Baru-baru ini saya mulai "turun gunung" mengikuti mailing list lagi. Satu hal yang sebenarnya sudah lama saya tinggalkan. Masih pasif, membaca-baca. Salah satu yang saya ikuti kebetulan milisnya para feminis. Perdebatan yang sedang hangat waktu saya pertama kali saya jadi member sekitar bulan Januari 2008 lalu adalah soal Ranperda Kota Depok yang melarang ciuman di depan publik selama 5 menit. Ini salah satu Ranperda yang "lucu". Bukan kali pertama ada Ranperda yang "lucu", tapi tetap saja kita masih "tertawa" (dengan miris) dan berespon terhadapnya.
Kalau dilihat dari kacamata Metodologi Pemecahan Masalah (MPM) dalam perancangan undang-undangan, hal ini bisa langsung dipatahkan di langkah pertama, penentuan masalah sosial. Tidak jelas masalah sosial apa yang hendak diselesaikan. Cara berpikirnya simple saja. Sesuatu itu dilarang, apalagi tindakan tertentu yang sangat-sangat spesifik, ciuman di depan publik selama lima menit, umumnya karena banyak orang yang melakukan itu dan berdampak pada masyarakat, tidak saja melanggar norma sosial masyarakat namun dampak langsung lainnya. Lantas, coba lihat sekitar. Ada gak sih di sekitar kita, orang-orang yang berciuman di depan publik lebih dari 5 menit? Saya rasa tidak ada. Masyarakat kita masih sopan. Belum se-bebas Singapura misalnya, untuk urusan ciuman di depan publik. Kalaupun tindakan ini dilakukan, saya rasa masyarakat kita masih "tau diri" dengan tidak melakukannya di ruang publik yang tidak benar-benar "publik" atau tempat publik yang tertutup, misalnya di kafe-kafe atau pub-pub remang-remang. Itupun perlu penelitian juga, apakah benar ada yang berciuman lebih dari 5 menit?
Sampai sini perdebatan usai. Namun, bukan ini yang mau saya bahas. Saya tergelitik melihat berbagai jenis respon dari masyarakat, terutama mereka yang secara konsisten menentang kelompok para pengusung moralitas berbalut nilai keagamaan tertentu karena peraturan jenis ini umumnya berdampak langsung terhadap perempuan.
Pertama, peraturan ini justru memicu "pikiran-pikiran dosa". Ia menjadi stimulus yang kuat bagi mereka yang tadinya memiliki pikiran yang tidak ber"dosa" menjadi liar ingin melakukan "dosa-dosa" yang dicoba dicegah oleh Ranperda tadi.
"Kenapa dilarangnya 5 menit?"
"French kiss kali ya"
"Tapi apa iya, sesingkat-singkatnya french kiss, lima menit tetap waktu yang membuat bibir jadi pegel"
"Atau jangan-jangan sudah dibuat percobaan sendiri, kalau batas 5 menit itu adalah batas waktu yang cukup bikin pegal bibir atau batas waktu yang dianggap cukup untuk menimbulkan kerugian di muka publik?"
Sebagian lain meresponnya secara ekstrem:
"Mungkin orang-orang yang melarang itu tidak tau betapa nikmatnya ciuman"
Yang paling ekstrem, ada yang melontarkan gagasan untuk melawan Ranperda ini dengan melakukan aksi berciuman di depan publik. Biar dramatis, dilakukan oleh puluhan pasangan suami-istri dan dilakukan di tempat publik yang benar-benar ramai. Bandara jadi pilihan.
Lalu saya jadi teringat dengan filosofi sederhana seorang ibu yang justru tidak mau melarang-larang anaknya. Sedari kecil anaknya sudah dibekali pengetahuan soal seks. Bahkan meranjak SMP pun, "ijin pacaran" sudah keluar. Alasannya sederhana saja, anak kalau dilarang malah makin nakal. Lebih baik diberitahu, diberi batas-batas dan "wanti-wanti". Dibuka diskusinya sehingga bisa terawasi daripada dilarang dan malah jadi liar. Menggunakan asumsi efek terbalik. Kebanyakan orang tua tidak berani menanggung resiko ini, tapi ibu itu berani keluar dari mainstream ibu pada umumnya.
Ternyata pola yang sama berlaku juga di perancangan peraturan. Peraturan yang mencoba mengatur moralitas dengan pendekatan yang sangat represif, tidak dewasa dan tidak bijaksana layaknya seorang orang tua yang seharusnya, terbukti justru malah jadi pemicu orang-orang untuk berbuat "dosa", yang ironisnya adalah melawan dari tujuan peraturan itu sendiri.
No comments:
Post a Comment