Ini dari algooth waktu lagi hangat-hangatnya isu RUU Pornografi pertengahan bulan September lalu. Interview sebelum menghadiri NGS di hawaii. Diambil dari link http://web.bisnis.com/kolom/2id1549.html. Fotonya sebenarnya dari acara ultah 10 tahun PSHK, yang ngambil gama :-)
Jumat, 19/09/2008 14:28 WIB
RUU Pornografi masih bermasalah
oleh : Herni Sri Nurbayanti
Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
Diskursus RUU Pornografi mulai berkembang dengan tidak sehat. Ada kecenderungan dalam masyarakat untuk mempolarisasikan posisi menolak dan mendukung dengan stigma-stigma tertentu.
Untuk mendalami masalah ini berikut perbincangan dengan Herni Sri Nurbayanti, peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan anggota Jaringan Kerja Prolegnas Pro-Perempuan (JKP3) pekan ini sebelum bertolak ke AS memantau jalannya Pemilu AS.
Apa yang membuat Anda sebagai perempuan begitu gusar dengan RUU Pornografi. Bukankah justru perempuan yang terlindungi?
Keadaan tidak menjadi membaik ketika isu pornografi dikaitkan dengan isu agama. Dampaknya, ada stigma bahwa mereka yang menolak dianggap selain mendukung pornografi dan tidak melihat pornografi sebagai sebuah masalah namun juga dianggap tidak religius atau bahkan tidak punya rasa/nilai/moral. Sehingga perdebatan yang terjadi sebatas menolak dan mendukung saja, tidak benar-benar fokus pada isu pornografinya sendiri.
Arus penolakan terhadap pornografi perlu dilihat sebagai kritik terhadap pornografi yang sebenarnya mempertanyakan, apa dan siapa yang menjadi sasaran dari RUU Pornografi serta pendekatan yang diambil RUU Pornografi dalam menyelesaikan masalah pornografi di Indonesia.
Penolakan terhadap RUU Pornografi berangkat dari kritik RUU Pornografi yang tidak tepat sasaran dan malah menyasar apa yang seharusnya bukan sasaran RUU Pornografi.
Banyak suara skeptis menyatakan ini adalah kado Ramadhan?
Terlepas dari kado Ramadan atau tidak, semangat mengaitkan isu ini dengan bulan suci ini seharusnya juga dibarengi dengan pikiran yang jernih terhadap alternatif-alternatif pendekatan penyelesaian masalah pornografi dan bagaimana membungkus RUU yang benar-benar menyelesaikan masalah pornografi, tanpa menimbulkan masalah baru, dalam proses yang partisipatif.
Kalau boleh tahu sebetulnya bagaimana proses RUU ini?
Menjelang akhir September 2008, DPR dihadapkan pada setumpuk pekerjaan legislasi. Salah satunya, RUU Pornografi yang pembahasannya dimulai Juni di Panitia Khusus (Pansus). RUU ini dijadwalkan ditandatangani Raker Pansus 18 September 2008 dan disahkan di Rapat Paripurna pada 23 September 2008 mendatang. Namun, RUU ini belum menjawab berbagai masalah penting sehingga masih prematur untuk disahkan.
Masalah apa itu?
Definisi Masih Bermasalah. Perubahan draf RUU sering dilakukan, namun masalah mendasar di definisi belum selesai. Rumusan definisi terakhir: "Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat".
Definisi ini memasukkan unsur yang bukan pornografi, frase yang digarisbawahi, serta unsur yang tidak jelas parameternya (yang dapat membangkitkan hasrat seksual) dan mencampuradukan terminologi seksualitas dengan pornografi sehingga tidak tepat sasaran dan multi-interpretatif.
Padahal, naskah akademik RUU Pornografi memuat kajian yang ekstensif mengenai definisi pornografi. Namun, tidak terefleksikan hasilnya dalam rumusan definisi.
Banyak suara menakutkan dengan RUU ini akan mengintervensi hak seksualitas masyarakat? Apa betul?
RUU tidak memberi batas ruang privat dan publik serta menggunakan pendekatan intervensi penuh terhadap ruang privat untuk semua materi pornografi yang definisinya tidak tepat dan multiinterpretatif. Hal ini akan menimbulkan masalah pada praktiknya.
Sebagai contoh, Pasal 20 dan 21 membuka peran masyarakat untuk melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebaran, dan penggunaan pornografi dengan melaporkan pelanggaran dan untuk tindakan ini diberi perlindungan hukum.
Namun, dengan definisi dan batasan pornografi yang tidak jelas dan multi-interpretatif, pelaksanaan peran masyarakat untuk mencegah pornografi akan menimbulkan permasalahan baru.
Lalu pendekatan apa yang tepat?
Semestinya, pendekatan yang perlu digunakan adalah memberi batas ruang privat-publik dengan parameter penghapusan (zero tolerance) terhadap pornografi anak dan yang mengandung unsur kekerasan terhadap perempuan.
Di luar itu, memberi batasan ruang privat dan publik yang jelas dengan regulasi distribusi dan penggunaan pada ruang privat dan menutup akses anak. Ruang privat ini bisa ditembus hanya ketika digunakan untuk pornografi yang termasuk zero tolerance tadi.
Lalu pendekatan apa yang menurut Anda sesuai untuk RUU ini?
Kriminalisasi, bukan Perspektif Korban. RUU ini menggunakan pendekatan kriminalisasi terhadap objek atau model pornografi (istilah yang digunakan RUU), bukan perspektif korban.
Seharusnya RUU ini menggunakan pendekatan perspektif korban yaitu dengan menempatkan mereka sebagai korban yang penanganannya bukan mengkriminalisasikannya, namun menyediakan fasilitas pembinaan, pendampingan, pemulihan ekonomi dan sosial, kesehatan fisik serta mental.
Pendekatan kriminalisasi tidak menyelesaikan masalah dan mengesampingkan fakta pornografi sebagai salah satu tujuan perdagangan perempuan, apalagi untuk pornografi yang mengandung unsur kekerasan terhadap perempuan.
Mereka adalah korban, bukan pelaku kriminal. Dengan mengkriminalkan korban, justru menempatkan mereka ke jurang lebih dalam.
Lalu bagaimana proses legislasi. Apakah ini tak berjalan?
Proses Legislasi Tidak Partisipatif. RUU ini juga bermasalah dari segi proses legislasi. RUU yang direvisi belum tersosialisasikan dengan cukup, padahal Risalah Laporan Singkat Rapat Pleno Pansus 14 Mei 2008 mencatat sosialisasi masih perlu dilakukan. Partisipasi publik makin tertutup dengan Rapat Panitia Kerja (Panja) yang tertutup.
Tatib DPR mengatur Rapat Panja tertutup, kecuali dinyatakan terbuka. Namun mengingat substansi dan dampak RUU yang luas, seharusnya ada kepekaan politik untuk menyatakan rapat Panja terbuka untuk umum, seperti RUU Kewarganegaraan, RUU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan RUU Pelayanan Publik.
Kemampuan teknis Pansus dalam mengolah aspirasi masyarakat masih lemah. Berbagai elemen masyarakat selama ini berinisiatif untuk beraudiensi dan mengadvokasikan masukannya, namun masih banyak yang belum diakomodasi.
Pekan depan RUU ini bakal diteken. Ini artinya sudah final lalu bagaimana?
Pornografi adalah keprihatinan kita bersama. Persoalannya adalah bagaimana menyusun RUU yang tepat sasaran, tidak menimbulkan masalah baru serta melalui proses pembentukan hukum yang bertanggungjawab secara sosial.
RUU Pornografi belum memenuhi ketiga kualifikasi tersebut. Apakah DPR ingin mengesahkan RUU yang bermasalah seperti ini?
Pewawancara: Algooth Putranto Wartawan JBII/Monitor Depok
No comments:
Post a Comment