Suatu hari, saya ikutan rombongan "karpet merah" ke daerah. Dibilang karpet merah karena memang kami selalu mendapat sambutan yang spesial sejak turun dari pesawat. Selalu ada rombongan yang menyambut dan menggiring kami ke ruang khusus untuk beristirahat dengan disuguhi makanan kecil dan teh manis hangat, meminta kupon bagasi dan mengambil, mengantar dan membawakannya hingga ke kamar hotel, serta memberikan jamuan makan istimewa setiap hari. Tentu saja, saya bukan siapa-siapa di rombongan itu, sekedar pengikut yang kena "cipratan" :) Makin tinggi "selebriti" yang berada dalam rombongan, makin ok servisnya.
Ada satu kejadian yang menarik. Dalam salah satu perjalanan, tokoh "selebriti" yang ada dalam rombongan kami rupanya terbiasa berpuasa. "Badan saya lebih sehat bila berpuasa, jadi hampir tiap hari saya puasa." Wah, nabi Daud aja kalah, pikir saya. Lucunya, kebiasaan ini membuat panitia penyambutan kikuk dan salah tingkah. Seharusnya rombongan berhenti di restoran mewah sebelum check-in di hotel. Karena si bapak sedang berpuasa, rencana cadangan secara kilat dibuat. Pasukan segera saja tidak jadi membawa si bapak ke restoran, namun langsung ke hotel.
Sementara kami, yang level kemampuan puasanya ini bahkan tidak mampu menyamai nabi Daud, mendapat kelimpahan rejeki makanan berlimpah! :) Selemah-lemahnya iman, bila tidak mampu berpuasa di luar bulan ramadhan, maka yang dapat dilakukan adalah tidak meninggalkan makanan berlimpah ruah sia-sia begitu saja. Mubazir adalah temannya setan. Sehingga pilihannya adalah makan atau jadi pengikut setan. Tentu saja kami memilih yang pertama :)
Tidak berhenti sampai situ, puasanya bapak jadi mengacaukan semua rencana yang terkait dengan makanan hari itu. Yang lebih lucu, si bapak yang berpuasa santai-santai saja. "Ah, saya sih sudah biasa. Silakan saja, kalian makan. Jangan sungkan-sungkan". Lalu dengan santainya, dia mengambil koran dan membaca.
Pengalaman di atas bercerita tentang menghargai mereka yang minoritas (oleh mereka yang mayoritas). Suatu nilai demokrasi yang perlu kita tegakkan. Idenya berangkat dari gagasan untuk menghindari adanya sikap otoriter dan bahkan penindasan dari mayoritas terhadap minoritas. Suatu nilai, yang saya yakin selaras dengan nilai keislaman.
Menghormati Kelompok Minoritas
Hal yang sama pernah saya alami sewaktu di Belanda. Kala itu kami mencicipi nongkrong di sebuah kafe di dekat kampus. Waktu itu kami cuma berempat, Eka, Kay, Meezan dan saya. Kebetulan Meezan sedang tidak puasa. Ketika hendak memesan makanan, Eka dan Kay kaget karena saya sedang puasa. Mereka lantas tidak enak memesan makanan. Saya sibuk meyakinkan mereka, "Tidak apa-apa. Pesan saja. Gak akan ngiler hehe.." Sepanjang sore itu kami ngobrol-ngobrol dengan ditemani makanan, kue-kue manis, teh hangat, yang tentu saja tidak bisa saya nikmati. Buat saya, puasa tidak bisa dijadikan alasan untuk mengubah kondisi di sekitar saya agar saya lebih "enak" berpuasa. Ini bertentangan dengan law of attraction, dimana semesta kali ini tidak perlu mengikuti mau-nya saya :) Nyontek dari ERK, berpuasa itu biasa saja :-)
Sebagai mayoritas, kita tetap perlu memperhatikan kepentingan minoritas, yaitu mereka yang tidak berpuasa. Yang tetap butuh makan siang, minum, nongkrong-nongkrong menikmati kue-kue manis atau cemilan. Sehingga restoran tetap bisa buka (kecuali dengan pertimbangan ekonomis, lebih rame bila dibuka sore). Yang makan masih bisa makan. Yang mau minum masih bisa minum. Tidak perlu sembunyi-sembunyi, dan silakan saja bila hal itu dilakukan di depan yang berpuasa.
Di beberapa tempat, yang terjadi adalah sebaliknya. Tujuannya mungkin untuk membantu mereka yang berpuasa. Namun tanpa sadar, jadi bentuk pemaksaan terhadap minoritas untuk ikutan berpuasa. Restoran ditutup atau ditutupi kacanya. Gak boleh makan atau minum di depan mereka yang berpuasa. Dan bila tidak berpuasa, bukan cap temennya setan lagi yang ditempelkan dikeningnya, tapi naik derajat jadi "pengikut setan". Laki-laki tentu kelompok yang paling serba salah dan paling gampang untuk memperoleh cap ini karena relatif tidak ada alasan untuk tidak berpuasa. Kalau perempuan, masih bisa "ngeles" dengan berkata, "Saya lagi tidak berpuasa." atau "Saya lagi M". Malas, maksudnya.
Awas, Jangan Kepeleset!
Buat saya, usil dengan ketaqwaan itu perbuatan yang tidak berguna. Wong ketaqwaan diri sendiri aja masih perlu diusilin, hehe.. Jalan menuju taqwa bukan tangga yang kita tau dimana posisi kita berada sehingga kita bisa nengok ke belakang dan bilang ke orang di belakang kita "Payah lo, masih di bawah sana" :) Kita gak pernah tau sampai dimana ketaqwaan kita sebenarnya. Yang kita bisa tau adalah bahwa menjadi orang yang lebih baik itu adalah sebuah pilihan yang bisa kita ambil. Manusia adalah makhluk istimewa yang diberikan pilihan. Manusia adalah tempatnya salah. Yang bisa kita lakukan adalah berusaha, berefleksi dan berusaha lagi. So I guess the point is not necessarily doing the right thing, but do the things right.
Sehingga, jangan juga kita menghakimi mereka yang keliatannya sok-sok bertaqwa, lantas berkata, ah mereka itu saking taqwanya malah jadi busuk. Generalisasi dan pen-cap-an adalah penyakit sosial yang perlu diberantas. Ini biasanya dilakukan oleh mereka yang mengadvokasikan "Hormatilah orang yang tidak berpuasa". Saya setuju idenya dalam konteks menghargai hak-hak kelompok minoritas, namun bukan berarti kita jadi menghakimi semua orang yang berpuasa dan beramal shaleh mengikuti jejak dan memiliki mental yang sama dengan para pasukan FPI dan pasukan pembela moral lainnya.
Tidak semua orang Islam di negeri ini adalah FPI atau muslim berpandangan kolot :) Satu hal yang menurut saya, adalah tindakan "kepeleset" yang kadang dilakukan oleh mereka yang mengklaim sebagai muslim moderat atau liberal :)
Agama tidak bergerak dalam ruang yang vakum. Masing-masing punya persepsi bagaimana kewajiban dan ritual agama diaplikasikan. Satu hal yang perlu kita bangun adalah bagaimana tradisi saling-menghormati dan tidak menghakimi bisa dibangun. Bukan cuma sekedar nafsu kepingin makanan padang yang harus kita kendalikan, namun juga nafsu kepingin makan orang :) Dengan cara tindak kekerasaan, kata-kata, maupun pikiran negatif terhadap sesama muslim. Amin.
No comments:
Post a Comment