from the assassinations, wars, dynasties which was seen as temporal unfolding history as “primitive” to revelatory moments, for example Muhammad in Mecca and Medina, the transmission of the Koran and so on. Her books also became the best seller. Moreover, she also brought the relationship between the fundamentalist groups in the Semitism religions (Islam, Christianity and Jewish), not only how these three religions were connected but also conflicted to each other (as can be seen in her book: “The Battle for God” and “A History of God”). Viewing the whole carrier of Islam, her approach included accepting the Koran’s perspectives and values on things, prophet and prophecy. It gave information about Islam, throughout history and within a wider context, including its relationship to other religion, the power relation within the Moslem itself that created the assassinations, the dynasties and so on. It also perceived Islamic Society not only during the leadership of Muhammad, but also went beyond that. Therefore, her narratives brought a more comprehensive way in look at the problems. It also enabled the public to differentiate between the good Muslim (values) and the bad Muslim (practices).

2. The Competing Narratives

The narratives in the article, to some extend, were competing to each other. The competing narratives existed: (i) among narrators and; (ii) between Geertz and the narrators.

1. Lewis and Armstrong

The meta-narrative was the “understanding Islam”. Some narratives, like Armstrong’s, were more comprehensive than the others. Comparing to Lewis, Armstrong gave a deeper insight of what Islam is and also the fact that you could found the similar situation in other religion, while Lewis placed Islam as dangerous power, a threat to the world. As quoted by Geertz:

Bernard Lewis

Karen Armstrong

If the [Muslim fundamentalists] can persuade the world of Islam to accept their views and their leadership, then a long and bitter struggle lies ahead, and not only for America, Europe… is now home to a large and rapidly growing community, and many Europeans are beginning to see its presence as… a threat. Sooner or later, Al-Qa’ida and related groups will clash and the other groups will clash with the other neighbors of Islam – Russia, China, India—who may prove less squeamish than the Americans [have] in using their power against Muslim and their sanctities. If the fundamentalists are correct in their calculations and succeed in their war, then a dark future awaits the world…

The historical trials and tribunalitons of the Muslim community –political assassinations, civil wars, invasions, and the rise and fall of the ruling dynasties –were not divorced from the interior religious quest, but were of the essence of the Islamic vision. A Muslim would meditate upon the current events of his time and upon past history as a Christian would contemplate an icon, using the creative imagination to discover the…divine kernel. An account of the external history of the Muslim people [is not] of mere secondary interest, since one of the chief characteristics of Islam has been its sacralization of history.

2. Geertz: Which Way to Mecca

Geertz also criticized the four story tellers. In his opinion, “Akbar, Lewis, and Simons see Islamic Civilization in the perspective of its reactions to what surrounds it, to what confronts it, and what it confronts – the west, the east, globalization – than it is to the promptings, whatever they might be, of its spiritual character. It is its encounters with others, rather than wit itself, that have shaped it”. He was also saying that, “The lack of concern with specifically religious conceptions and specifically spiritual motivation in most of the “understanding” Islam literature does produce something of a Hamlet without the Prince effect”. Moreover, he also points out the credibility and reliability of the narrators, for example he criticized Simon as “there are almost citations than there are sentences”.

The article “Which Way to Mecca “was a brief explanation about the competing narratives in the process and it also played as guidance to read those narratives, as well as the story tellers. There are a lot of narratives by different story tellers with different backgrounds, different perspectives, different emphasis, and different goals which could led to a misunderstanding Islam, but still, it all led to the main-narrative (Geertz pp. 30). And it was reflected in the title. Mecca is a very sacral place for Moslem, as their direction in praying. The direction to Mecca is different from other places in the world, for example it is in the West direction from Jakarta, while it is in the North-East direction in Netherlands, but all leads to Mecca, as well as all writings and narratives leads to the meta-narrative, understanding Islam.