Thursday, June 19, 2008

Sebuah pertanyaan untuk demokrasi

Hari ini, ada pertanyaan cerdas dari mas dwi, moderator WM (wanita-muslimah@yahoogroups) untuk para kaum progresif demokrat pro-demokrasi. Apakah demokrasi membuka ruang bagi mereka yang anti-demokrasi?

Pertanyaan ini muncul bukan melihat persoalan besar demokrasi yang sedang dihadapi negara ini. Pertanyaan ini justru muncul, dari wilayah jagad maya yang sudah menjadi ruang publik tempat orang nongkrong, berkomunikasi, berjuang dan... berantem :-)

Demokrasi berdiri di atas prinsip-prinsip yang menjunjung tinggi HAM, menghargai perbedaan dan percaya bahwa setiap orang punya selayaknya punya kebebasan (lengkap dengan segala dilemanya dan diskursus yang muncul dari semua istilah ini). Perbedaan adalah sesuatu yang perlu disadari dan dihargai. Perbedaan perlu disadari sebagai perbedaan antar kelompok dan intra kelompok. Perbedaan jangan dijadikan sesuatu yang menghasilkan perseteruan, konflik atau bahkan dijadikan dasar kekerasan. Perbedaan justru harus diterima dan digunakan demi keharmonisan, baik di wilayah privat, publik maupun pasar (demokrasi berjalin kelindan dengan pasar juga toh? hehehe...)

Tapi, apakah demokrasi membuka ruang bagi mereka yang anti-demokrasi?

Demokrasi percaya pada penghargaan antar sesama manusia. Penghargaan terhadap perbedaan pemahaman. Saling jaga, saling hormat antar mereka yang berbeda. Bukan sekedar untukmulah pemahamanmu dan untukkulah pemahamanku. Karena kalau hanya berpikir dan berlaku dengan prinsip seperti ini, seringkali akan menemukan jalan buntu. Demokrasi adalah bicara tentang menyamakan persepsi dan membuka alternatif-alternatif baru. Demokrasi percaya pada dialog dan menentang segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan yang membungkam dialog itu sendiri. Demokrasi percaya bahwa prinsip-prinsip demokrasi dapat diterima dengan suasana diskusi yang penuh kearifan. Demokrasi tidak selayaknya dibungkam, apalagi sekedar untuk alasan kenyamanan berdiskusi. Demokrasi adalah pilihan yang tak terelakan. Setidaknya untuk saat ini. Tapi, apakah hal yang sama juga mampu diterapkan oleh mereka yg pro-demokrasi terhadap mereka yang "anti-demokrasi"? Termasuk salah satunya, harga yang perlu dibayar adalah suasana ketidaknyamanan dari para penyerang demokrasi. That's the challenge. The biggest one, indeed :-)

1 comment:

Syafei said...

Dalam batas tertentu orang juga butuh kenyamanan. Memang, demi kenyamanan ini terkadang (atau sering) menimbulkan ekses berupa kepongahan ato sikap eksklusiv bahkan bisa mengarah ke neo feodalism di kalangan tertentu ..

Agak terlalu jauh untuk menafsirkannya dg 'anti demokrasi', selama sikap seperti itu hanya berlaku internal di kalangan sendiri ..

Thd fenomena seperti itu aku paling jauh bilang, "Itu bukan habitatku" :D