Ulasan Mingguan Mei 2005 Minggu Ketiga
Oleh: Herni Sri Nurbayanti
"Ketika kita bicara mengenai perempuan selalu jadi bahan tertawaan. Kenapa ketika membicarakan mengenai perempuan tidak seperti membicarakan masalah lain. Kalau ada yang salah kita koreksi, tetapi jangan menjadi obyek tertawaan." (Hj Azlaini Agus, S.H., pada sesi tanya jawab RDPU KOWANI, APAB dan Koalisi Perlindungan dengan Baleg DPR RI, Kompas, 16 Mei 2005)
Lelucon Misoginis
Pada 15 Mei lalu, Korps Wanita Indonesia (KOWANI), Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB), dan Koalisi Perlindungan Saksi (KPS) hadir dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Legislasi DPR (Baleg DPR). Ketiga lembaga itu mempresentasikan usulan Amandemen Undang-Undang (UU) Perkawinan (KOWANI), RUU Perlindungan Saksi serta rancangan amandemen UU Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan. Namun dalam kesempatan tersebut, beberapa anggota Baleg yang hadir sempat menertawakan konsep usulan Amandemen UU Perkawinan yang disampaikan oleh KOWANI. Selain itu, beberapa komentar "bercanda" bernada mengejek juga kerap dilontarkan. Salah satunya adalah "Kami menurut saja, kalau perlu kami ‘dipotong’ saja" (Kompas, 16 Mei 2005). Sikap menertawakan serta komentar-komentar mengejek ini yang kemudian memunculkan sikap protes dari salah satu anggota legislatif seperti yang dikutip di atas.
Perempuan memiliki hak setara dalam segala bidang sosial, termasuk ranah politik. Hal ini diwujudkan antara lain dengan pemenuhan hak-hak politik perempuan, pembukaan akses bagi perempuan di bidang politik serta perhatian terhadap kepentingan perempuan di parlemen. Banyak hal yang telah dilakukan, meski pada prakteknya masih memiliki kelemahan. Pengakuan terhadap hak pilih bagi perempuan, penetapan kuota 30% bagi perempuan di parlemen, serta pembukaan akses politik perempuan di tingkat partai politik adalah bagian dari upaya-upaya tersebut.
Upaya lain yang perlu diperhatikan adalah, perempuan (dan anak) sebagai bagian dari kepentingan yang perlu diperhatikan dalam proses pengambilan kebijakan. Bagaimana kepentingan perempuan (dan anak), sebagai kaum rentan, diperhatikan dalam pengambilan kebijakan termasuk dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan. Populasi perempuan yang besar dan menjadikannya sebagai stakeholder/kelompok kepentingan yang perlu diperhatikan pengambil kebijakan termasuk di parlemen.
Dengan demikian perjuangan kepentingan perempuan di parlemen bukan dominasi dari para anggota legislatif atau kaum perempuan secara umum saja. Bagaimana parlemen memiliki perspektif perempuan dalam merancang, menilai dan membahas peraturan perundang-undangan. Sikap menertawakan serta ejekan dalam nada "bercanda" dalam forum RDPU jelas tidak menunjukkan keseriusan anggota DPR dalam memperhatikan kepentingan perempuan. Kondisi ini yang menunjukkan gejala tidak berubahnya sikap anggota DPR terhadap persoalan perempuan. Suatu kondisi yang memprihatinkan, mengingat sikap tersebut ditunjukkan oleh anggota DPR hasil pemilihan umum tahun 2004, yang sekitar 70% di antaranya merupakan "wajah baru" sehingga ada harapan akan perubahan cara pandang.
Kepentingan Perempuan dalam Prolegnas 2005-2009
Masih terdapat peraturan perundang-undangan yang diskriminatif, bias gender, dan kurang responsif terhadap perlindungan hak asasi manusia terutama hak-hak kelompok yang lemah dan marginal (Program Legislasi Nasional 2005-2009) menunjukkan belum seriusnya DPR dalam memperhatikan kepentingan perempuan dan anak. Realisasi komitmen sangat jauh dari perencanaan. Kondisi inilah yang melatarbelakangi terbentuknya Jaringan Kerja (Jaker) Prolegnas Pro Perempuan. Jaringan ini terdiri dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi masyarakat lainnya yang memiliki rasa keprihatinan terhadap perjuangan kepentingan perempuan di parlemen.
Tujuan dibentuknya Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan ini adalah untuk memastikan pengarusutamaan jender tidak dimarjinalkan dalam filosofi penyusunan peraturan perundang-undangan, yaitu agar pembahasan menyangkut kepentingan perempuan segera dibahas dan disahkan oleh DPR. Sebagai tahap awal, ada tujuh RUU yang selayaknya menjadi perhatian DPR dalam jangka pendek, yaitu:
1. RUU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Belum ada aturan khusus mengenai tindak pidana perdagangan orang. Aturan yang ada tidak efektif dalam menjerat pelaku perdagangan orang. Kebutuhan akan peraturan mengenai hal ini semakin mendesak mengingat jumlah korban, terutama perempuan dan anak, yang diperdagangkan semakin bertambah dan modusnya pun semakin beragam. Peningkatan kasus tersebut semakin tajam setelah krisis ekonomi dan dalam berbagai wilayah di Indonesia yang terkena bencana alam.
2. RUU Pornografi dan Pornoaksi
Pornografi dalam perspektif kepentingan perempuan harus dilihat sebagai isu kekerasan. Kebutuhan akan aturan mengenai pornografi sangat signifikan berkaitan dengan kasus-kasus kekerasan yang terjadi akibat akses yang sangat terbuka bagi produk pornografi, terutama bagi anak-anak, serta produk-produk pornografi yang mengandung unsur kekerasan dan perendahan martabat perempuan. Dampaknya, munculnya kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak seperti penyerangan seksual, pelecehan seksual dan perkosaan. Selain itu, permasalahan pornografi juga perlu dilihat dari segi kepentingan bisnis para produsen dan distributor produk pornografi. Perempuan dan anak-anak yang terlibat dalam pornografi harus ditempatkan sebagai korban, dan bukannya pelaku yang dikriminalisasi. Hak-hak mereka perlu dilindungi sesuai dengan Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Perdagangan Orang dan Eksploitasi Pelacuran.
3. RUU Perlindungan Saksi
Belum ada aturan khusus mengenai perlindungan saksi, termasuk perempuan dan anak yang menjadi saksi korban. Mereka merupakan target kekerasan atau balas dendam dari si pelaku. Perlindungan tersebut diantaranya adalah memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma, ruang tunggu khusus dan hak khusus bersaksi lewat teleconference karena kondisinya yang tidak mampu bersaksi di Pengadilan. Akibat dari ketiadaan aturan mengenai ini, seringkali kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak dapat diproses secara tuntas.
4. Amandemen UU Kesehatan
UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 belum mengatur pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan perlindungan terhadap hak reproduksi perempuan. Hal ini berdampak bagi rasio kematian ibu yang masih besar. Perundang-undangan yang ada juga belum melindungi hak reproduksi perempuan, misalnya perempuan yang menderita HIV/AIDS karena tertular dari suami/pasangannya.
5. Amandemen UU Perkawinan
Beberapa permasalahan dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974:
- Melegitimasi subordinasi suami terhadap istri. Tidak ada pengakuan terhadap fakta dalam masyarakat yaitu terhadap para istri yang secara nyata menjalankan peran sebagai kepala rumah tangga. Dampaknya, pembatasan peluang perempuan terhadap akses sumber daya ekonomi dan sosial. Subordinasi ini juga mempersulit posisi istri untuk keluar dari lingkaran kekerasan dalam rumah tangga.
- Memberikan batas usia nikah bagi perempuan yang terlalu dini, yaitu 16 tahun. Ini menjadi salah satu penyebab tingkat kematian ibu karena berdampak pada kesehatan ibu dan bayi.
- Masih mengakui hak istimewa suami untuk menikahi lebih dari satu perempuan, di mana alasan-alasan yang mendasarinya justru merupakan bentuk penelantaran terhadap istri (yang sakit berat atau tidak mampu memberikan keturunan). Ini juga menjadi salah satu penyebab munculnya kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri dan anak-anak.
- Hanya mengakui hubungan keperdataan anak yang lahir di luar perkawinan dengan pihak ibu saja, tidak dengan pihak ayah. Akibatnya, hak anak untuk memperoleh pengasuhan dari kedua orangtuanya dan dalam memperoleh warisan serta akta kelahiran tidak terpenuhi.
- Tidak mengatur secara tegas kewajiban suami atau pihak pengadilan untuk memberikan nafkah bagi istri dan anak-anak setelah perceraian.
- Hanya mengatur pencatatan perkawinan untuk perkawinan dalam agama yang diakui resmi oleh negara. Akibatnya, posisi istri dan anak menjadi lemah di depan hukum, misalnya istri dan anak tidak berhak atas nafkah dan waris setelah putusnya perkawinan karena ketiadaan akta nikah.
6. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Substansi KUHP yang berlaku saat ini masih terlalu umum. Belum mengatur aspek pidana, hukum acara, pencegahan, perlindungan serta kompensasi korban yang secara spesifik berlaku terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Selain itu, mereduksi masalah kekerasan terhadap perempuan sebatas persoalan kesusilaan, sehingga tidak mencakup semua bentuk kekerasan yang dialami perempuan.
7. RUU Kewarganegaraan dan RUU Keimigrasian
Aturan mengenai kewarganegaraan dan keimigrasian yang ada belum memenuhi hak-hak perempuan dan anak, terutama pada perkawinan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda. Aturan yang ada masih mendiskriminasikan hak-hak perempuan dan anak hasil perkawinan antar bangsa untuk memperoleh kewarganegaraan dan hak untuk berkumpul sebagai keluarga, misalnya hanya pihak bapak yang melakukan penentuan kewarganegaran anak, istri/ibu WNA harus disponsori oleh suaminya agar memperoleh izin tinggal yang harus diperpanjang setiap tahun dan bila disponsori oleh suaminya ia tidak boleh bekerja, dll.
Tulisan ini diharapkan dapat mengingatkan kembali perlunya perhatian terhadap kepentingan perempuan dan anak di parlemen terutama bagi para anggota legislatif dan eksekutif yang terlibat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan (HSN/ES/BS)
No comments:
Post a Comment