Wednesday, December 19, 2007

Menanti Parlemen Yang Peka terhadap Kepentingan Perempuan

Ulasan Mingguan Oktober 2004 Minggu Pertama

Oleh: Herni Sri Nurbayanti

Persoalan-persoalan TKI, kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, kesehatan reproduksi, kesejahteraan keluarga, seperti kesehatan dan pendidikan yang menjadi persoalan serius di Indonesia mustahil bisa diselesaikan tanpa ada perubahan paradigma baru dalam kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan perempuan.

(Ani Soetjipto, Divisi Perempuan dan Pemilu CETRO).

Indonesia terisi oleh 57% perempuan. Jumlah yang lebih dari separuh populasi menjadikan perempuan sebagai stakeholders yang perlu diperhatikan kepentingannya, terutama dalam proses pembentukan kebijakan publik. Salah satunya adalah dalam proses legislasi.

Berbicara kepentingan perempuan dalam proses legislasi setidaknya menyangkut dua hal. Pertama, adanya produk legislasi yang memperhatikan kepentingan kaum rentan termasuk di dalamnya perempuan dan anak. Kedua, partisipasi perempuan dalam proses legislasi. Keduanya saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain.

Pada kenyataannya, kepentingan perempuan sering diabaikan dengan dasar argumentasi yang kerap tidak masuk akal. Sebagai contoh, pada pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), persoalan KDRT dianggap sebagai perselisihan biasa dan bukan bentuk tindak kekerasan yang faktanya telah menimpa ribuan perempuan di Indonesia. Salah satu anggota Panitia Khusus (Pansus) yang membahas RUU ini menyatakan, jika ada orang lain yang mencampuri urusan rumah tangganya –bahkan bila ia sedang melakukan kekerasan terhadap istrinya- ia akan membunuh orang yang mencampuri "urusan"nya tersebut.

Sebagian anggota Pansus lainnya kuatir keberadaan undang-undang ini merupakan alat untuk mengajukan laki-laki ke pengadilan dan justru membawa dampak banyaknya perceraian serta bertentangan dengan semangat menyatukan keluarga yang diusung oleh Undang-Undang (UU) Perkawinan.

Meskipun akhirnya undang-undang ini disetujui, namun kekuatiran ini masih terlihat dalam pidato pandangan fraksi-fraksi pada sidang paripurna DPR 14 September 2004 yang lalu. Sikap dan pandangan tersebut tidak saja dilontarkan oleh anggota legislatif laki-laki, namun juga anggota legislatif yang perempuan.

Perspektif Jender dalam Legislasi

Perspektif jender perlu ada dalam semua pembahasan RUU. Anggota legislatif harus memikirkan dampak dari suatu RUU terhadap kelompok perempuan. Misalnya saja, pada pembahasan RUU Praktik Kedokteran. Usulan untuk mengesampingkan prinsip kerahasiaan pasien bila dokter mengetahui adanya kasus KDRT yang menimpa pasiennya ditolak. Tentu saja hal ini berpengaruh terhadap jaminan perlindungan terhadap perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan.

Perempuan juga sering dijadikan penyebab dari suatu masalah sosial, hingga pendekatan yang diambil dalam mengatasinya justru mengkriminalisasi perempuan. Sebagai contoh, RUU Pornografi yang merupakan bentuk kriminalisasi "aksi-aksi" porno dan secara implisit menimpakan kesalahan tersebut kepada kaum perempuan. Kontan saja, RUU Pornografi ini mendapatkan protes keras dari kalangan aktivis perempuan. Hal ini terjadi karena tidak adanya pemahaman mengenai masalah perempuan dari anggota legislatif. Oleh karena itu, persoalan representasi dan partisipasi perempuan menjadi sangat signifikan, demi menghindari problem-problem seperti ini.

Representasi Perempuan di Parlemen

Representasi perempuan di parlemen bisa dikatakan menyedihkan. Data menunjukkan adanya penurunan jumlah representasi perempuan dalam parlemen. Dari 500 anggota parlemen, representasi 11,4% pada Pemilu 1997 menurun menjadi 8,9% pada pemilu 1999. Jumlah ini bahkan lebih kecil di DPRD tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pada pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2004-2009 pada awal Oktober lalu menunjukkan 41 perempuan dari 547 orang anggota DPR atau sekitar 7,49%. Meski begitu, mesti dicatat pula bahwa di masa Orde Baru, banyak perempuan yang duduk di parlemen sebagai hadiah bagi jabatan-jabatan politik suami atau kerabatnya. Misalnya saja istri dan anak perempuan Wiranto yang pada tahun 1997 menjadi anggota MPR. Perempuan yang duduk di parlemen pada masa itu dengan alasan seperti ini, tentunya tidak membawa dampak signifikan pada kebijakan yang berpihak pada perempuan.

Namun bagaimanapun, akses perempuan dalam parlemen harus dibuka lebar. Masalahnya, sedari awal perempuan sudah sangat sulit untuk terjun ke dunia politik. Tentangan yang besar biasanya muncul dari anggapan bahwa dunia politik adalah dunia laki-laki. Belum lagi ketika mereka harus bersaing dengan politisi laki-laki yang sudah diuntungkan dengan sistem dan pola kerja yang tidak "ramah" terhadap perempuan seperti rapat-rapat yang tak kenal waktu, sementara "peran tradisional" perempuan sebagai ibu rumah tangga dituntut untuk tetap dijalankan. Akibatnya, mereka harus berperan ganda dan punya tantangan yang lebih besar untuk maju di dunia politik.

Karena itu, untuk dapat mendorong peran politik perempuan, negara berkewajiban memberikan jaminan terhadap akses perempuan untuk berpartisipasi dalam institusi pengambil kebijakan.

Tuntutan terhadap partisipasi politik perempuan di Indonesia sendiri sebenarnya sudah dimulai jauh sebelum kemerdekaan. Isu ini secara formal telah dibahas pada Kongres Perempuan Indonesia V Tahun 1938 di kota Bandung (R. Valentina: Pikiran Rakyat). Sejak momen tersebut kebutuhan dibukanya akses perempuan dalam ranah politik menjadi agenda yang mendesak untuk diperjuangkan.

Persoalan keterwakilan perempuan ini juga disinggung dalam UU No. 39 Tahun 1999 pada Pasal 46 yang menyebutkan: "Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif dan yudikatif harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan." Namun, sekadar menyadari perlunya keterwakilan politik perempuan dirasa belum cukup jika tidak ada langkah strategis untuk mewujudkannya.

Untuk mempercepat proses tersebut perlu diambil langkah yang bersifat affirmative action, yaitu tindakan khusus sementara yang diambil untuk mempercepat peningkatan persamaan antara laki-laki dan perempuan di parlemen. Tujuannya untuk memberi stimulus yang mempercepat proses perubahan, yang menyamakan posisi perempuan dalam suatu playing field yang tidak seimbang. Ibaratnya, laki-laki telah berlari duluan sementara perempuan baru mengambil posisi start, seperti dibahas di atas.

Affirmative action untuk mengakselerasi representasi perempuan di parlemen diambil dengan menetapkan kuota 30% bagi keterwakilan perempuan yang diatur dalam Pasal 65 ayat (1) UU No. 12/2003 tentang Pemilihan Umum. Ketentuan tersebut berbunyi:

"Setiap Partai Politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%".

Tindakan ini merupakan bentuk diskriminasi positif yang berdasarkan prinsip-prinsip perlindungan HAM serta dijamin dalam UUD dan UU No. 7 Tahun 1984 yang meratifikasi Convention on The Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW).

Tindakan affirmative action dengan adanya kuota bukanlah hal yang baru. Negara-negara lain juga telah menetapkan sejumlah kuota bagi perempuan yang dijamin dalam konstitusinya. Bahkan di negara-negara maju, jumlah kuota tersebut lebih besar di atas 30%. Sebagai contoh di negara-negara Skandinavia, kuota perempuan di Swedia 42%, Denmark 38%, dan Norwegia 36%. Adanya kuota tersebut merupakan suatu keharusan dan tidak bisa diartikan sebagai bentuk belas kasihan atau tuntutan mengemis kaum perempuan. Sebab penelitian menunjukkan, untuk dapat mempengaruhi kebijakan secara substansial, perlu ada representasi minimal 30% dalam proses pengambilan kebijakan. Padahal, seperti diungkap di atas, penting sekali untuk mempunyai legislasi yang berperspektif jender.

Kuota Saja Tidak Akan Menyelesaikan Masalah

Namun permasalahannya tentu tidak semudah itu. Partisipasi politik perempuan tidak bisa diselesaikan hanya dengan adanya sistem kuota. Apalagi, Pasal 65 ayat (1) UU Pemilu tersebut hanya menyebutkan kata "dapat." Sehingga dimasukkannya kuota 30% bagi partai politik bukanlah keharusan.

Perlu ada tindakan pendukung yang mendorong pemenuhan kuota tersebut, yang dimulai sejak proses pencalonan di dalam partai politik itu sendiri. Sebab, pada kenyataannya pelaksanaan kuota masih jauh dari yang diharapkan. Terbukti, berdasarkan pernyataan KPU, tidak ada partai politik peserta Pemilu 2004 yang berhasil memenuhi kuota 30% tersebut pada seluruh daerah pemilihan. Dari sekitar 89 daerah pemilihan, partai-partai politik hanya mampu secara maksimal memenuhi kuota di 40 daerah pemilihan (Pikiran Rakyat: 10 Maret 2004)

Persoalan di atas terjadi karena beberapa hal. Pertama, Pasal 65 ayat (1) UU Pemilu sifatnya masih berupa imbauan, tidak mengikat. Hal ini terlihat dengan tidak adanya sanksi bila kuota tersebut tidak dipenuhi oleh partai politik. Kedua, calon anggota legislatif perempuan masih ditempatkan pada urutan nomor sepatu dalam daftar pencalonan. Dengan sistem pemilu "proporsional dengan daftar terbuka setengah hati" yang lebih mengedepankan nomor urut, calon anggota legislatif perempuan sering hanya dijadikan penarik suara pemilih (vote getter). Ketiga, akses partisipasi kader-kader politik perempuan dalam partai politik perlu dibuka lebar. Termasuk bagaimana menciptakan calon anggota legislatif perempuan yang berkualitas, yang memiliki program-program yang bagus dalam memperjuangkan kepentingan perempuan di parlemen. Keempat, pendidikan politik masih rendah di kalangan perempuan untuk berpartisipasi dalam perjuangan kepentingan kaum perempuan. Perlu adanya sosialisasi di kalangan pemilih perempuan bagaimana memilih partai politik maupun calon anggota legislatif yang memiliki program pemberdayaan perempuan serta memiliki keberpihakan terhadap perempuan.

***

Upaya menciptakan produk legislasi yang memperhatikan kepentingan perempuan, keterwakilan perempuan di parlemen serta lingkungan politik yang ramah perempuan, menyisakan begitu banyak pekerjaan rumah. Adanya komitmen dari semua pihak yang terkait, jaminan negara terhadap hak perempuan dalam politik serta kebijakan partai politik untuk mendorong kader-kader perempuannya dalam mengimplementasikan kuota 30% adalah beberapa di antaranya. Selain itu, perlu pemberdayaan terhadap kaum perempuan itu sendiri, para pemilih perempuan dan terutama 41 orang anggota legislatif perempuan yang saat ini berada di DPR. Dengan demikian diharapkan pada masa yang akan datang dapat muncul adanya produk-produk legislasi yang memperhatikan kepentingan perempuan. Semoga! (HSN/ES/BS)

No comments: