Showing posts with label perempuan. Show all posts
Showing posts with label perempuan. Show all posts

Sunday, January 24, 2010

Akses Keadilan untuk Perempuan (2)

Persoalan Besar Akses Keadilan Berperspektif Perempuan

Akses keadilan berperspektif perempuan penting mengingat di beberapa bidang, perempuan adalah pencari keadilan dan pengguna terbesar institusi peradilan. Komnas Perempuan (2008) mencatat peningkatan pelaporan kekerasan terhadap perempuan hingga 80 persen setiap tahunnya pada periode 2001- 2007 dan menunjukkan lebih dari 25 ribu kasus pada tahun 2007. Dari jumlah kasus tersebut, sebagian besar (82 persen) merupakan kasus KDRT dan sekitar 45 persen korban adalah ibu rumah tangga. Sebagai catatan, ada kemungkinan data ini lebih besar dari realitasnya mengingat sebagian masyarakat masih menganggap tabu untuk melaporkan kasus KDRT. Selain itu, data Susenas (2006) menunjukkan bahwa prevalensi kekerasan terhadap perempuan sebesar 3,1 persen dan terhadap anak sebesar 7,6 persen. Atau, sekitar 3-4 juta perempuan dan sekitar 4 juta anak mengalami kekerasan setiap tahunnya .

Mengacu pada kerangka akses keadilan berbasis HAM di atas, maka akses keadilan berperspektif perempuan harus ditopang dengan adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin dan memastikan akses diakui oleh hukum. Beberapa peraturan perundang-undangan sudah dibuat untuk menguatkan posisi tawar perempuan di hadapan hukum. Misalnya, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) sebagai landasan hukum yang kuat bagi pemerintah untuk mencegah dan memberantas kejahatan perdagangan perempuan dan anak, revisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri berikut peraturan pelaksananya.

Selain itu, pelbagai upaya lain juga sudah dilakukan. Misalnya, pembuatan perangkat yang dibutuhkan seperti ruang khusus pemeriksaan untuk perempuan, pelatihan-pelatihan gender bagi aparat penegak hukum, dan lain sebagainya. Akan tetapi, perempuan masih mengalami hambatan dan kesulitan akses keadilan.

Keadilan tidak bergerak dalam ruang yang vakum sehingga dimaknai secara berbeda-beda oleh lapisan masyarakat maupun aparat penegak hukum. Bagaimana keadilan itu diartikan dan diterapkan oleh aparat penegak hukum sangat dipengaruhi oleh struktur, sistem dan budaya yang tumbuh dalam masyarakat, yang belum memperhatikan kepentingan dan pengalaman perempuan. Akibatnya, terjadi jurang pemisah antara keadilan yang dipahami oleh penegak hukum dan perempuan pencari keadilan. Sehingga, pemenuhan hak-hak perempuan masih dibentengi oleh persepsi mengenai hak-hak, keadilan dan akses terhadap keadilan yang masih bias gender baik dalam mekanisme formal maupun informal. Ada beberapa persoalan besar kesulitan perempuan mengakses keadilan.

Pertama, keadilan dibuat untuk tidak mendengar dan berjarak dengan realitas perempuan. Pengalaman perempuan seringkali tidak diperhatikan dan bahkan dinegasikan. Buku “Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan demi Keadilan” (Komnas Perempuan: Jakarta, 2009) mengungkapkan salah satu perempuan korban penyiksaan di Aceh pada masa konflik bersenjata 2001 yang bercerita tentang keadilan, yaitu: ”Adil adalah adanya kesempatan untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi (pada saya) dan itu diterima sebagai sebuah fakta dan kebenaran”.

Perempuan-perempuan korban konflik mengalami kesulitan dalam membawa kasus kekerasan yang dialaminya pada masa konflik ke hadapan hukum. Misalnya, kekerasan terhadap perempuan pada masa konflik dianggap sebagai sesuatu yang “wajar” untuk situasi konflik. Sebagai contoh, pengalaman salah satu korban penyiksaan di bawah ini:

“Mereka tidak tahu kecuali bahwa saya hanya dipukul. Saya tidak cerita kepada suami. Saya sangat takut dan merasa sangat malu. Saya tidak berani ambil resiko dan tidak berani membayangkan kalau suami saya tahu. Kemungkinan besar, dia tidak bisa menerima bahwa saya telah ditiduri oleh orang lain, walaupun itu diperkosa…. Malu, kalau terjadi perceraian dan masyarakat nanti akan cari tahu (apa alasanya).” (Perempuan Aceh korban penyiksaan seksual pada masa konflik bersenjata, 2003)

Kedua, masih adanya hambatan sosial dan budaya. Dalam kasus perempuan korban kekerasan pada masa konflik di atas, mereka kesulitan untuk memberikan bukti-bukti tindak kekerasan yang dialaminya serta perspektif kebudayaan umum terhadap tubuh perempuan yang seakan sah dieksploitasi dalam bentuk apapun di ruang privat atau publik. Seandainya pun kasus tersebut di bawa ke muka publik, mereka juga mengalami hambatan psikologis dan sosial untuk menghadapi segala konsekuensi dari masyarakat sekitarnya akibat terbongkarnya kasus mereka di hadapan umum. Hal yang sama juga terjadi pada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dalam situasi normal. Persoalan kemiskinan, domestikasi dan subordinasi status sosial perempuan membuat perempuan semakin termarjinalkan dalam akses keadilan.

Ketiadaan perspektif perempuan dan pengabaian pengalaman perempuan dalam struktur pengambilan keputusan, terutama di daerah, mengakibatkan lahirnya produk hukum dan kebijakan yang tidak memerhatikan kepentingan perempuan. Hal yang sama juga terjadi dalam berbagai mekanisme pencarian keadilan informal di mana kultur patriarki yang kuat menghalangi akses perempuan untuk memperoleh keadilan. Perempuan dihadapkan pada aturan-aturan adat dan agama yang masih biasa jender dan melemahkan posisi perempuan. Posisi perempuan yang masih disubordinasikan sebagai makhluk yang lemah secara intelektual, di bawah laki-laki, tidak perlu diikutsertakan dalam pengambilan kebijakan, tidak memiliki pilihan sendiri, tidak dihargai kontribusinya baik dalam ruang privat dan publik, membuatnya menjadi pihak yang terpaksa pasrah ketika berhadapan dengan dominasi patriarki dalam struktur dan budaya di masyarakat.

Sebagai gambaran, sejak tahun 2005 menunjukkan bahwa sekitar 50% dari total kasus yang dilaporkan dicabut kembali oleh korban sehingga proses hukum tidak dapat diteruskan (Komnas Perempuan, 2008). Pencabutan laporan ini diakibatkan perempuan korban masih merasa malu, bersalah atas kekerasan yang menimpa dirinya dan khawatir dipersalahkan oleh keluarga dan masyarakat di sekelilingnya.

Ketiga, tidak semua perempuan memiliki akses keadilan yang sama. Meski data Pengadilan Agama 2007-2009 menunjukkan bahwa dari 97% kasus yang masuk adalah perceraian dimana jumlah perempuan yang mengajukan perceraian adalah dua kali dari laki-laki,[1] namun perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan memiliki kesulitan mengakses keadilan. Sembilan dari sepuluh perempuan kepala rumah tangga tidak dapat mengakses pengadilan untuk mengajukan kasus perceraian mereka.

Sebagai tambahan, hasil temuan LBH-APIK mengungkapkan bahwa kasus-kasus perempuan yang ditangani oleh organisasi perempuan masih terfokus pada kasus-kasus yang terjadi di perkotaan (World Bank, 2008: 6). Kasus-kasus perempuan di pedesaan, masih belum menjadi bagian dari agenda penanganan organisasi perempuan. Akibatnya, perempuan, terutama yang berasal dari kelompok masyarakat miskin dan tidak terdidik mengalami lebih banyak hambatan untuk memperoleh dan mempertahankan hak-haknya di di hadapan hukum, terutama dalam proses peradilan.

Keempat, perangkat yang diciptakan khusus untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan tidak berjalan efektif karena terbentur dengan lemahnya kapasitas dan keinginan dari aparat penegak hukum. Dalam contoh kasus yang mengenaskan, perempuan korban kekerasan masih belum terlindungi hak-haknya dan justru mengalami aksi pembalasan dari pelaku. Sebagai contoh, di tengah persidangan kasus pembagian harta gono-gini di Pengadilan Agama Sidoarjo, Eka Suhartini ditikam mati oleh mantan suaminya, Kol. TNI AL Irfan Djumrono. Pelaku juga membunuh hakim yang sedang memimpin sidang, Achmad Taufik. Peristiwa ini mencerminkan perempuan korban kekerasan belum dapat mengakses perlindungan saksi dan korban.

Quo Vadis Masa Depan Akses Keadilan bagi Perempuan?

Mewujudkan akses keadilan berperspektif perempuan tidaklah mudah. Sebagai langkah awal adalah mendekatkan perempuan dengan proses di tataran legislasi dan peradilan. Pertama, produk hukum yang dihasilkan harus dipastikan mengandung nilai-nilai keadilan jender yang substansial. Peraturan perundang-undangan adalah produk hukum yang dilahirkan sebagai residu dari pertarungan kepentingan-kepentingan dalam proses politik yang pada akhirnya mereduksi nilai keadilan itu sendiri. Meskipun hakim diberi ruang untuk menginterpretasikan hukum, hakim tetap terikat pada peraturan perundang-undangan dalam mengambil putusan. Oleh karena itu, adalah penting untuk melibatkan perempuan dalam proses legislasi.

Persoalan selanjutnya adalah membuka akses bagi perempuan untuk menggunakan institusi pengadilan, utamanya bagi perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan. Masalah terbesar adalah biaya proses peradilan yang tidak terjangkau. Sebagai gambaran, pada tahun 2008 biaya perkara perceraian rata-rata di pengadilan agama adalah sebesar Rp. 789.666,- dan di pengadilan negeri adalah Rp. 2.050.000,- (tidak menggunakan bantuan advokat) dan Rp. 10.350.000,- (menggunakan bantuan advokat). Jumlah ini sangat jauh bila dibandingkan dengan penghasilan rata-rata 14% masyarakat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan, yaitu Rp. 200.262,-. Oleh karena itu, bantuan hukum terhadap perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan perlu ditingkatkan, yang meliputi tidak saja biaya perkara namun juga biaya transportasi ke pengadilan.

Terakhir namun tidak kalah pentingnya adalah, tekanan publik untuk mendorong perubahan di tataran non-hukum seperti cara pandang dan perilaku para pengambil kebijakan dan aparat penegak hukum. Para pihak yang terkait mulai dari aparat penegak hukum, pemangku adat hingga masyarakat umum yang menjadi bagian dari permasalahan perlu dilibatkan. Kesadaran bahwa persoalan akses perempuan memperoleh keadilan tidak lagi eksklusif menjadi milik perempuan saja, namun persoalan bersama bagaimana menciptakan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan jender. Suatu tata nilai yang perlu diyakini memberikan manfaat bagi semua orang, demi tatanan masyarakat yang lebih baik.



[1] Laporan Pengadilan Agama 2007-2009, masih berupa draft dan belum dipublikasikan, halaman. 5.

Akses Keadilan untuk Perempuan (1)

Keadilan adalah soal hati nurani. Ketika kita kehilangan hati nurani, maka tidak ada keadilan.

Petikan kalimat di atas yang diambil dalam sebuah film seri tentang kriminalitas, Crime Scene Investigation, menyampaikan hal yang utama bagaimana keadilan harus dipersepsikan. Keadilan merupakan nilai yang seringkali dipakai sebagai pedoman dalam suatu proses maupun produk hukum, yaitu putusan pengadilan dan peraturan perundang-undangan Pada dasarnya, masyarakat memiliki harapan bahwa hukum yang dihasilkan dan diterapkan merefleksikan nilai-nilai keadilan. Para pihak yang menempuh proses penyelesaian sengketa, formal maupun informal, memiliki tujuan untuk memperoleh keadilan. Publik secara umum juga mengharapkan produk hukum yang dihasilkan merefleksikan nilai-nilai keadilan yang dianut masyarakat. Pertanyaannya adalah bagaimana keadilan itu dipersepsikan dan keadilan untuk siapa?

Beberapa tahun belakangan ini, pengarusutamaan gender menjadi bagian penting kebijakan di segala bidang, terutama pada penegakan prinsip-prinsip demokrasi dan pembaruan penegakan hukum. Perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan sebagai kelompok rentan mewarnai pelbagai dokumen kebijakan para pengambil keputusan. Adalah tindakan yang salah secara politik bagi seorang pengambil kebijakan untuk tidak mendukung pengarusutamaan gender dan tidak memiliki keberpihakan terhadap perlindungan hak-hak perempuan. Akses keadilan bagi perempuan merupakan salah satu bagian penting dari pengarusutamaan gender tersebut.

Namun demikian, masih ada jurang yang besar antara semangat dan implementasi untuk melindungi kepentingan dan hak-hak serta keberpihakan terhadap perempuan. Gagasan ini masih diterima sebagai jargon dan sesuatu yang sekedar secara politik harus diamini dan didukung. Masih ada ketidakpahaman dan bahkan resistensi terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh perempuan yang mengakar pada budaya, tradisi, struktur, relasi sosial dan sikap serta nilai-nilai yang dimiliki oleh aparat penegak hukum.

Ketika perempuan berhadapan dengan hukum, maka dia tidak saja berurusan dengan peraturan perundang-undangan yang mungkin masih diskriminatif, namun juga sistem dan aparat penegak hukum yang seringkali masih dipengaruhi oleh budaya dan cara pandang patriarkal yang kental. Persepsi para pengambil kebijakan dan aparat penegak hukum terhadap keadilan dan akses keadilan itu sendiri acapkali belum memperhatikan pengalaman dan kepentingan perempuan. Akibatnya, hak-hak perempuan semakin tidak terjamin dan posisinya semakin terpinggirkan.

Tulisan ini mencoba menelusuri perkembangan konsep akses keadilan. Yaitu dari yang tidak memperhatikan persoalan struktural dalam masyarakat menjadi akses keadilan berbasis hak asasi manusia (HAM). Pendekatan ini berusaha meningkatkan akses keadilan kelompok marjinal, terutama perempuan dan anak, serta memperhatikan pengalaman mereka dalam proses hukum. Namun demikian, untuk mewujudkan akses keadilan bagi perempuan tidak saja membutuhkan perbaikan di bidang proses beracara di peradilan saja, namun juga meliputi banyak aspek mulai dari peraturan perundang-undangan, kesiapan institusi negara dan perubahan radikal terhadap nilai-nilai aparat penegak hukum dan masyarakat. Sehingga, akses terhadap keadilan bagi perempuan perlu dilihat dari spektrum yang lebih luas.

Evolusi Gagasan Akses Keadilan: Dari Pendekatan Ekonomi ke HAM

Manusia perlu melindungi hak-haknya dari setiap kemungkinan pelanggaran hak atau kekerasan yang dilakukan oleh manusia lain, terutama ketika terjadi sengketa atau konflik. Ketika itu terjadi, maka perlu ada tindakan koreksi berupa restitusi ataupun kompensasi atas pelanggaran hak atau kekerasan yang dilakukan terhadap korban. Proses ini dapat dilakukan secara formal oleh institusi penegak hukum yang dibentuk oleh negara maupun institusi penyelesaian sengketa atau konflik informal yang hidup dan mengakar dalam budaya masyarakat.

Namun demikian pada kenyatannya, tidak semua kelompok masyarakat dapat mengakses proses itu dan memperoleh keadilan. Ada kesenjangan relasi kekuasaan dalam masyarakat dan ketimpangan struktural lainnya yang membuat mereka tidak memiliki daya dan kapasitas, tidak merasa perlu untuk menempuh jalur penyelesaian hukum atau sebaliknya dirugikan hak-haknya oleh sistem hukum. Akibatnya, posisi dan kondisi mereka terancam semakin lemah dan terpuruk. Disinilah persoalan akses keadilan bagi kelompok masyarakat marjinal, terutama perempuan, menjadi penting.

Terminologinya akses terhadap keadilan sesungguhnya tidak mudah dijelaskan. Namun, akses keadilan sebagai suatu gagasan bukan suatu hal baru. Gagasan ini dapat ditelusuri setidaknya sejak masa liberalisme klasik. Wacana mengenai akses terhadap keadilan itu sendiri berangkat dari keresahan mendasar setiap orang terhadap sistem hukum. Untuk apakah sistem hukum itu dibuat dan siapakah yang sesungguhnya memperoleh keuntungan dari itu?

Mauro Cappeletti dan Bryant Garth (1978) mencoba menelusuri perkembangan gagasan ini. Liberalisme klasik memandang akses terhadap keadilan sebagai sebuah hak dasar (natural right) sebagai hak individu untuk menuntut dan memperoleh hak-haknya. Namun demikian, karena sifatnya yang natural right maka tidak dibutuhkan tindakan afirmatif dari negara untuk melindungi hak-hak tersebut dan memedulikan kelompok masyarakat yang tidak memiliki kapasitas untuk mengakses institusi hukum. Akibatnya, akses terhadap keadilan hanya diperuntukkan bagi mereka yang mampu memanfaatkan institusi ekonomi, politik dan hukum.

Konsep ini pun mengalami evolusi, sejalan dengan perkembangan masyarakat pasar bebas yang memunculkan wacana hak asasi manusia dan konsep kolektivitas yang menyeimbangkan karakter individualitas yang menjadi ciri khasnya. Gerakan yang mewacanakan hak-hak sosial dan kewajiban negara, masyarakat, dan individu pun meluas. Hal ini terefleksikan dalam dokumen-dokumen penting seperti Bills of Rights dan Konstitusi Perancis 1946 yang menjadi tonggak perubahan tersebut.

Perdebatannya tidak lagi terfokus pada pemenuhan hak-hak saja, namun juga bagaimana hak-hak tersebut dapat dimiliki dan diakses oleh semua orang. Sehingga dalam sistem demokrasi modern yang mulai berkembang luas, pemenuhan hak akses terhadap keadilan membutuhkan peran negara untuk menciptakan kondisi dimana hal itu dapat diakses oleh semua orang. Oleh karena itu, gagasan mengenai akses keadilan pun bergeser. Akses keadilan dengan pendekatan berbasis ekonomi bergeser menjadi akses keadilan berbasis hak asasi manusia (HAM).

Peran negara diperlukan karena negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak asasi manusia penduduknya. Hak asasi manusia adalah dasar yang sah untuk menuntut kewajiban negara memenuhi hak-hak yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat sebagai manusia. Tujuannya untuk memberdayakan kelompok miskin, marjnal lainnya dan menguatkan tata pemerintahan yang demokratis. Hal ini yang melatarbelakangi munculnya program-program akses keadilan berbasis hak asasi manusia. Membuka akses terhadap keadilan sebagai hak asasi manusia diyakini mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan (UNDP, 2005: 3-6).

Pendekatan akses keadilan berbasis HAM menuntut negara untuk membangun fondasinya melalui kebijakan dan menciptakan kondisi yang kondusif. Hal ini membuat persoalan akses keadilan dilihat dalam spektrum yang lebih luas, yaitu tidak sekedar persoalan prosedur dan mekanisme penyelesaian perkara.

Pemerintah melalui Bappenas mengeluarkan strategi nasional akses keadilan pada tahun 2009. Dokumen kebijakan ini meletakkan fondasi dan arah akses keadilan di Indonesia. Akses keadilan meliputi pelayanan publik, penanggulangan kemiskinan, otonomi daerah, Selain itu, strategi pengembangan akses keadilan difokuskan pada bidang pertanahan dan sumber daya alam, perempuan dan anak, Pemerintahan Daerah, pelayanan bantuan hukum, reformasi hukum dan peradilan, ketenagakerjaan, dan strategi lintas bidang (kemiskinan, kelompok tertindas dan terpinggirkan).

Instrumen yang digunakan untuk mengidentifikasi sejauh mana masyarakat telah memperoleh akses terhadap keadilan dari berbagai strategi di atas, yaitu:

a. kerangka normatif;

b. kesadaran hukum;

c. akses kepada forum penyelesaian konflik yang terjangkau masyarakat;

d. penanganan keluhan masyarakat yang efektif;

e. mekanisme pemulihan hak-hak yang dilanggar;

f. terselesaikannya permasalahan kemiskinan, kelompok tertindas dan terpinggirkan.

Dengan kerangka di atas, maka program-program penguatan akses keadilan difokuskan pada (UNDP, 2005: 3-6):

a. Perlindungan hukum, yaitu pembentukan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum bagi perlindungan akses keadilan sebagai sebuah hak.

b. Peningkatan kesadaran hukum, yaitu meningkatkan kesadaran kelompok marjinal, aparat penegak hukum dan pengambil kebijakan mengenai pentingnya akses keadilan.

c. Bantuan dan konsultasi hukum, yaitu memberikan jasa-jasa bantuan dan konsultan hukum bagi kelompok marjinal ketika berhadapan dengan aparat penegak hukum dan mengajukan kasusnya ke pengadilan.

d. Ajudikasi, yaitu menguatkan mekanisme penyelesaian sengketa informal (non-negara) agar turut melindungi hak-hak kelompok marjinal.

e. Penguatan mekanisme penegakan hukum, yaitu menguatkan mekanisme penegakan hukum mulai dari penyelidikan hingga di pengadilan yang memperhatikan kepentingan kelompok marjinal.

f. Pemantauan parlemen oleh kelompok masyarakat sipil, yaitu tekanan publik berupa monitoring dan evaluasi masyarakat sipil terhadap kebijakan terkait akses keadilan yang dikeluarkan oleh parlemen.

Namun demikian, saat ini studi-studi mengenai akses keadilan umumnya baru mengenai tingkat akses keadilan bagi kelompok masyarakat miskin seperti yang dilakukan oleh lembaga-lembaga donor yang besar seperti World Bank (2004, 2006 & 2008), UNDP (2007) dan Asia Foundation (2001). Studi mengenai bagaimana perempuan terutama yang berasal dari kelompok masyarakat miskin tersebut memperoleh akses kepada keadilan masih minim.

Thursday, April 9, 2009

Dari Golput-ers untuk Caleg Perempuan


Ada yang berbeda dengan Pemilu 2009. Pertama, saya akhirnya memutuskan untuk memilih! Kedua, saya tidak lagi memilih partai, tapi individu. Ketiga, dan ini yang mungkin paling penting, semua ini adalah gara-gara: perempuan! :-)

Terakhir saya memilih adalah tahun 1999. Pemilu 2004 yang lalu, saya golput. Tadinya, pemilu kali ini pun saya berencana untuk golput, berdasarkan alasan-alasan yang sebelumnya sudah saya ungkapkan di blog ini. Tapi rupanya, ada yg membangunkan salah satu kawanan singa tidur bernama golput ini: caleg perempuan. Hal ini didorong juga dengan file daftar caleg perempuan yang perlu didukung dari mbak Dewi Tjakrawinata APAB (Aliansi Pelangi Antar Bangsa). Daftar caleg perempuan yang selama ini memang terbukti komitmennya untuk memperjuangkan keadilan jender.

Saya memilih mereka, meskipun saya tidak suka dengan partai yang direpresentasikannya. Pilihan saya jatuh pada caleg perempuan yang berasal dari salah satu partai yang kental dengan nuansa Islam (tapi bukan PKS, hehe), namun saya kenal dan tau baik sepak terjangnya selama ini dalam advokasi RUU Pelayanan Publik. Dia aleg yang bersuara lantang dan mampu bersikap tegas dalam rapat-rapat. Dia sangat akomodatif dan selalu menyediakan waktu untuk memahami substansi dari advokasi kita. Dia juga sangat terbuka dengan kritik, ketika pers release yang dikeluarkan oleh Jaringan Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3) membuat Pak Sayuti, konon katanya, kecewa. Dia mampu menerima kritik kami terhadap DPR sebagai lembaga dan secara legowo mengakui kelemahan-kelemahan institusi itu.
Buat saya, ketika kita bicara soal partai yang tidak memiliki platform, yang masih tidak profesional, dan segala masalah lainnya, kita bicara soal sistem. Dan memperbaiki sistem itu, tidak semudah membalikan telapak tangan. Ikut pemilu dan mencontreng nama salah satu caleg perempuan pun, tidak serta merta membuat sistem itu menjadi demokratis. Tapi yang pasti, kita butuh individu-individu yang terbuka dan memiliki komitmen yang kuat untuk memperbaiki sistem. Kita membutuhkan individu-individu yang bisa memberikan "sentuhan perempuan" dalam sistem. Membawa semangat keadilan jender di parlemen.
Bicara caleg perempuan tentu tidak bicara soal representasi, jumlah dan muka perempuan di parlemen. Bicara caleg perempuan juga bicara bagaimana caleg perempuan bisa memberikan kontribusi bagi perubahan di parlemen pada tidak saja pada tataran manajemen, namun juga pada tataran aras. Perubahan yang mengajak baik perempuan maupun laki-laki untuk peduli pada isu keadilan jender.

Dan bila ada yang mengatakan, pemilu akan selalu bentuk kompromi untuk memilih yang lebih tidak buruk dari buruk-buruk, maka bentuk kompromi itu buat saya adalah, saya memilih individunya meskipun saya tidak terlalu "sreg " dengan partainya. Tentu saja, tiap kompromi memiliki batas toleransi. Demikian pula dengan pertimbangan partai yang direpresentasikannya. Saya memiliki batas toleransi saya sendiri.

Jadi pemilu kali ini, saya sebagai anggota kawanan golput, bangun hanya untuk menyontreng, demi parlemen dan pelaksanaan fungsi representasi yang berkeadilan jender.

Monday, February 16, 2009

Valentine dan Solidaritas Antar Perempuan


14 February 2009. Hari sabtu. Malam minggu. Valentine. Sebagian orang mungkin tidak merayakan. Entah karena diharamkan atau memang tidak peduli. Sebagian orang merayakan valentine dengan caranya masing-masing. Romantic candle light dinner? Se-box coklat, setangkai bunga mawar merah dan secarik puisi? Datang bersama ke pasangan ke event-event valentine? Mencari sudut gelap di pelosok kota hanya untuk mojok berduaan? Posting kalimat atau tulisan cinta kiriman sang terkasih? Atau posting agak nyinyir soal valentine itu sendiri, kaya gue hehe..

Valentine kali ini, dihabiskan berdua sama tita. I know, for some of my friends, the fact that I'm spending a valentine with tita, worries them :-) But hey, kapan lagi dua makhluk muncrut bin gembyul bisa menghabiskan akhir pekan bersama-sama, mulai dari bangun tidur sampe tepar ngorok (dalam arti yang sebenarnya... tapi gue gak denger kok, ta..:P) karena kecapean? hihihi..

Valentine tahun ini didedikasikan untuk perempuan, utamanya solidaritas antar perempuan. Suatu hal yang saya rasa susah dibangun, bahkan di antara perempuan feminis sendiri. Yang nge-gosip orientasi seksual perempuan lain di belakang lah, yang merasa keilmuan dan pengetahuannya tentang feminismenya lebih jago lah, yang hobi mendamprat perempuan lain (padahal laki2nya yang suwek) lah, de el el.

Valentine kali ini hadir dalam dua peristiwa yang menyangkut dua isu perempuan yang berbeda. Yang pertama, pelatihan perancangan peraturan berperspektif gender di Aceh. Sebenarnya, pelatihan ini melanjutkan apa yang Bibip sudah mulai rintis. Saya hanya tinggal meneruskan saja. Pelatihannya sangat menarik karena cuma diikuti 6 orang, saya berkesempatan lebih membumikan metode MPM, dan topiknya tentang penyelesaian kasus perempuan korban konflik di Aceh. Yang saya suka dari pelatihan ini, kami membahas tuntas mulai dari mencoba keluar dari kebiasaan merancang peraturan --mengubah dari membenarkan yang biasa menjadi membiasakan yang benar-- sampai persoalan-persoalan strategi advokasi kepentingan perempuan, yang selalu saja dipertanyakan dan ditentang.

Yang kedua, program percontohan penguatan penyelesaian sengketa informal di 7 nagari di Sumatera-Barat. Program yang serupa juga akan dilaksanakan di NTB. Peran PSHK (dan LeIP) melanjutkan perjuangan teman-teman di daerah untuk advokasi di tingkat nasional. Sum-Bar yang terkenal dengan sistem matrilinealnya, rupanya tidak kuasa melawan dunia patriarki yang justru melemahkan peran perempuan, terutama bundo kanduang, dalam proses penyelesaian sengketa adat.

Di tengah dua kegiatan menarik inilah, saya merayakan valentine, bersama sahabat-sahabat saya, toni dan timun (ih, kompak deh pake huruf "t" hihihi). Perayaan valentine lengkap dengan aksesoris pelengkapnya. Di Aceh, nongkrong di ulee kareng dengan sanger hangat dan roti srikaya dengan obrolan santai teman-teman dari ACSTF, agung, toni dan dua "bule asia" dari UNIFEM. Di Padang, disuguhi pemandangan pantai di pesisir selatan Sumatera Barat, diapit pegunungan, di warung seorang nenek tua yang sedang menjemur pinang yang akan dijual dengan harga Rp. 3500/kilo. Di pedalaman Solok, dijamu di rumah seorang nenek-nenek bundo kanduang yang tomboy masih naik motor di umurnya yang mungkin sudah mendekati kepala 7 dan membuka tempat penitipan anak (termasuk untuk cucunya). Dan oh ya, diiringi ucapan selamat valentine juga dari mas har, selamat rahardjo, hihihi.... garing abis deh mas-mas Jawa satu ini :D.

Ucapan valentine ke pasangan? ah... kita terlalu terdoktrin untuk menyatakan perasaan secara langsung. Satu hal yang kami pelajari dari kearifan masyarakat Sumatera-Barat adalah kepandaiannya dalam berpantun. Mereka mungkin tidak mengenal bahasa minang untuk "I love You". Tapi mereka punya jutaan pantun dari pelbagai aspek dan gaya, untuk menyatakan perasaan... hehe.. Amboiiii seminggu tidak bersua rasanya bagai bulan merindukan bertemunya dengan matahari (wah, gerhana dong hehehe..).

Soal teori tentang cinta dan bercinta? Ah, silakan saja berteori soal cinta. Kali ini saya sepakat dengan ulum. Yang lebih enak, memang yang mengalir. Gak pake teori-teori gitu. Teori, menurut richard robison (supervisor saya dulu), sederhananya adalah cara manusia menjelaskan kekonteksannya. Membantunya memahami situasi. Kadang, teori dikeluarkan hanya untuk diri sendiri, sebagai pengarah. Belum tentu benar-benar dipahami, apalagi dilakoni. Dan seringkali jadi lubang jebakan bagi diri si penteori sendiri.

Sebagai contoh, beberapa feminis seringkali mendorong perempuan untuk mengambil kontrol terhadap dirinya dan terhadap lingkungannya. Untuk memiliki otonomi terhadap dirinya dan menyadari seksualitasnya sebagai suatu kekuatan. Asumsinya, dengan cara begini perempuan bisa terbebaskan dari belenggu patriarki dan menjadi manusia yang otonom. Dan dalam hitungan ini, relasinya dengan laki-laki umumnya selalu jadi patokan, sejauh mana perempuan mampu menjadi manusia yang otonom itu. Mampukah perempuan mengatasi relasi yang tidak seimbang selama ini. Dari segi teori, memang indah. Mana ada teori yang tidak indah, kecuali dari makhluk yang nyinyir hehe..

Tapi ironisnya, perempuan suka terjebak dengan teorinya sendiri, hehe. Perempuan bisa (merasa sudah) menjadi makhluk yang otonom dan sekaligus (tanpa sadar masih) tergantung pada laki-laki. Lebih parahnya, bila solidaritas antar perempuan tidak mampu dibangun dan terjadilah apa yang teman saya, yang mengaku seorang feminis radikal, katakan, "selalu ada laki-laki di antara perempuan". Otonomi yang malah menempatkan laki-laki sebagai barang, yang harus diraih, dipertahankan mati-matian, dikerangkeng, dirantai (bila perlu) dan tentunya, tidak mengubah apapun di tingkat relasi. Keliatannya memang perempuan berkuasa (di atas laki-laki), tapi tentu harus menjadi monster dahulu. Tidak saja bagi laki-lakinya, bahkan melihat perempuan lain pun, yang sebenarnya juga berada dalam posisi yang sama sebagai korban, sebagai musuh... yang perlu dihajar, dengan cara yang jalang khas perempuan atau santun.

Tentu saja, dalam hal ini perempuan (yang tanpa sadar sudah berubah jadi monster tadi) tetaplah menjadi perempuan pada umumnya. Sumber energi. Sumber pemberi dan, ironisnya, penuntut cinta. Sebuah pertanyaan untuk cinta, menurut seno gumira, "apakah kau mencintaiku?" Sebuah, namun selalu ditanyakan tanpa henti hihihi.. Entah tidak dijawab-jawab atau tidak yakin-yakin.. Atau terjebak pada hubungan dimana dirinya tidak dihargai, tidak diakui eksistensinya sebagai pasangan, tidak memiliki relasi kekuasaan yang seimbang (maksudnya tidak terjajah atau sebaliknya, menjajah :P), tapi ya itu... sifat perempuannya yang selalu memberi dan menjadi energi dalam bercinta, membuatnya susah keluar dan bahkan menjadi monster, baik bagi si laki-laki maupun perempuan lain. Menciptakan ilusi bagi diri sendiri.

Perempuan memang harus otonom. Perempuan memang harus menjadi kuat. Perempuan memang harus menciptakan dunianya sendiri yang penuh kreativitas. Tapi memiliki otonomi terhadap diri sendiri dan menjadi kuat, bukan berarti menjadi monster, bukan? Jadi, valentine kali ini saya dedikasikan untuk solidaritas antar perempuan, untuk tidak lupa mencintai dirinya sendiri...

Wednesday, December 17, 2008

UU Pornografi tidak Menjamin Hak Perlakuan Khusus untuk Perempuan

Ini catatan ketika memoderasi diskusi yang dilakukan dalam rangka seri diskusi mengkaji UU Pornografi -herni

http://www.pshk.or.id/site/details.viewer.php?catid=7b8302aeaec8a3ce743058fabd0deefc&cgyid=58ff1b71f40474859fda135ce3a4d433


Tujuan Undang-Undang Pornografi untuk melindungi perempuan dan anak-anak perlu dipertanyakan. UU Pornografi tidak saja berpotensi mengkriminalkan perempuan korban trafficking, namun juga tidak melindungi hak untuk memperoleh perlakuan khusus yang dijamin oleh konstitusi. Hal ini muncul pada diskusi “Kritisi UU Pornografi dari Aspek Hukum Pidana” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) bekerjasama dengan Kalyanamitra di Perpustakaan Hukum Daniel S. Lev Selasa (2/12/2008) kemarin. Diskusi ini merupakan bagian dari seri diskusi kajian terhadap UU Pornografi dari pelbagai aspek.

Hak Memperoleh Perlakuan Khusus
Narasumber dari LBH APIK, Sri Nurherwati, menggugat Pasal 23 UU Pornografi yang menyatakan bahwa proses beracara UU Pornografi mengacu pada KUHAP, utamanya mengenai penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan, kecuali diatur secara khusus oleh UU Pornografi. Hal ini tidak sejalan dengan hak mendapat perlakuan khusus yang dijamin Pasal 28 H ayat (2) konstitusi yang berbunyi, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Padahal, pelaksanaan hak ini sudah dilakukan pada UU KDRT dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dengan menyediakan prosedur atau hukum acara khusus untuk perempuan korban KDRT dan trafficking. Hal ini merupakan pelanggaran hak konstitusi yang serius, mengingat target terbesar traffiking adalah industri pornografi.

Selain tidak memberikan prosedur khusus untuk perempuan korban trafficking yang dijamin oleh konstitusi, UU Pornografi juga berpotensi mengkriminalkan korban trafficking. Pasal 8 UU Pornografi menyatakan “Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi”. Meski tidak secara eksplisit menyebutkan perempuan dan ada unsur “sengaja” atau “persetujuan dirinya”, UU Pornografi tidak melihat relasi dan struktur sosial yang menempatkan perempuan dalam posisi korban pada industri pornografi dan sebaliknya, mengambil pendekatan yang represif dengan mengkriminalkan korban.

Narasumber lain dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Arsil, mengangkat persoalan kerumitan pengaturan tindak pidana dalam UU Pornografi. Pasal yang mengatur ketentuan pidana harus dibaca berbarengan dengan Pasal 1 dan Pasal 4 ayat (1) berikut penjelasannya. Bandingkan dengan model yang dipakai oleh KUHP dalam merumuskan pasal yang lebih sederhana. Selain itu, substansi yang diatur dalam UU Pornografi telah diatur dalam KUHP. Salah satu peserta, Ali dari kantor hukum Adnan Buyung Nasution, menambahkan hal baru yang ditambahkan di UU ini adalah alat bukti digital. Keanehan prosedur hukum acara di UU Pornografi juga terlihat di Pasal 43 yang mengatur gugatan perwakilan (class action) yang merupakan mekanisme perdata dan bukan pidana.

Pelanggaran terhadap Asas Hukum dan Pasal Konstitusi Lainnya
Patra dari YLBHI juga mengemukakan beberapa pelanggaran lain yang dilakukan oleh UU Pornografi ini. Pertama, UU Pornografi melanggar asas kepastian hukum. Definisi pornografi sangat tergantung pada konteks waktu dan norma kesusilaan masyarakat. Definisi pornografi yang berlaku di negara lain pun tidak detail sehingga tidak ada perumusan definisi pornografi yang ideal yang dapat digunakan sebagai pedoman.

Sementara itu, parameter untuk mengkategorikan apakah suatu tindakan merupakan tindakan pidana atau bukan adalah niat jahat, tindakan jahat, kerugian, kapasitas pidana dan tanggung jawab pidana yang memerlukan parameter untuk membuktikannya. Dolus, atau kesengajaan, mensyaratkan adanya unsur pengetahuan bahwa perbuatan tersebut adalah ilegal (wetten) dan unsur perbuatan itu dikehendaki oleh si pelaku (willen). Unsur-unsur ini sulit diaplikasikan dalam UU Pornografi sehingga berpotensi melanggar asas kepastian hukum.

Kedua, dari persepektif HAM, UU Pornografi juga melanggar Pasal 28I ayat (2) yang menjamin bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Suatu UU dikatakan diskriminatif bila melakukan pembatasan yang merujuk pada orang atau sekumpulan orang. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) a menyebutkan materi pornografi yang memperlihatkan persenggamaan lesbian dan homoseksual termasuk persenggamaan yang dianggap menyimpang dan dilarang oleh UU Pornografi.

Cukup Kuat untuk Uji UU ke MK?
Namun demikian, cukup kuatkah untuk menjadi bahan argumentasi mengajukan uji undang-undang ke MK? Menyusun dan mengemas argumentasi menjadi sebuah permohonan uji undang adalah persoalan tersendiri. Patra menambahkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun argumentasi untuk uji undang-undang, yaitu persoalan legal standing dan hubungan kausal antara pasal yang bermasalah dan potensi kerugian. Dalam kaitannya dengan kepentingan perempuan, UU Pornografi tidak secara spesifik menyebutkan diskriminasi atau kriminalisasi terhadap perempuan. Namun demikian, pelanggaran terhadap hak perlakuan khusus terhadap perempuan merupakan substansi yang dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi.

Sementara itu, Arsil mengingatkan mengenai tujuan dari pengajuan uji undang-undang dan konsekuensi hukum yang terjadi bila uji undang-undang itu dikabulkan oleh MK. Pengajuan uji undang-undang terhadap Pasal 2 berdasarkan hak untuk memperoleh perlakuan khusus yang diatur pada Pasal 28 H (2) merupakan ketentuan hukum acara. Bila ini dikabulkan, maka bukan berarti UU Pornografi ini tidak memiliki ketentuan hukum acara dan tidak bergigi lagi. Pengaturan hukum acara pidana tetap merujuk pada KUHAP.

Menggugat Landasan Filosofis RUU Pornografi

Ini dibuat sebagai brief paper untuk advokasi RUU Pornografi yang dilakukan Jaringan Kerja Prolegnas Pro-Perempuan (JKP3) -herni

Naskah Akademik adalah tempat yang tempat untuk menggali landasan filosofis suatu RUU. Latar belakang filosofis RUU Pornografi adalah keinginan untuk meluruskan moralitas bangsa Indonesia di tengah perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi dimana Masyarakat Indonesia telah mengadopsi nilai-nilai budaya tertentu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan mengancam persatuan dan kesatuan dengan perbuatan yang tidak bermoral, melanggar etika, tidak sopan, serta tidak menghargai dan menghormati kepentingan umum.

Naskah akademik RUU ini juga menempatkan RUU Pornografi sebagai: (i) pedoman bagi masyarakat dalam memilah budaya di era globalisasi; (ii) alat transformasi bagi masyarakat yang tidak menganut budaya yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila; (iii) alat untuk mengurangi terjadinya kasus-kasus kejahatan seksual dan perbuatan a-moral atau a-susila yang mengganggu tujuan nasional dalam Alinea IV UUD 1945; (iv) instrumen tambahan yang mengurangi kemungkinan terjadinya konflik sosial yang diakibatkan oleh pornografi serta alat untuk menegakan etika, sopan-santun dan budi luhur dalam kehidupan bermasyarakat; meningkatkan kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa dan meningkatkan penghormatan terhadap ketentuan hukum dalam kehidupan bernegara (Naskah Akademik RUU Pornografi hal. 3-5).

Alasan terbesar mengapa RUU Pornografi bermasalah dan menimbulkan kontroversi adalah karena sejak awal, dari landasan filosofisnya, RUU Pornografi memiliki pemahaman dan pendekatan yang keliru.

Pertama, RUU ini memfokuskan pada moralitas dengan pendekatan pelarangan yang mengabaikan hak-hak individu serta mengkriminalisasikan korban pornografi dan tidak melihat masalah pornografi sebagai industri yang perlu diregulasi dan dibatasi.

Meski RUU ini memberikan definisi, mengkategorikan jenis pornografi dan perbuatan yang dilarang, namun RUU ini tidak memberikan parameter serta batasan yang jelas kecuali keinginan untuk meluruskan moralitas masyarakat. Hukum memerlukan parameter obyektif yang dapat diukur. Pendekatan yang menekankan pada pengaturan perilaku berdasarkan moralitas malah menimbulkan aturan-aturan yang parameternya bersifat subyektif, tidak jelas dan mendefinisikan pornografi sesuai moralitas masing-masing. Pada akhirnya, RUU pornografi yang tercipta adalah aturan-aturan dengan parameter subyektif dan membuka celah-celah yang berpotensi tidak saja mengabaikan hak-hak individu namun juga menimbulkan konflik sosial baru dalam kehidupan bermasyrakat dengan alasan penegakan moralitas. Alih-alih ditujukan untuk persatuan dan kesatuan bangsa, malah menimbulkan potensi pemecah bangsa.

RUU ini memerangi kejahatan seksual dengan menegasikan korban-korban perdagangan manusia yang umumnya menjadi komoditas pornografi dengan menempatkan mereka sebagai salah satu pelaku kriminal tindak pidana pornografi. Karenanya, hukum yang dihasilkan juga bersifat represif dengan mengkriminalkan mereka yang dianggap tidak bermoral dan para korban industri pornografi.

Kedua, RUU ini kontradiktif dalam melihat nilai-nilai Pancasila, budaya dan kebhinekaan masyarakat Indonesia. Di satu sisi, RUU ini mengakui keragaman budaya dan kebhinekaan Indonesia, namun di sisi lain menempatkan “materi seksualitas” dalam bidang budaya, pendidikan dan kesehatan sebagai “materi pornografi yang ditoleransi” dan karenanya dikecualikan. Perspektif RUU ini menempatkan segala bentuk dan representasi “materi seksualitas” sebagai materi pornografi, termasuk segala jenis hasil karya budaya, materi pendidikan dan pengobatan. Pengecualian yang dilakukan terhadap budaya, pendidikan dan pengobatan dilihat sebagai bentuk “toleransi masyarakat Indonesia terhadap pornografi”, seperti yang tercantum dalam naskah akademis RUU Pornografi:

“.... masyarakat Indonesia yang umumnya masih menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila pada tingkatan tertentu memiliki toleransi terhadap pornografi. Mereka memahami bahwa dalam kondisi tertentu bagi sebagian orang-orang, pornografi merupakan suatu kebutuhan (misalnya: untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan atau pengobatan gangguan kesehatan seksual).”

Dengan demikian, RUU ini tidak mampu menghargai nilai-nilai budaya dan kebhinekaan Indonesia. Sebaliknya, RUU ini justru melihatnya sebagai nilai-nilai yang menghancurkan masyarakat Indonesia dan melihat masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang meski menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, namun memiliki tingkat toleransi terhadap pornografi. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan mengenai konsep dan pemahaman RUU ini terhadap nilai-nilai Pancasila, budaya dan kebhinekaan masyarakat Indonesia.

Thursday, December 4, 2008

RUU Pornografi Masih Bermasalah

Ini dari algooth waktu lagi hangat-hangatnya isu RUU Pornografi pertengahan bulan September lalu. Interview sebelum menghadiri NGS di hawaii. Diambil dari link http://web.bisnis.com/kolom/2id1549.html. Fotonya sebenarnya dari acara ultah 10 tahun PSHK, yang ngambil gama :-)


Jumat, 19/09/2008 14:28 WIB

RUU Pornografi masih bermasalah
oleh : Herni Sri Nurbayanti
Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia

Diskursus RUU Pornografi mulai berkembang dengan tidak sehat. Ada kecenderungan dalam masyarakat untuk mempolarisasikan posisi menolak dan mendukung dengan stigma-stigma tertentu.

Untuk mendalami masalah ini berikut perbincangan dengan Herni Sri Nurbayanti, peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan anggota Jaringan Kerja Prolegnas Pro-Perempuan (JKP3) pekan ini sebelum bertolak ke AS memantau jalannya Pemilu AS.

Apa yang membuat Anda sebagai perempuan begitu gusar dengan RUU Pornografi. Bukankah justru perempuan yang terlindungi?
Keadaan tidak menjadi membaik ketika isu pornografi dikaitkan dengan isu agama. Dampaknya, ada stigma bahwa mereka yang menolak dianggap selain mendukung pornografi dan tidak melihat pornografi sebagai sebuah masalah namun juga dianggap tidak religius atau bahkan tidak punya rasa/nilai/moral. Sehingga perdebatan yang terjadi sebatas menolak dan mendukung saja, tidak benar-benar fokus pada isu pornografinya sendiri.

Arus penolakan terhadap pornografi perlu dilihat sebagai kritik terhadap pornografi yang sebenarnya mempertanyakan, apa dan siapa yang menjadi sasaran dari RUU Pornografi serta pendekatan yang diambil RUU Pornografi dalam menyelesaikan masalah pornografi di Indonesia.

Penolakan terhadap RUU Pornografi berangkat dari kritik RUU Pornografi yang tidak tepat sasaran dan malah menyasar apa yang seharusnya bukan sasaran RUU Pornografi.

Banyak suara skeptis menyatakan ini adalah kado Ramadhan?
Terlepas dari kado Ramadan atau tidak, semangat mengaitkan isu ini dengan bulan suci ini seharusnya juga dibarengi dengan pikiran yang jernih terhadap alternatif-alternatif pendekatan penyelesaian masalah pornografi dan bagaimana membungkus RUU yang benar-benar menyelesaikan masalah pornografi, tanpa menimbulkan masalah baru, dalam proses yang partisipatif.

Kalau boleh tahu sebetulnya bagaimana proses RUU ini?
Menjelang akhir September 2008, DPR dihadapkan pada setumpuk pekerjaan legislasi. Salah satunya, RUU Pornografi yang pembahasannya dimulai Juni di Panitia Khusus (Pansus). RUU ini dijadwalkan ditandatangani Raker Pansus 18 September 2008 dan disahkan di Rapat Paripurna pada 23 September 2008 mendatang. Namun, RUU ini belum menjawab berbagai masalah penting sehingga masih prematur untuk disahkan.

Masalah apa itu?
Definisi Masih Bermasalah. Perubahan draf RUU sering dilakukan, namun masalah mendasar di definisi belum selesai. Rumusan definisi terakhir: "Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat".
Definisi ini memasukkan unsur yang bukan pornografi, frase yang digarisbawahi, serta unsur yang tidak jelas parameternya (yang dapat membangkitkan hasrat seksual) dan mencampuradukan terminologi seksualitas dengan pornografi sehingga tidak tepat sasaran dan multi-interpretatif.

Padahal, naskah akademik RUU Pornografi memuat kajian yang ekstensif mengenai definisi pornografi. Namun, tidak terefleksikan hasilnya dalam rumusan definisi.

Banyak suara menakutkan dengan RUU ini akan mengintervensi hak seksualitas masyarakat? Apa betul?
RUU tidak memberi batas ruang privat dan publik serta menggunakan pendekatan intervensi penuh terhadap ruang privat untuk semua materi pornografi yang definisinya tidak tepat dan multiinterpretatif. Hal ini akan menimbulkan masalah pada praktiknya.

Sebagai contoh, Pasal 20 dan 21 membuka peran masyarakat untuk melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebaran, dan penggunaan pornografi dengan melaporkan pelanggaran dan untuk tindakan ini diberi perlindungan hukum.

Namun, dengan definisi dan batasan pornografi yang tidak jelas dan multi-interpretatif, pelaksanaan peran masyarakat untuk mencegah pornografi akan menimbulkan permasalahan baru.

Lalu pendekatan apa yang tepat?
Semestinya, pendekatan yang perlu digunakan adalah memberi batas ruang privat-publik dengan parameter penghapusan (zero tolerance) terhadap pornografi anak dan yang mengandung unsur kekerasan terhadap perempuan.

Di luar itu, memberi batasan ruang privat dan publik yang jelas dengan regulasi distribusi dan penggunaan pada ruang privat dan menutup akses anak. Ruang privat ini bisa ditembus hanya ketika digunakan untuk pornografi yang termasuk zero tolerance tadi.

Lalu pendekatan apa yang menurut Anda sesuai untuk RUU ini?
Kriminalisasi, bukan Perspektif Korban. RUU ini menggunakan pendekatan kriminalisasi terhadap objek atau model pornografi (istilah yang digunakan RUU), bukan perspektif korban.
Seharusnya RUU ini menggunakan pendekatan perspektif korban yaitu dengan menempatkan mereka sebagai korban yang penanganannya bukan mengkriminalisasikannya, namun menyediakan fasilitas pembinaan, pendampingan, pemulihan ekonomi dan sosial, kesehatan fisik serta mental.

Pendekatan kriminalisasi tidak menyelesaikan masalah dan mengesampingkan fakta pornografi sebagai salah satu tujuan perdagangan perempuan, apalagi untuk pornografi yang mengandung unsur kekerasan terhadap perempuan.

Mereka adalah korban, bukan pelaku kriminal. Dengan mengkriminalkan korban, justru menempatkan mereka ke jurang lebih dalam.

Lalu bagaimana proses legislasi. Apakah ini tak berjalan?
Proses Legislasi Tidak Partisipatif. RUU ini juga bermasalah dari segi proses legislasi. RUU yang direvisi belum tersosialisasikan dengan cukup, padahal Risalah Laporan Singkat Rapat Pleno Pansus 14 Mei 2008 mencatat sosialisasi masih perlu dilakukan. Partisipasi publik makin tertutup dengan Rapat Panitia Kerja (Panja) yang tertutup.

Tatib DPR mengatur Rapat Panja tertutup, kecuali dinyatakan terbuka. Namun mengingat substansi dan dampak RUU yang luas, seharusnya ada kepekaan politik untuk menyatakan rapat Panja terbuka untuk umum, seperti RUU Kewarganegaraan, RUU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan RUU Pelayanan Publik.

Kemampuan teknis Pansus dalam mengolah aspirasi masyarakat masih lemah. Berbagai elemen masyarakat selama ini berinisiatif untuk beraudiensi dan mengadvokasikan masukannya, namun masih banyak yang belum diakomodasi.

Pekan depan RUU ini bakal diteken. Ini artinya sudah final lalu bagaimana?
Pornografi adalah keprihatinan kita bersama. Persoalannya adalah bagaimana menyusun RUU yang tepat sasaran, tidak menimbulkan masalah baru serta melalui proses pembentukan hukum yang bertanggungjawab secara sosial.

RUU Pornografi belum memenuhi ketiga kualifikasi tersebut. Apakah DPR ingin mengesahkan RUU yang bermasalah seperti ini?

Pewawancara: Algooth Putranto Wartawan JBII/Monitor Depok

Tuesday, March 18, 2008

Jolanda Goldberg, Perempuan dibalik Penyusunan Sistem Katalog Library of Congress

Library of Congress merupakan salah satu perpustakaan yang berpengaruh di dunia. Perpustakaan terbesar dan terlengkap di seantero Amerika Serikat. Sejarahnya hampir sepanjang sejarah negara Amerika Serikat sendiri. Ia merupakan bagian dari mimpi Thomas Jefferson. Bagian dari institusi demokrasi yang dibangun di awal sejarah berdirinya Amerika Serikat.

Bila kita melihat catatan sejarah mengenai Library of Congress, anda akan menemukan uraian panjang sejarah terbentuknya, koleksi yang sangat ekstensif, kemegahan gedung, bangunan serta infrastruktur di dalamnya. Bagi pustakawan, satu hal yang bisa ditambahkan adalah sistem katalog yang dimilikinya, Library of Congress Catalogue atau dikenal dengan sebutan LC System. Yang menarik buat saya dari LC System ini yang mungkin luput dari catatan sejarah (setidaknya yang tidak tercatat di wikipedia maupun sumber-sumber lain yang dapat diakses oleh internet hehe), adalah Jolanda Goldberg, wanita warga negara Amerika asal Jerman, penyusun LC System.

Nama Jolanda Goldberg diperkenalkan oleh Merry, salah satu ahli katalog di Library of Congress yang saya temui di Library of Congress. Merry juga memperlihatkan buku panduan LC System yang dibuat oleh Jolanda Goldberg. Sistem katalog LC ini digunakan di seluruh perpustakaan di Amerika Serikat.

[bersambung.. capek hehehe]

Monday, March 10, 2008

Participation and Power: A Transformative Feminist Research Perspective by Joke Schrijvers

This summary was done by a friend of mine, A. Rahman -red


This action research was undertaken among the people (Muslins and Tamils) staying in relief camps in Sri Lanka. These people had been displaced by civil war and ethnic violence in 1990s.The article states that relief and rehabilitation measures are carried out in a top down manner without considering the views of the refugees, especially women and children who may have special needs.

The main points are as follows-

1. Neo-positivist ideology in its bid to be neutral starts treating people as objects. The processes of collecting data, analyzing and writing it are presented as simple and transparent. But this research is not value free and in fact it obfuscates power relationship. First the agenda for research is set up by professional social scientists. Secondly, the researched has no say in it. Third they are objectified during research and lastly the research is merely academic and has no liberating influence. Thus focus of research is now shifting to a view from below in which Feminism has made a significant contribution by adding to the perspective from below the perspective of women.

2. In feminist theory and practice issues of knowledge, power, representation and authority have been dealt with deeply.Ethnic, race, class and age relation crosscuts gender, which makes this study more difficult. Another problem is how to create equitable relations during the research process and support envoicing of participants.

3. The postulate of value free research is to be replaced by conscious partiality. Critical consciousness and exchange are important elements of this research. The researcher takes side of certain group, partially identifies and in a conscious process creates space for critical dialogue and reflection on both sides. It raises new questions and images of reality in a dialectical way. If dialogues form the main communication process, the objects of research become subjects as well. They are conceptualized as social actors who themselves participate in the research and therefore co- determine the outcome. They too are constructing knowledge and interpreting reality. The out come is intersubjective and negotiated and there is no single reality.

Five elements of this dialogical communication can be identified-

1. Dynamic focus on change as opposed to status quo.

2.Exchange- researcher and researched continuously change places as both are subjects and objects, active and passive and their views are open for discussion.

3. The ideal of egalitarian relation- the researcher and the participants are aware of the power inequalities that separate them. By articulating such differences less powerful will feel assured about the efforts of the power full to take a perspective from below.

4. Shared objective- the priorities of the research are decided by all the participants.The researcher or the funding agency have no control over the process of the research or its out come.

5. Shared power to define- participants are empowered to construct concepts and categories, discuss results and determine the course and out come of the research.

There are some problems with this kind of research. For example the ultimate power to define the out come will be with the researcher who is going to write it and there is possibility that some of the perspectives are not correctly reflected as it has not been written jointly. Secondly dialogical communication is meant more for the situations where the other group is powerless. What about sharing the power to define with the more powerful. Envoicing their concern may lead to perpetuation of status quo.

Transformative approach-if the aim of the research is transformation backed by the perspective from below, we call it transformative approach. It aims at bridging the gap between theory and practice and supporting change from bottom up. However this term is complicated as poor it self are a heterogeneous group. As researcher we are intellectual intermediary in this transformation and we have to make choice as to in whose interest, out of the heterogeneous reality, we use our perspectivee.How relevant is the acquired knowledge for their perspective? What are the possibilities of returning the insights gained, back to them?

If transformative research also involves direct action for change it is known as action or partisan research. The researcher takes sides with the people whose situation he wants to change. Thus all actors become engaged in a combined processor of research and action. One of the participants is facilitator. The decision to take side does not mean that the researcher has to accept the interpretation of the other actors. It means all parties create space to articulate their views so that they can exchange and discuss their interpretations

Collective Action on Integrated Criminal Justice System (ICJS) for Violence against Women (VAW) Cases in Indonesia (2)

I. Integrated Criminal Justice System (ICJS) for Violence Against Women (VAW) Cases in Indonesia

Women experience violence and torture both in situations of conflict and where there is no `formal’ conflict (P. Sen 1998) --as also apply in the case of Indonesia. The number of domestic-violence has been increasing as explained before. The Indonesian legal system did not cover the domestic violence whether in the legal substance, structure and culture, for example, the criminal law procedures requires two witness minimum for evidence. Therefore, it is difficult to provide the evidences in the domestic violence cases. In additional, there were lack of gender awareness among the legal institutions and apparatus. Thus, the rights of women, both as victims and “forced” perpetrators were not recognized. Moreover, women often faced psychological pressures during the legal proceedings which derived from certain notion and perception about women that is embedded in cultural or religion.

A. Framing the Policy: The Legal Substances, Legal Structure, the Legal Culture and the Problem of Intersection

The causes of ineffective legal system which is responsive in handling VAW cases are stemmed from the three pillars that form the legal system itself: the legal substance, the legal structure and the legal culture (INCW 2004).

Firstly, the legal substances refer to the material or the content of law and regulations related to VAW, including both substantive and procedural or administrative law. It encompasses not only the recognition and protection of women’s rights but also placing women as a subject and not as an object of cases during the legal proceedings. The conventions, UN Declaration and any other international law documents stand as a basis to eliminate gender biases within the existing laws and regulations. Many international legal documents related to VAW have not been properly adopted within the National legislation. It also causes by the lack of enforcement of such international documents.

Secondly, the legal structures involve the infrastructure and organization of legal institutions in handling VAW cases. The well-coordinated and well-organized legal institutions would create effectiveness and efficiency within the bureaucracy and administration of the legal proceedings. In many cases, many criminals could get away from the sentences because of “administrative justice” reason which cause by insufficient administrative requirements and procedures. It also related to how the legal institutions provide a gender-responsive service, infrastructure and information in handling the VAW cases such as: (i) the special units of investigation room for VAW cases within the Police Department; (ii) medical and/or psychological help for the victims; (iii) information and legal protection and assistances during the court proceedings.

Thirdly, the legal cultures involves the perception and understanding of the legal apparatus and the society on the issue of VAW. These perceptions are embedded in culture and religion, in relation to the perception of “good women”. Many people in Indonesia still believe that a good woman should not be seductive as to expose her body to the public, which could stimulate violence. Some people still believe that violence occurred because of the woman poses herself in a seductive way. In domestic violence cases, it also related to the concept of a good wife who has the obligation to fulfill (and submissive) to their husband’s needs. These conception of a seductive women reflected in the attitute of legal apparatus to the women as victims during the legal proceedings in which victims could be treated as the ‘criminal’ as reported by Indonesian National Commission on Women (INCW) and many other women’s organizations.

B. Elimination of Domestic Violence Act (2004)

Following the Asian crisis which led to economic and political distress in 1998, Indonesia conducted a series of legal reforms including strengthening the state machineries which mostly done through legislation. The democratic political atmosphere also created political spaces for women’s movements to integrate their interests in the legislation-making process. The strategy was mainstreaming two important conventions (CEDAW and UN Declaration on Elimination VAW) in the legislation. Therefore, it is more or less following Nussbaum’s top down approach.

It was started with the EDV bill that had been prepared by a network of women’s movements since 1997. The Parliament finally passed it on September 14, 2004. It was based on the UN Declaration on the Elimination of Violence against Women (1994) which affirming that VAW constitutes a violation of the rights and fundamental freedoms of women and impairs or nullifies their enjoyment of those rights and freedoms, and concerned about the long-standing failure to protect and promote those rights and freedoms in the case of VAW, as reflected in the preamble of the EDV Act.[1]

The basis for the EDV bill was:

1. Humanity, justice and equality values.

2. The constitution (whicad been amended)

3. Law No. 7 Year 1984 on the ratification of CEDAW.

4. National Action Plan on Elimination of Violence Against Women, 1999.

5. Law No. 39 Year 1999 on the protection of Human Rights and Law No. 26 Year 2000 on Human Rights Court.

6. President’s Instruction No. 9 Year 2000 on Gender Mainstreaming

The UN VAW Declaration defines domestic violence as: “Physical, sexual and psychological violence occurring in the family, including battering, sexual abuse of female children in the household, dowry-related violence, marital rape, female genital mutilation and other traditional practices harmful to women, non-spousal violence and violence related to exploitation”. Basically, the contents of the Indonesian EDV Act are:

The Indonesian EDV Act

1. The Main Arguments

· Every citizen entitled to rights to be secured and to freedom from any form of violence based on the Pancasila (the Nation’s ideology) and the Constitution.

· Any forms of domestic violence are considered as violating human rights and thus, become crimes against humanity;

· The state and society have to protect the victims of domestic violence, which are usually the women.

· The EDV Act is based on the human rights, gender equality and justice, non-discriminatory and the protection for the victims.

2. The scope of the Act

· Domestic violence that occurs within: (i) the nuclear family (husband, wife and children); (ii) the extended families; (iii) the people who work and stay at the house, i.e domestic workers.

· An act of violence on an individual, particularly women.

3. Types of domestic violence

· Physical violence which causes pain, sickness and severely injured.

· Psychological violence which is any action that causes fear, losing self-confidence, and eliminating the capability to act, the feeling of helpless and psychological torture.

· Sexual violence: (i) against people who stay and work at the house (i.e domestic worker); (ii) sexual violence against any person which is conducted within the house for commercial or any other purposes

· Economic violence, including if one limits and forbids his/her spouse to work which cause his/her economic dependency other one’s control.

4. The obligation to secure and protect the rights (the role occupant)

In providing protection and rehabilitation for the victims, the EDV Act relies on the state, the legal system (the police, general attorney office, the judiciary and legal practioners), society in general (the medical profession, social worker and religious counselor) and from the family.

The EDV Act became a legal foundation in handling domestic violence which is not covered in any Indonesian legislation, particularly on the Criminal Code and the Criminal Law Procedures Code. In addition, the EDV Act introduces new legal proceedings in providing evidences where it only requires one witness and one eligible proof. Therefore, in the case of rape, the victim’s testimony and one visum et repertum or medical record from the doctor as a proof are considered legally enough for evidences.

However, the EDV Act has some weakness and limitations. Firstly, table 4 shows the implementation of the capability approach and the reliance to the state in securing the rights and providing the protection and rehabilitation without considering that the state (machineries) and the society is not gender-neutral and it raises the question of gender awareness and gender responsiveness of the state machineries, especially the legal institutions. Secondly, it excludes marital rapes which stimulated public debates inside and outside the Parliament. There were 3 bills submitted by the Parliament, the Government and the Women’s NGOs (Indriati 2004). The Moslem conservative religious group in the Parliament did not agree that marital rapes as a form of domestic violence. However, the women’s movements played an important role as they were intensively advocating the EDV Act. They came to all meetings inside and outside the Parliament and formed an unofficial faction which was called by the media as the “balcony faction” (because they usually sit on the balcony during the Parliament’s sessions). The EDV bill was finally passed, with some notes from the religious party (the Reformation Faction)

However, the EDV Act is necessary but not sufficient. It should be supported within a broader legal framework. As a response to increasing pressures from women’s movements, in 2004 after the general elections, the Parliament launched a national legislation program (Prolegnas) which consists of a list of prioritized bills in 2005-2009 to reform the gender-biased law.[2] Along with this, the Indonesian National Commission on Women (INCW)[3] initiated to coordinate the collective action for the ICJS in handling VAW Cases.

C. Collective Action for the ICJS for VAW Cases

The collective action is focused on two areas. Firstly, the Parliament as explained above. Secondly, within the legal system as initiated by the INCW. It is involving the legal institutions, legal scholars and four influential women organizations (INCW, LBH-APIK, Derap Warapsari and Convention Watch).

1. What and Whose Policy

The collective action on ICJS for VAW Cases is a collective action within the legal system (the Supreme Court, the General Attorney Offices, The Legal Associations and the Police Department), the legal scholars and four women organizations under the coordination of the INCW.

Before the enactment of the program, there was an assumption that each institution did not have a gender responsive policy in handling VAW cases. However, it was found that they do have few internal policies related to VAW but it was ineffective, not well-coordinated, and not publish to the public. However, the policy is more general or focusing on the trafficking issue, not the domestic violances cases. The policies that were found are:

Table 5

The VAW Policy within the Legal Institutions

Institution

Policies

The Supreme Court

Gender training as part of the education training for the judges (male and female)

The General Attorney Office

1. The establishment of Gender Focal Point.

2. The internal guidance for each general attorney in handling cases on robbery with violence and rape in which the victims are usually women (SEJA No. B-409/ES/8/1996)

The Police

1. Gender training for 500-1000 policewomen, particularly on traffiking.

2. The establishment of 230 special service investigation rooms in 26 provinces, especially for those citizens who have trafficking cases.

3. The establishment of 18 unit Integrated Service Centre, for cases related to women and children who need legal, medical and psychological help.

In additional, the hospital (32) and NGOs (137) also provide centre for VAW cases.

The Legal Practitioner

The establishment of legal aids.

The collective action program was two years program (2003-2005) focusing on the strengthening the legal institutions and was designed as:

2. The Site of Struggle: The Policy Environment of Collective Actions

To conclude, as a collective action, the policy should be put firstly, in to a broader context of a policy environment, so we could trace the question of who informs the policy making. The policy environment can be seen as:

This is the site of struggle in collective action. The main policy maker (the Government and the Parliament) are responsible for setting up the legal framework which then elaborated by each legal institutions within the legal system domain. The public domain, the medical profession and the social workers are the groups who informs and influence the policy-making process, whether to the main policy maker, the legal system or the public domain. On the other hand, the women’s movement is located in the public domain along with the NGOs. However, each bubble and each box within also represent a sub-site of struggles which often contradicts to each other; for example, the public domain is a site of conflicting arenas between each box within it and reflected in the Government or the Parliament as each box informs their knowledge and interest to them.

3. The Problems and Limitations

However, there were some limitations to the policy and the collective action. Firstly, putting the collective actions initiated by the women’s movement and the INCW into the policy environment picture, the collective actions were limited to some part of public domain giving informations and pressures to the main policy maker and the legal system. Moreover, it only focuses on reforming the legal substances through the EDV Act (with some limitations as explained before) and the legal structures. However, it could not solved the problems of legal culture (embedded in social structure, culture and religion) which made the limitation in the EDV Act (by excluding the marital rape) and ineffectiveness of the legal infrastructures (which had been reported that it was used as a place for reporters to take a break during their duties in getting the criminal news from the Police).

Secondly, the VAW approach which emphasizes on the women creates a negative impression on the collective actions itself. There has been increasing negativism related to VAW approach in domestic violence cases. Many cases show that men could also become the victims of domestic violence and women could also become the perpetrator against her husband or her children. Moreover, it also created negative sentiments over the women’s movement and even to the word of “feminist” itself which often placed as an opposition to religious norms and the good versus ‘radical’. It is reflected from the statements released by the Indonesian Council of Islamic Scholars (the MUI) to a daily conversations through internets.[4]

Thirdly, the reliance to the State created some problems. Not only the problems of cultures which was behind certain attitudes, but also the problem of financing such legal services in for special legal treatments for VAW cases, as also explained by Sen (1998) for those who fights VAW on the basis of efficiency arguments that VAW cases needs a lot of budget. It also relies on the power relations within the organizations which often do not give recognition and rewards for their apparatus who have gender awareness as reported by many gender-awareness-trained-policewomen (INCW 2004). Moreover, they also faced the unequal power relations from the policemen. It is well-known among them that a policeman is considered more potential that a policewomen in such a field work that can be considered as more “masculine”. These policemen were reported as not being pro-active in handling domestic violence questions and on the contrary, asking questions which cornered the victims (ibid). Therefore, it created gender-blindles within the organization. However, some retired policewomen established a women’s organization (DERAP Warapsari) which is also part of the network of INCW which advocating the collective action. It is hoped that they could help in giving pressures for reform within the Police Department.

4. The Problems of Intersection

The problem becomes more complex when we take on board the issue of intersection (Crenshaw 2000). According to the UN VAW Declaration (1994), some women’s groups are more vulnerable than the others. In the context of Indonesia: religions, cultures, social status and age.

Firstly, different religions and cultures form different types of marriage. Islam, the dominant religion, recognize the polygamy which is accomodated in the Indonesian marriage law (although in some part of Indonesia, there are also found polygini marriages practices). On the other hand, especially for public servants, the state only recognizes the first wife. Thus, a women who is a second wife and whose husband is a public servant becomes more vulnerable for domestic violence. She becomes even more vulnerable considering the society’s perception on the second wife who is considered as a bad women because she “steals” somebody’s husband. Thus, the (Islamic) marriage law should also be reformed. The influential religious organization are not gender-responsive to this issue which can be seen through their statements as explained before and also the polygamy campaign (a polygamy award, books on the “beauty” and the benefits of polygamy marriages and so on). However, the emergence of moslem feminists gives a new hope in providing new information and knowledge in re-reading and re-interpreting the existing gender-biased implementation of Quranic verses.

Secondly, although the domestic violence can happen to women despite her social status, but it determines the access to legal proceedings. Therefore, it needs infrastructures and resources to reach the people within the remote areas. On the other hand, a bottom-up approach to collective action could be an alternative solution. Some women’s organizations provide a free legal services for domestic violence cases. In return, after completing the legal proceedings, they become the legal apprentice to the organization and help to assist the ‘new’ victims. Therefore, it builds a network accross the social status. Since in many areas, people usually consult their domestic problems to the local religious leader, the challenge is to give pressures to these informal organizations to be more gender-responsive in handling the domestic violence problem regarding the enactment of EDV Act.

Thirdly, the younger women are more vulnerable to domestic violence than older women, especially if her mother is economically dependent to her husband. For example, in a case where a daughter had been raped by her step father, her mother went to the general attorney office, asking to not press “hard” charges against her husband (INCW 2004). She was crying because she economically dependent to her husband. One general attorney admitted her dilemma when she handled this case. On one hand, if she put maximum charges and the judge approve it, then it would destroy the economic life of both mother and daughter, while on the other hand, she thought that giving him maximum charges is the way to bring justice for the daughter. In practice, this “moral dilemma” determines the responsiveness of the legal apparatus.

II. Conclusion

To conclude, the impacts of human development framework are: (i) the top-down approach to secure women’s rights related to VAW cases, particularly on domestic violence in Indonesia by the enactment of EDV Act (2004) and the gender mainstreaming in Parliament through the Prolegnas; (ii) The reliance on the state to provide necessary actions and infrastructure needed. However, it did not recognized that the state is not gender-neutral. Moreover, it created the problem of the state capacity: (i) to reform their legal culture (which is stemmed from the unequal power relation within state machineries) and; (ii) to finance the infrastructure and resources needed.

On the other hand, the collective action initiated by the INCW and the women’s movement was framed in a broader interconnected policy environment as a site of struggle. It posed the challenge to build a broader network, involving formal and informal groups within the society. Moreover, it also posed the challenges to critically analyze the VAW approach to domestic violence and the problem of intersection in order to present a better understanding of violence cases among the society, particularly to the religious groups.



[1] The preamble of Indonesian EDV Act states that: (i) every citizen entitled to rights to be secured and to freedom from any form of violence based on the Pancasila (the Nation’s ideology) and the Constitution. (ii) Any forms of domestic violence are considered as violating human rights and thus, become crimes against humanity; (iii) the state and society have to protect the victims of domestic violence, which are usually the women.

[2] In 2005, there were seven prioritized bills which are: the Criminal Code, the Criminal Procedures Code, the Witness Protection, the amendment of family law, the amendment of health law, the citizenship bill, and the anti-pornography bill.

[3] The Indonesian National Commission on Women was an independent institutions established by the Government in 1998 as a response to the VAW during the May riots which caused many women (especially from the Chinese ethnic) were being raped. The establishment of INCW is to prevent, handle and eliminate any forms of VAW.

[4] For an interesting conversation can be seen in the wanita-muslimah (meaning: Moslem women, wanita-muslimah@yahoogroups.com), a mailing-list groups in the internet whose members vary: women, men, different states, regions, religions, backgrounds and lines of thinking. This mailing list has its own website (www.wanita-muslimah.com) and also has produce a genderpedia website (www.genderpedia.org).