Friday, March 5, 2010

RT Remeh RW Kerdil


Seri Ilmu Hidup Emha Ainun Nadjib
Membaca adalah kegiatan yang mencerahkan dan berguna. Ia bisa dilakukan dimana dan kapan saja. Ketika menunggu antrian, di waktu senggang, di angkot, bahkan di kamar mandi sekalipun. Terlebih membaca karya seorang Emha Ainun Nadjib, budayawan yang kemudian mendedikasikan hidupnya untuk kegiatan seni dalam mencintai Allah lewat Kiai Kanjengnya.

Kritis, gemas, frustasi tapi masih berusaha menyimpan secercah harapan buat negara Indonesia yang makin carut-marut ini, Emha menerbitkan buku kecil yang disebutnya "Seri Ilmu Hidup". "Istriku Seribu" adalah seri pertama yang diterbitkannya Januari 2007 lalu. Buku ini menarik, karena meski dia mengambil tema diskusi "remeh dan kerdil" seperti poligami, namun ia berhasil menariknya menjadi suatu bahasan yang maha penting. Soal kecintaan pada Allah dan Rasulullah, soal bahaya kecintaan yang membabi buta pada dunia, soal pentingnya misi seorang manusia sebagai khalifah di dunia dan bagaimana keduniawian seharusnya ditempatkan oleh manusia, dan terakhir tapi tidak kalah penting, soal "cinta segitiga" antara Allah, Rasulullah, Suami-Istri dalam konteks ar-rahman dan ar-rahim.

Polimonogami Monopoligami
Buku yang cuma 64 halaman itu mengawali kisahnya dari perdebatan tanpa henti soal poligami dan perlahan mengdekonstruksi serta memberinya suatu makna baru yang disebutnya sebagai "Polimonogami Monopoligami". Dikemas dalam gaya dialog antara si penulis dan Yai Sudrun, Emha juga memasukkan konteks kekinian negara Indonesia dengan perilaku makhluknya yang "lucu" bagai drama komedi berjilid-jilid.

Dengan gayanya yang tidak menggurui tapi usil menyentil dengan mengajukan pertanyaan dan mengajak pembacanya untuk melihat sisi lain dari suatu persoalan, buku kecil ini direkomendasikan untuk dibaca semua orang. Membaca buku ini, terutama dalam perjalanan dari rumah ke kantor yang hampir selalu dalam suasana kemacetan, bagaikan menemukan oase yang mampu merevitalisasi fisik dan jiwa yang dilemahkan oleh rutinitas keseharian.

Selain itu, membaca tulisan Emha, saya teringat dengan pesan-pesan yang selalu disampaikan oleh KD, terutama untuk tidak terjebak dalam cinta keduniawian yang menyesatkan dan menjadi jiwa yang penakut menghadapi ketidakadilan. Emha sesuai porsinya mengkritik dan melawan sekaligus memberikan pencerahan terhadap situasi Indonesia saat ini.

Layaknya makanan, ilmu pengetahuan adalah barang dan konsumsi publik yang baru bermakna bila ia dibagi. Oleh karena itu, beberapa kepingan dari buku itu akan disajikan dalam notes HI Duren Tiga Pancoran. Untuk "dimakan", dihabiskan dan jadi bahan renungan bersama.

Kepingan pertama adalah "RT Remeh dan RW Kerdil" yang menurut saya sangat pas merefleksikan kondisi Indonesia saat ini, terlebih selepas melihat drama "pertandingan" Pansus Century kemarin. Selamat Menikmati! (hsn)


RT Remeh RW Kerdil

Aku warga dari suatu negara yang sangat penuh berisi segala sesuatu yang remeh-remeh, dengan para penghuni yang sangat mengagumi kekerdilan.
Aku rakyat dari suatu pemerintahan kerdil yang menjalankan periode-periode remeh.
Aku bagian dari perjalanan sejarah suatu masyarakat kerdil yang sangat sibuk menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang remeh.
Aku dilingkupi oleh kebudayaan kerdil dengan perilaku-perilaku yang remeh.
Oleh ilmu-ilmu remeh yang disangka kehebatan oleh para pemuja kekerdilan.
Oleh pembangunan remeh yang menghasilkan bangunan-bangunan kekerdilan.
Oleh pertimbangan-pertimbangan peradaban yang remeh untuk berpanjang lebar memperjuangkan monumen-monumen kekerdilan.
Oleh ideologi-ideologi besar yang semakin diterapkan semakin memperjelas keremhan dan kekerdilan pelakunya.
Oleh karya-karya remeh yang penciptanya merasa besar sehingga kerdil.
Oleh tayangan-tayangan remeh yang pembuatnya sangat membanggakannya dan memerlukan puluhan tahun serta penderitaan di akhir kehidupan untuk memahami yang mereka lakukan adalah kekerdilan.
Oleh remehnya kekerdilan kepemimpinan.
Oleh kerdilnya organisasi dan institusi remeh.
Oleh produksi kerdil dan konsumsi remeh.
Oleh sekolahan kerdil dan gelar-gelar remeh.
Oleh diskusi kerdil dan ceramah remeh.
Oleh cita-cita hidup yang remeh yang disangka kehebatan sehingga satu persatu kaki kekerdilannya tersandung batu zaman.
Bahkan oleh perilaku ibadah dengan penghayatan kerdil dan perjuangan yang pijakannya adalah keremehan sehingga goalnya hanya dua: kekerdilan atau keremehan.
Oleh suatu bangsa yang sangat bergembira dan menikmati segala yang remeh-remeh. Dan yang paling remeh dari segala yang remeh itu adalah bahwa kami semua sama sekali tidak mengerti bahwa itu semua adalah remeh.
Lebih remeh lagi karena kami marah kalau ada yang menyebut kehidupan kami sangat bergelimang keremehan-keremehan..
Sehingga kamupun lahir sebagai manusia yang sangat remeh.