Laws alone can not secure freedom of expression; in order that every man present his views without penalty, there must be spirit of tolerance in the entire population. (Albert Einstein)
Wednesday, March 4, 2009
Partai Tidak Milih
Kebanyakan orang memahami golput sebagai sebuah sikap tidak peduli, acuh, abai atau bentuk ketidakpercayaan terhadap (elit) politik dan bagaimana sistem politik bekerja di Indonesia.
Saya kebetulan lagi terlibat menulis dan bantu mengedit catatan awal tahun (Cawahu) atas kinerja DPR di sepanjang tahun 2008. Satu hasil bacaankami adalah tentang bagaimana DPR mengelola berbagai kepentingan dan meramunya menjadi sebuah kebijakan yang menyelesaikan masalah sehingga diterima semua pihak. Tahun-tahun lalu, kami sudah terlalu sering berkata, DPR jarang sekali mengeluarkan produk kebijakan yang menyelesaikan masalah. Nambah masalah sih sering. Tahun ini kami menampilkan bagaimana DPR mengelola dan mengolah aspirasi masyarakat menjadi suatu kebijakan… yang merugikan semua pihak. Niatnya sih mungkin win-win solution, kompromi… tapi apa daya semua pihak merasa tidak diuntungkan. Contoh sederhana, UU Pornografi yang kontroversial. Baik pihak yang mendukung, yang kontra, yang liberal dan yang fundamentalis sebenarnya ditipu. Tidak heran, dari kaum pekerja seni, aliansi bhineka tunggal ika, aktivis HAM, kelompok perempuan, sampai HTI pun mau mengajukan uji UU ke MK.
Proses kompromi pada interpelasi kasus lapindo dan BLBI juga begitu. Tim dibentuk dan Lapindo diharuskan bayar ganti rugi (meski dibilang penyebabnya adalah fenomena alam), tapi toh lapindo bebas. UU Usaha Mikro, Kecil dan Menengah akhirnya dihadirkan, tapi masih dengan pendekatan lama yang lebih mirip basa-basi dibanding kebijakan yang benar-benar mendorong UMKM yang punya kontribusi signifikan ke perekonomian negara itu.
Dunia politik kita memang suram. Produk yang dihasilkan dari senayan memang selalu produk politik. Sedimentasi atau bahkan residu dari proses politik. Tapi apakah yang residu tadi menyelesaikan masalah dan menguntungkan buat masyarakat ke depan, nah itu die masalahnya.
Kalau mau menelusuri lagi, banyak hal yang membuat dunia politik kita makin suram dan mendorong orang berpikir untuk menjadi golput (untuk beberapa di antaranya, lihat: http://public.kompasiana.com/2009/03/06/simulus-fiskal-2009-stimulus-golput-2009/) .
Partai politik jarang ada yang punya platform yang jelas. Yang menampilkan kebersihan pun, bukan tanpa cela. Fundamentalis gaya baru, yang dibungkus dengan kesopanan yang membumi. Keliatannya terbuka, tapi kadang menipu. Kenapa dibilang menipu, karena kadang-kadang keliatan aslinya, yang ironisnya, terlihat berseberangan dengan segala hal-hal baik yang dikampanyekan sebagai trade marknya. Mungkin memang itu tantangannya kalau mengaku-ngaku baik dan bersih. Tuntutannya lebih tinggi. Toh katanya, barang siapa menempuh jalan kesucian, siap-siaplah menghadapi kelokan yang berliku, terjal dan berbatu! Mending kita, yang memang tidak mengaku mengambil jalan itu, sekedar menjalani kehidupan bagai menikmati secangkir sanger (kopi susu khas Ulee Kareng, Aceh) dan setangkup roti srikaya.
Kembali ke laptop, platform politik ini pun seringkali berubah-ubah, tergantung isu yang dibahas. Yang mendasarkan pada nasionalisme (dan sekulerisme), cuma bisa walk-out. Secara politik, memang terlihat sebagai aksi yang keren, berani dan keliatan "beda dari yang lain. Tapi tidak menimbulkan pengaruh apa-apa pada level kebijakan. Yang keliatan islami tetapi tidak mau disebut partai islam dan mengagungkan pluralisme serta mengandalkan tradisi intelektualitas, tetap saja tidak berani mengatakan tidak untuk kebijakan-kebijakan yang mengarah pada membuat negara ini menjadi sektarian.
Selain tidak punya platform yang jelas, persepsi mereka mengenai diri sendiri sebagai partai politik pun tidak jelas. Mereka yang berusaha memperbaiki hal ini dan menawarkan konsep yang “berbeda” pun, masih punya cela. Ambil contoh, partai politik yang mengadopsi konsep dakwah dan politik menjadi satu yang diterjemahkan ke dalam bungkusan amal sekedar semakin menguatkan betapa agama ditempatkan sebagai alat politik. Dari ilmu politik pun menimbulkan pertanyaan, apa bedanya partai politik dengan lembaga amal/sosial?
Bahwa politik dan partai politik harus mengandung unsur kepekaan, saya setuju sekali. Tapi masalahnya adalah, bagaimana kepekaan ini seharusnya dilakukan oleh partai politik. Apa sih porsi partai politik yang dalam hal ini jelas beda dengan lembaga amal? Atau bentuk amal seperti bagaimanakah yang seharusnya dilakukan partai politik? Kuncinya satu: keberpihakan dalam kebijakan! Saya teringat teman saya, salah satu councilmen di district II Maryland, US. Dia secara reguler melaporkan “amal”nya dia kepada para konstituen. Bahwa dia membantu memfasilitasi kebijakan di bidang pendidikan yang berdampak pada pembentukan atau perbaikan sekolah, pelayanan publik yang lebih baik dsb di wilayahnya. Ini bentuk "amal" yang sustainaibilitasnya terjamin. Bukan jenis amal yang hit and run, yang sifatnya kondisional, bila ada bencana… sedia rekening, kumpulin bahan, kirim mobil, dan pasang bendera partai. Amal jariyah anggota parlemen yang tetap menjaga relasinya dengan konstituennya. Mendengar, merespon dan melakukan. Memberi bukti, bukan sekedar janji.
Hal-hal lain yang membuat dunia politik suram terlihat tanpa harapan adalah anggota parlemen yang tidak mandiri, masih terikat pada fraksi, aturan internal DPR yang banyak mengandung logika demokrasi terbalik, budaya, ketidakmampuan, de el el. Dalam konteks ini, slogan “satu suara anda sangat berarti” menjadi sesuatu yang tidak logis. Tidak masuk akal.
Tapi, apakah golput tidak dapat disebut kekuatan politik? Salah. Tidak bisa bermain di kancah politik? Ah, salah juga! (kok tiba-tiba ke golput ya? hehehe..)
Golput justru pemilih yang sadar dan peduli. Singa yang tidur. Singa yang produktif, kok. Mengaum-ngaumnya hampir setiap hari dan tidurnya cuma sehari, waktu pemilu aja. Seperti layaknya singa yang tidak mau tunduk pada relasi kekuasaan yang tidak jelas, dia tidak bisa dihentikan hanya dengan fatwa. Singa yang akan bangun sendiri tanpa harus dipecuti dan ditakut-takuti oleh kata “haram”, bila memang aumannya didengar dan diikuti hingga membawa perubahan. Kalau gak, ya dengar aja lagunya efek rumah kaca, "Mosi Tidak Percaya" :-)
Golput bisa juga bermain di kancah politik. Siapa bilang golput tidak bisa bikin partai? Saya ingat waktu memantau pemilu di Belanda. Banyak terdapat partai-partai dengan nama lucu, salah satunya “Partai Tidak Milih” (geen vote partij, bener gak mam, terjemahannya?). Saya rasa, ini bisa saja terjadi, kalau singa-singa tidur ini pada kompak melakukan keusilan :P. Jumlahnya cukup besar, kok.
Wednesday, December 17, 2008
MP3 di Koalisi Transport Demand Management
MP3 diundang untuk hadir dalam FGD yang diadakan oleh Institute for Transport and Development Policy (ITDP) pada Rabu, 3 Desember 2008 di Restoran Handayani, Matraman. Tujuan dari FGD ini adalah membicarakan kerangka kebijakan di bidang transportasi. FGD dibuka dengan presentasi mengenai tiga hal yaitu hasil penelitian tentang parkir di Jakarta, kebijakan road pricing sebagai salah satu alternatif menyelesaikan masalah transportasi di Jakarta dan pengenalan konsep Transport Demand Management (TDM).
Mas Bagus dari FAKTA memaparkan hasil penelitian yang dilakukan Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) tentang revenue watch sektor perparkiran dalam memberi sumbangan bagi PAD APBD Propinsi DKI Jakarta. Persoalan parkir di Jakarta berawal dari paradigma dimana parkir ditempatkan sebagai sub sitstem public service dengan fokus manajemen untuk cari untung saja dan penerapan sistem jasa sewa lahan sehingga tidak ada tanggung jawab dari penyewa bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Di tataran implementasi, dibedakan antara parkir on street dan off street. Persoalan yang menyangkut biaya parkir on the street adalah biaya penarikan yang terlalu besar, disewakan pada para pedagang, sistem borongan/jual beli lahan, target petak parkir (misalnya Rp. 7 juta/hari di blok M), bayar dua kali (blok m dan senayan dll), mekanisme setor ke polisi, pembagian area resmi dan area fiktif, serta dikelola oleh petugas dan preman. Sementara persoalan yang menyangkut parkir off street adalah pihak pengelola swasta menganggap telah membayar double taxation sejak UU Pajak dan restribusi (1997) dan mengklaim bahwa biaya operasional tidak sesuai dengan pendapatan.
Persoalan juga ada di kelembagaan, BP Perparkiran yang diberi wewenang untuk mengelola parkir di DKI Jakarta. BP Perparkiran mengelola parkir on street saja, itupun tidak termasuk di wilayah ruang parkir yang bersinggungan dengan instansi lain seperti PD Pasar Jaya. Peraturan SK Gubernur No. 177/2000 yang menjadi dasar acuan dianggap sudah usang karena ada titik-titik parkir yang sudah hilang sehingga harus direvisi. Kondisi ini diperparah dengan masalah status kelembagaan yang tidak jelas, wewenang dan otoritas, persoalan kapasitas yang rendah dan tidak adanya lembaga pengawas. Persoalan lain yang tidak kalah penting, adalah tingkat kebocoran yang mencapai 112%. Sangat besar dibandingkan dengan potensi sesungguhnya yang belum tergali atau sudah tergali tapi bocor.
Presentasi kedua dari Masyarakat Transparansi Indonesia mengenai road pricing, yaitu salah satu kebijakan transportasi dimana pengguna kendaraan dikenakan biaya apabila melewati jalan atau area tertentu. Kegunaannya cukup penting sebagai sumber pendapatan untuk perbakan sistem transportasi, mengurangi kemacetan dan lingkungan.
Road pricing berbeda dng toll pricing. Toll pricing adalah kutipan pada ruas2 jalan tertentu, jembatan, tunnel dengan tujuan utama untuk membiayai sebagian atau seluruh biaya modal, operasi dan perawatan dari infrastruktur tsb. Sementara road pricing adalah kutipan ruas-ruas jalan atau area ttt sbg bagian dari TDM dengan tujuan menggunakan biaya sebagai alat untuk mempengaruhi sebagian pemakai jalan untuk mengubah perilkaku perjalanan mereksa sehingga kinerja lalu lintas yang telah ditentukan dapat tercapai. Sehingga, road pricing bertujuan untuk mengubah perilaku, bukan sebagai pembiayaan atas pembuatan dan pemelihraan infrastruktur.
Di negara lain, road pricing terbukti efektif menurunkan tidak saja traffic kendaraan namun juga perpindahan dari kendaraan pribadi ke transportasi atau angkutan publik dan juga lingkungan yang lebih bersih serta penghematan energi. Namun demikian, perlu ada faktor pendukung lain seperti adanya dukung kebijakan di sektor lain, political will, peran serta masyarakat.
Presentasi terakhir dari ITDP mengenai TDM, yaitu segala macam strategi untuk mengefisiensikan pererakan manusia dan barang serta pemanfaatan sdtransportasi, ruang, bahan bakar, waktu perjalanan dll. TDM mempersoalkan demand dan supply. Komponennya terdiri dari faktor-faktor pull measure yaitu faktor yang menarik orang dari kendaraan pribadinya dan faktor-faktor push measures yaitu yang menekan penggunaan kendaraan pribadi.
Sebagai penutup, forum ini membicarakan isu-isu penting yang perlu diperhatikan dalam membentuk koalisi TDM, yaitu pentingnya mengumpulkan contoh yang sudah ada, keterlibatan NGO dan masyarakat, kelemahan pemerintah dalam PR dan komunikasi kebijakan, proses eksplorasi hingga implementasi dengan seluruh stakeholder, studi cost benefit masyarakat, daftar prioritas upaya TDM, sosialisasi dan governance, serta perlu adanya juru bicara atau champion untuk membawa isu-isu transportasi publik di media massa. Tujuan koalisi ini memperhatikan aspek-aspek hukum, ekonomi, lingkungan dan sosial demi pelayanan publik di bidang transportasi yang baik di DKI Jakarta.
UU Pornografi tidak Menjamin Hak Perlakuan Khusus untuk Perempuan
http://www.pshk.or.id/site/details.viewer.php?catid=7b8302aeaec8a3ce743058fabd0deefc&cgyid=58ff1b71f40474859fda135ce3a4d433
Tujuan Undang-Undang Pornografi untuk melindungi perempuan dan anak-anak perlu dipertanyakan. UU Pornografi tidak saja berpotensi mengkriminalkan perempuan korban trafficking, namun juga tidak melindungi hak untuk memperoleh perlakuan khusus yang dijamin oleh konstitusi. Hal ini muncul pada diskusi “Kritisi UU Pornografi dari Aspek Hukum Pidana” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) bekerjasama dengan Kalyanamitra di Perpustakaan Hukum Daniel S. Lev Selasa (2/12/2008) kemarin. Diskusi ini merupakan bagian dari seri diskusi kajian terhadap UU Pornografi dari pelbagai aspek.
Hak Memperoleh Perlakuan Khusus
Narasumber dari LBH APIK, Sri Nurherwati, menggugat Pasal 23 UU Pornografi yang menyatakan bahwa proses beracara UU Pornografi mengacu pada KUHAP, utamanya mengenai penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan, kecuali diatur secara khusus oleh UU Pornografi. Hal ini tidak sejalan dengan hak mendapat perlakuan khusus yang dijamin Pasal 28 H ayat (2) konstitusi yang berbunyi, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Padahal, pelaksanaan hak ini sudah dilakukan pada UU KDRT dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dengan menyediakan prosedur atau hukum acara khusus untuk perempuan korban KDRT dan trafficking. Hal ini merupakan pelanggaran hak konstitusi yang serius, mengingat target terbesar traffiking adalah industri pornografi.
Selain tidak memberikan prosedur khusus untuk perempuan korban trafficking yang dijamin oleh konstitusi, UU Pornografi juga berpotensi mengkriminalkan korban trafficking. Pasal 8 UU Pornografi menyatakan “Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi”. Meski tidak secara eksplisit menyebutkan perempuan dan ada unsur “sengaja” atau “persetujuan dirinya”, UU Pornografi tidak melihat relasi dan struktur sosial yang menempatkan perempuan dalam posisi korban pada industri pornografi dan sebaliknya, mengambil pendekatan yang represif dengan mengkriminalkan korban.
Narasumber lain dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Arsil, mengangkat persoalan kerumitan pengaturan tindak pidana dalam UU Pornografi. Pasal yang mengatur ketentuan pidana harus dibaca berbarengan dengan Pasal 1 dan Pasal 4 ayat (1) berikut penjelasannya. Bandingkan dengan model yang dipakai oleh KUHP dalam merumuskan pasal yang lebih sederhana. Selain itu, substansi yang diatur dalam UU Pornografi telah diatur dalam KUHP. Salah satu peserta, Ali dari kantor hukum Adnan Buyung Nasution, menambahkan hal baru yang ditambahkan di UU ini adalah alat bukti digital. Keanehan prosedur hukum acara di UU Pornografi juga terlihat di Pasal 43 yang mengatur gugatan perwakilan (class action) yang merupakan mekanisme perdata dan bukan pidana.
Pelanggaran terhadap Asas Hukum dan Pasal Konstitusi Lainnya
Patra dari YLBHI juga mengemukakan beberapa pelanggaran lain yang dilakukan oleh UU Pornografi ini. Pertama, UU Pornografi melanggar asas kepastian hukum. Definisi pornografi sangat tergantung pada konteks waktu dan norma kesusilaan masyarakat. Definisi pornografi yang berlaku di negara lain pun tidak detail sehingga tidak ada perumusan definisi pornografi yang ideal yang dapat digunakan sebagai pedoman.
Sementara itu, parameter untuk mengkategorikan apakah suatu tindakan merupakan tindakan pidana atau bukan adalah niat jahat, tindakan jahat, kerugian, kapasitas pidana dan tanggung jawab pidana yang memerlukan parameter untuk membuktikannya. Dolus, atau kesengajaan, mensyaratkan adanya unsur pengetahuan bahwa perbuatan tersebut adalah ilegal (wetten) dan unsur perbuatan itu dikehendaki oleh si pelaku (willen). Unsur-unsur ini sulit diaplikasikan dalam UU Pornografi sehingga berpotensi melanggar asas kepastian hukum.
Kedua, dari persepektif HAM, UU Pornografi juga melanggar Pasal 28I ayat (2) yang menjamin bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Suatu UU dikatakan diskriminatif bila melakukan pembatasan yang merujuk pada orang atau sekumpulan orang. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) a menyebutkan materi pornografi yang memperlihatkan persenggamaan lesbian dan homoseksual termasuk persenggamaan yang dianggap menyimpang dan dilarang oleh UU Pornografi.
Cukup Kuat untuk Uji UU ke MK?
Namun demikian, cukup kuatkah untuk menjadi bahan argumentasi mengajukan uji undang-undang ke MK? Menyusun dan mengemas argumentasi menjadi sebuah permohonan uji undang adalah persoalan tersendiri. Patra menambahkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun argumentasi untuk uji undang-undang, yaitu persoalan legal standing dan hubungan kausal antara pasal yang bermasalah dan potensi kerugian. Dalam kaitannya dengan kepentingan perempuan, UU Pornografi tidak secara spesifik menyebutkan diskriminasi atau kriminalisasi terhadap perempuan. Namun demikian, pelanggaran terhadap hak perlakuan khusus terhadap perempuan merupakan substansi yang dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Sementara itu, Arsil mengingatkan mengenai tujuan dari pengajuan uji undang-undang dan konsekuensi hukum yang terjadi bila uji undang-undang itu dikabulkan oleh MK. Pengajuan uji undang-undang terhadap Pasal 2 berdasarkan hak untuk memperoleh perlakuan khusus yang diatur pada Pasal 28 H (2) merupakan ketentuan hukum acara. Bila ini dikabulkan, maka bukan berarti UU Pornografi ini tidak memiliki ketentuan hukum acara dan tidak bergigi lagi. Pengaturan hukum acara pidana tetap merujuk pada KUHAP.
Menggugat Landasan Filosofis RUU Pornografi
Naskah Akademik adalah tempat yang tempat untuk menggali landasan filosofis suatu RUU. Latar belakang filosofis RUU Pornografi adalah keinginan untuk meluruskan moralitas bangsa Indonesia di tengah perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi dimana Masyarakat Indonesia telah mengadopsi nilai-nilai budaya tertentu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan mengancam persatuan dan kesatuan dengan perbuatan yang tidak bermoral, melanggar etika, tidak sopan, serta tidak menghargai dan menghormati kepentingan umum.
Naskah akademik RUU ini juga menempatkan RUU Pornografi sebagai: (i) pedoman bagi masyarakat dalam memilah budaya di era globalisasi; (ii) alat transformasi bagi masyarakat yang tidak menganut budaya yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila; (iii) alat untuk mengurangi terjadinya kasus-kasus kejahatan seksual dan perbuatan a-moral atau a-susila yang mengganggu tujuan nasional dalam Alinea IV UUD 1945; (iv) instrumen tambahan yang mengurangi kemungkinan terjadinya konflik sosial yang diakibatkan oleh pornografi serta alat untuk menegakan etika, sopan-santun dan budi luhur dalam kehidupan bermasyarakat; meningkatkan kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa dan meningkatkan penghormatan terhadap ketentuan hukum dalam kehidupan bernegara (Naskah Akademik RUU Pornografi hal. 3-5).
Alasan terbesar mengapa RUU Pornografi bermasalah dan menimbulkan kontroversi adalah karena sejak awal, dari landasan filosofisnya, RUU Pornografi memiliki pemahaman dan pendekatan yang keliru.
Pertama, RUU ini memfokuskan pada moralitas dengan pendekatan pelarangan yang mengabaikan hak-hak individu serta mengkriminalisasikan korban pornografi dan tidak melihat masalah pornografi sebagai industri yang perlu diregulasi dan dibatasi.
Meski RUU ini memberikan definisi, mengkategorikan jenis pornografi dan perbuatan yang dilarang, namun RUU ini tidak memberikan parameter serta batasan yang jelas kecuali keinginan untuk meluruskan moralitas masyarakat. Hukum memerlukan parameter obyektif yang dapat diukur. Pendekatan yang menekankan pada pengaturan perilaku berdasarkan moralitas malah menimbulkan aturan-aturan yang parameternya bersifat subyektif, tidak jelas dan mendefinisikan pornografi sesuai moralitas masing-masing. Pada akhirnya, RUU pornografi yang tercipta adalah aturan-aturan dengan parameter subyektif dan membuka celah-celah yang berpotensi tidak saja mengabaikan hak-hak individu namun juga menimbulkan konflik sosial baru dalam kehidupan bermasyrakat dengan alasan penegakan moralitas. Alih-alih ditujukan untuk persatuan dan kesatuan bangsa, malah menimbulkan potensi pemecah bangsa.
RUU ini memerangi kejahatan seksual dengan menegasikan korban-korban perdagangan manusia yang umumnya menjadi komoditas pornografi dengan menempatkan mereka sebagai salah satu pelaku kriminal tindak pidana pornografi. Karenanya, hukum yang dihasilkan juga bersifat represif dengan mengkriminalkan mereka yang dianggap tidak bermoral dan para korban industri pornografi.
Kedua, RUU ini kontradiktif dalam melihat nilai-nilai Pancasila, budaya dan kebhinekaan masyarakat Indonesia. Di satu sisi, RUU ini mengakui keragaman budaya dan kebhinekaan Indonesia, namun di sisi lain menempatkan “materi seksualitas” dalam bidang budaya, pendidikan dan kesehatan sebagai “materi pornografi yang ditoleransi” dan karenanya dikecualikan. Perspektif RUU ini menempatkan segala bentuk dan representasi “materi seksualitas” sebagai materi pornografi, termasuk segala jenis hasil karya budaya, materi pendidikan dan pengobatan. Pengecualian yang dilakukan terhadap budaya, pendidikan dan pengobatan dilihat sebagai bentuk “toleransi masyarakat Indonesia terhadap pornografi”, seperti yang tercantum dalam naskah akademis RUU Pornografi:
“.... masyarakat Indonesia yang umumnya masih menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila pada tingkatan tertentu memiliki toleransi terhadap pornografi. Mereka memahami bahwa dalam kondisi tertentu bagi sebagian orang-orang, pornografi merupakan suatu kebutuhan (misalnya: untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan atau pengobatan gangguan kesehatan seksual).”
Dengan demikian, RUU ini tidak mampu menghargai nilai-nilai budaya dan kebhinekaan Indonesia. Sebaliknya, RUU ini justru melihatnya sebagai nilai-nilai yang menghancurkan masyarakat Indonesia dan melihat masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang meski menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, namun memiliki tingkat toleransi terhadap pornografi. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan mengenai konsep dan pemahaman RUU ini terhadap nilai-nilai Pancasila, budaya dan kebhinekaan masyarakat Indonesia.
Thursday, December 4, 2008
RUU Pornografi Masih Bermasalah
Jumat, 19/09/2008 14:28 WIB
RUU Pornografi masih bermasalah
oleh : Herni Sri Nurbayanti
Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
Diskursus RUU Pornografi mulai berkembang dengan tidak sehat. Ada kecenderungan dalam masyarakat untuk mempolarisasikan posisi menolak dan mendukung dengan stigma-stigma tertentu.
Untuk mendalami masalah ini berikut perbincangan dengan Herni Sri Nurbayanti, peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan anggota Jaringan Kerja Prolegnas Pro-Perempuan (JKP3) pekan ini sebelum bertolak ke AS memantau jalannya Pemilu AS.
Apa yang membuat Anda sebagai perempuan begitu gusar dengan RUU Pornografi. Bukankah justru perempuan yang terlindungi?
Keadaan tidak menjadi membaik ketika isu pornografi dikaitkan dengan isu agama. Dampaknya, ada stigma bahwa mereka yang menolak dianggap selain mendukung pornografi dan tidak melihat pornografi sebagai sebuah masalah namun juga dianggap tidak religius atau bahkan tidak punya rasa/nilai/moral. Sehingga perdebatan yang terjadi sebatas menolak dan mendukung saja, tidak benar-benar fokus pada isu pornografinya sendiri.
Arus penolakan terhadap pornografi perlu dilihat sebagai kritik terhadap pornografi yang sebenarnya mempertanyakan, apa dan siapa yang menjadi sasaran dari RUU Pornografi serta pendekatan yang diambil RUU Pornografi dalam menyelesaikan masalah pornografi di Indonesia.
Penolakan terhadap RUU Pornografi berangkat dari kritik RUU Pornografi yang tidak tepat sasaran dan malah menyasar apa yang seharusnya bukan sasaran RUU Pornografi.
Banyak suara skeptis menyatakan ini adalah kado Ramadhan?
Terlepas dari kado Ramadan atau tidak, semangat mengaitkan isu ini dengan bulan suci ini seharusnya juga dibarengi dengan pikiran yang jernih terhadap alternatif-alternatif pendekatan penyelesaian masalah pornografi dan bagaimana membungkus RUU yang benar-benar menyelesaikan masalah pornografi, tanpa menimbulkan masalah baru, dalam proses yang partisipatif.
Kalau boleh tahu sebetulnya bagaimana proses RUU ini?
Menjelang akhir September 2008, DPR dihadapkan pada setumpuk pekerjaan legislasi. Salah satunya, RUU Pornografi yang pembahasannya dimulai Juni di Panitia Khusus (Pansus). RUU ini dijadwalkan ditandatangani Raker Pansus 18 September 2008 dan disahkan di Rapat Paripurna pada 23 September 2008 mendatang. Namun, RUU ini belum menjawab berbagai masalah penting sehingga masih prematur untuk disahkan.
Masalah apa itu?
Definisi Masih Bermasalah. Perubahan draf RUU sering dilakukan, namun masalah mendasar di definisi belum selesai. Rumusan definisi terakhir: "Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat".
Definisi ini memasukkan unsur yang bukan pornografi, frase yang digarisbawahi, serta unsur yang tidak jelas parameternya (yang dapat membangkitkan hasrat seksual) dan mencampuradukan terminologi seksualitas dengan pornografi sehingga tidak tepat sasaran dan multi-interpretatif.
Padahal, naskah akademik RUU Pornografi memuat kajian yang ekstensif mengenai definisi pornografi. Namun, tidak terefleksikan hasilnya dalam rumusan definisi.
Banyak suara menakutkan dengan RUU ini akan mengintervensi hak seksualitas masyarakat? Apa betul?
RUU tidak memberi batas ruang privat dan publik serta menggunakan pendekatan intervensi penuh terhadap ruang privat untuk semua materi pornografi yang definisinya tidak tepat dan multiinterpretatif. Hal ini akan menimbulkan masalah pada praktiknya.
Sebagai contoh, Pasal 20 dan 21 membuka peran masyarakat untuk melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebaran, dan penggunaan pornografi dengan melaporkan pelanggaran dan untuk tindakan ini diberi perlindungan hukum.
Namun, dengan definisi dan batasan pornografi yang tidak jelas dan multi-interpretatif, pelaksanaan peran masyarakat untuk mencegah pornografi akan menimbulkan permasalahan baru.
Lalu pendekatan apa yang tepat?
Semestinya, pendekatan yang perlu digunakan adalah memberi batas ruang privat-publik dengan parameter penghapusan (zero tolerance) terhadap pornografi anak dan yang mengandung unsur kekerasan terhadap perempuan.
Di luar itu, memberi batasan ruang privat dan publik yang jelas dengan regulasi distribusi dan penggunaan pada ruang privat dan menutup akses anak. Ruang privat ini bisa ditembus hanya ketika digunakan untuk pornografi yang termasuk zero tolerance tadi.
Lalu pendekatan apa yang menurut Anda sesuai untuk RUU ini?
Kriminalisasi, bukan Perspektif Korban. RUU ini menggunakan pendekatan kriminalisasi terhadap objek atau model pornografi (istilah yang digunakan RUU), bukan perspektif korban.
Seharusnya RUU ini menggunakan pendekatan perspektif korban yaitu dengan menempatkan mereka sebagai korban yang penanganannya bukan mengkriminalisasikannya, namun menyediakan fasilitas pembinaan, pendampingan, pemulihan ekonomi dan sosial, kesehatan fisik serta mental.
Pendekatan kriminalisasi tidak menyelesaikan masalah dan mengesampingkan fakta pornografi sebagai salah satu tujuan perdagangan perempuan, apalagi untuk pornografi yang mengandung unsur kekerasan terhadap perempuan.
Mereka adalah korban, bukan pelaku kriminal. Dengan mengkriminalkan korban, justru menempatkan mereka ke jurang lebih dalam.
Lalu bagaimana proses legislasi. Apakah ini tak berjalan?
Proses Legislasi Tidak Partisipatif. RUU ini juga bermasalah dari segi proses legislasi. RUU yang direvisi belum tersosialisasikan dengan cukup, padahal Risalah Laporan Singkat Rapat Pleno Pansus 14 Mei 2008 mencatat sosialisasi masih perlu dilakukan. Partisipasi publik makin tertutup dengan Rapat Panitia Kerja (Panja) yang tertutup.
Tatib DPR mengatur Rapat Panja tertutup, kecuali dinyatakan terbuka. Namun mengingat substansi dan dampak RUU yang luas, seharusnya ada kepekaan politik untuk menyatakan rapat Panja terbuka untuk umum, seperti RUU Kewarganegaraan, RUU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan RUU Pelayanan Publik.
Kemampuan teknis Pansus dalam mengolah aspirasi masyarakat masih lemah. Berbagai elemen masyarakat selama ini berinisiatif untuk beraudiensi dan mengadvokasikan masukannya, namun masih banyak yang belum diakomodasi.
Pekan depan RUU ini bakal diteken. Ini artinya sudah final lalu bagaimana?
Pornografi adalah keprihatinan kita bersama. Persoalannya adalah bagaimana menyusun RUU yang tepat sasaran, tidak menimbulkan masalah baru serta melalui proses pembentukan hukum yang bertanggungjawab secara sosial.
RUU Pornografi belum memenuhi ketiga kualifikasi tersebut. Apakah DPR ingin mengesahkan RUU yang bermasalah seperti ini?
Pewawancara: Algooth Putranto Wartawan JBII/Monitor Depok
Saturday, May 24, 2008
LDT terakhir dengan BRR
Sunday, March 2, 2008
Bumerang Ranperda Moral
Kalau dilihat dari kacamata Metodologi Pemecahan Masalah (MPM) dalam perancangan undang-undangan, hal ini bisa langsung dipatahkan di langkah pertama, penentuan masalah sosial. Tidak jelas masalah sosial apa yang hendak diselesaikan. Cara berpikirnya simple saja. Sesuatu itu dilarang, apalagi tindakan tertentu yang sangat-sangat spesifik, ciuman di depan publik selama lima menit, umumnya karena banyak orang yang melakukan itu dan berdampak pada masyarakat, tidak saja melanggar norma sosial masyarakat namun dampak langsung lainnya. Lantas, coba lihat sekitar. Ada gak sih di sekitar kita, orang-orang yang berciuman di depan publik lebih dari 5 menit? Saya rasa tidak ada. Masyarakat kita masih sopan. Belum se-bebas Singapura misalnya, untuk urusan ciuman di depan publik. Kalaupun tindakan ini dilakukan, saya rasa masyarakat kita masih "tau diri" dengan tidak melakukannya di ruang publik yang tidak benar-benar "publik" atau tempat publik yang tertutup, misalnya di kafe-kafe atau pub-pub remang-remang. Itupun perlu penelitian juga, apakah benar ada yang berciuman lebih dari 5 menit?
Sampai sini perdebatan usai. Namun, bukan ini yang mau saya bahas. Saya tergelitik melihat berbagai jenis respon dari masyarakat, terutama mereka yang secara konsisten menentang kelompok para pengusung moralitas berbalut nilai keagamaan tertentu karena peraturan jenis ini umumnya berdampak langsung terhadap perempuan.
Pertama, peraturan ini justru memicu "pikiran-pikiran dosa". Ia menjadi stimulus yang kuat bagi mereka yang tadinya memiliki pikiran yang tidak ber"dosa" menjadi liar ingin melakukan "dosa-dosa" yang dicoba dicegah oleh Ranperda tadi.
"Kenapa dilarangnya 5 menit?"
"French kiss kali ya"
"Tapi apa iya, sesingkat-singkatnya french kiss, lima menit tetap waktu yang membuat bibir jadi pegel"
"Atau jangan-jangan sudah dibuat percobaan sendiri, kalau batas 5 menit itu adalah batas waktu yang cukup bikin pegal bibir atau batas waktu yang dianggap cukup untuk menimbulkan kerugian di muka publik?"
Sebagian lain meresponnya secara ekstrem:
"Mungkin orang-orang yang melarang itu tidak tau betapa nikmatnya ciuman"
Yang paling ekstrem, ada yang melontarkan gagasan untuk melawan Ranperda ini dengan melakukan aksi berciuman di depan publik. Biar dramatis, dilakukan oleh puluhan pasangan suami-istri dan dilakukan di tempat publik yang benar-benar ramai. Bandara jadi pilihan.
Lalu saya jadi teringat dengan filosofi sederhana seorang ibu yang justru tidak mau melarang-larang anaknya. Sedari kecil anaknya sudah dibekali pengetahuan soal seks. Bahkan meranjak SMP pun, "ijin pacaran" sudah keluar. Alasannya sederhana saja, anak kalau dilarang malah makin nakal. Lebih baik diberitahu, diberi batas-batas dan "wanti-wanti". Dibuka diskusinya sehingga bisa terawasi daripada dilarang dan malah jadi liar. Menggunakan asumsi efek terbalik. Kebanyakan orang tua tidak berani menanggung resiko ini, tapi ibu itu berani keluar dari mainstream ibu pada umumnya.
Ternyata pola yang sama berlaku juga di perancangan peraturan. Peraturan yang mencoba mengatur moralitas dengan pendekatan yang sangat represif, tidak dewasa dan tidak bijaksana layaknya seorang orang tua yang seharusnya, terbukti justru malah jadi pemicu orang-orang untuk berbuat "dosa", yang ironisnya adalah melawan dari tujuan peraturan itu sendiri.
Wednesday, December 19, 2007
Mendorong Lahirnya Undang-Undang Pro-Perempuan
Ulasan Mingguan Mei 2005 Minggu Ketiga
Oleh: Herni Sri Nurbayanti
"Ketika kita bicara mengenai perempuan selalu jadi bahan tertawaan. Kenapa ketika membicarakan mengenai perempuan tidak seperti membicarakan masalah lain. Kalau ada yang salah kita koreksi, tetapi jangan menjadi obyek tertawaan." (Hj Azlaini Agus, S.H., pada sesi tanya jawab RDPU KOWANI, APAB dan Koalisi Perlindungan dengan Baleg DPR RI, Kompas, 16 Mei 2005)
Lelucon Misoginis
Pada 15 Mei lalu, Korps Wanita Indonesia (KOWANI), Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB), dan Koalisi Perlindungan Saksi (KPS) hadir dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Legislasi DPR (Baleg DPR). Ketiga lembaga itu mempresentasikan usulan Amandemen Undang-Undang (UU) Perkawinan (KOWANI), RUU Perlindungan Saksi serta rancangan amandemen UU Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan. Namun dalam kesempatan tersebut, beberapa anggota Baleg yang hadir sempat menertawakan konsep usulan Amandemen UU Perkawinan yang disampaikan oleh KOWANI. Selain itu, beberapa komentar "bercanda" bernada mengejek juga kerap dilontarkan. Salah satunya adalah "Kami menurut saja, kalau perlu kami ‘dipotong’ saja" (Kompas, 16 Mei 2005). Sikap menertawakan serta komentar-komentar mengejek ini yang kemudian memunculkan sikap protes dari salah satu anggota legislatif seperti yang dikutip di atas.
Perempuan memiliki hak setara dalam segala bidang sosial, termasuk ranah politik. Hal ini diwujudkan antara lain dengan pemenuhan hak-hak politik perempuan, pembukaan akses bagi perempuan di bidang politik serta perhatian terhadap kepentingan perempuan di parlemen. Banyak hal yang telah dilakukan, meski pada prakteknya masih memiliki kelemahan. Pengakuan terhadap hak pilih bagi perempuan, penetapan kuota 30% bagi perempuan di parlemen, serta pembukaan akses politik perempuan di tingkat partai politik adalah bagian dari upaya-upaya tersebut.
Upaya lain yang perlu diperhatikan adalah, perempuan (dan anak) sebagai bagian dari kepentingan yang perlu diperhatikan dalam proses pengambilan kebijakan. Bagaimana kepentingan perempuan (dan anak), sebagai kaum rentan, diperhatikan dalam pengambilan kebijakan termasuk dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan. Populasi perempuan yang besar dan menjadikannya sebagai stakeholder/kelompok kepentingan yang perlu diperhatikan pengambil kebijakan termasuk di parlemen.
Dengan demikian perjuangan kepentingan perempuan di parlemen bukan dominasi dari para anggota legislatif atau kaum perempuan secara umum saja. Bagaimana parlemen memiliki perspektif perempuan dalam merancang, menilai dan membahas peraturan perundang-undangan. Sikap menertawakan serta ejekan dalam nada "bercanda" dalam forum RDPU jelas tidak menunjukkan keseriusan anggota DPR dalam memperhatikan kepentingan perempuan. Kondisi ini yang menunjukkan gejala tidak berubahnya sikap anggota DPR terhadap persoalan perempuan. Suatu kondisi yang memprihatinkan, mengingat sikap tersebut ditunjukkan oleh anggota DPR hasil pemilihan umum tahun 2004, yang sekitar 70% di antaranya merupakan "wajah baru" sehingga ada harapan akan perubahan cara pandang.
Kepentingan Perempuan dalam Prolegnas 2005-2009
Masih terdapat peraturan perundang-undangan yang diskriminatif, bias gender, dan kurang responsif terhadap perlindungan hak asasi manusia terutama hak-hak kelompok yang lemah dan marginal (Program Legislasi Nasional 2005-2009) menunjukkan belum seriusnya DPR dalam memperhatikan kepentingan perempuan dan anak. Realisasi komitmen sangat jauh dari perencanaan. Kondisi inilah yang melatarbelakangi terbentuknya Jaringan Kerja (Jaker) Prolegnas Pro Perempuan. Jaringan ini terdiri dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi masyarakat lainnya yang memiliki rasa keprihatinan terhadap perjuangan kepentingan perempuan di parlemen.
Tujuan dibentuknya Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan ini adalah untuk memastikan pengarusutamaan jender tidak dimarjinalkan dalam filosofi penyusunan peraturan perundang-undangan, yaitu agar pembahasan menyangkut kepentingan perempuan segera dibahas dan disahkan oleh DPR. Sebagai tahap awal, ada tujuh RUU yang selayaknya menjadi perhatian DPR dalam jangka pendek, yaitu:
1. RUU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Belum ada aturan khusus mengenai tindak pidana perdagangan orang. Aturan yang ada tidak efektif dalam menjerat pelaku perdagangan orang. Kebutuhan akan peraturan mengenai hal ini semakin mendesak mengingat jumlah korban, terutama perempuan dan anak, yang diperdagangkan semakin bertambah dan modusnya pun semakin beragam. Peningkatan kasus tersebut semakin tajam setelah krisis ekonomi dan dalam berbagai wilayah di Indonesia yang terkena bencana alam.
2. RUU Pornografi dan Pornoaksi
Pornografi dalam perspektif kepentingan perempuan harus dilihat sebagai isu kekerasan. Kebutuhan akan aturan mengenai pornografi sangat signifikan berkaitan dengan kasus-kasus kekerasan yang terjadi akibat akses yang sangat terbuka bagi produk pornografi, terutama bagi anak-anak, serta produk-produk pornografi yang mengandung unsur kekerasan dan perendahan martabat perempuan. Dampaknya, munculnya kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak seperti penyerangan seksual, pelecehan seksual dan perkosaan. Selain itu, permasalahan pornografi juga perlu dilihat dari segi kepentingan bisnis para produsen dan distributor produk pornografi. Perempuan dan anak-anak yang terlibat dalam pornografi harus ditempatkan sebagai korban, dan bukannya pelaku yang dikriminalisasi. Hak-hak mereka perlu dilindungi sesuai dengan Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Perdagangan Orang dan Eksploitasi Pelacuran.
3. RUU Perlindungan Saksi
Belum ada aturan khusus mengenai perlindungan saksi, termasuk perempuan dan anak yang menjadi saksi korban. Mereka merupakan target kekerasan atau balas dendam dari si pelaku. Perlindungan tersebut diantaranya adalah memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma, ruang tunggu khusus dan hak khusus bersaksi lewat teleconference karena kondisinya yang tidak mampu bersaksi di Pengadilan. Akibat dari ketiadaan aturan mengenai ini, seringkali kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak dapat diproses secara tuntas.
4. Amandemen UU Kesehatan
UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 belum mengatur pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan perlindungan terhadap hak reproduksi perempuan. Hal ini berdampak bagi rasio kematian ibu yang masih besar. Perundang-undangan yang ada juga belum melindungi hak reproduksi perempuan, misalnya perempuan yang menderita HIV/AIDS karena tertular dari suami/pasangannya.
5. Amandemen UU Perkawinan
Beberapa permasalahan dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974:
- Melegitimasi subordinasi suami terhadap istri. Tidak ada pengakuan terhadap fakta dalam masyarakat yaitu terhadap para istri yang secara nyata menjalankan peran sebagai kepala rumah tangga. Dampaknya, pembatasan peluang perempuan terhadap akses sumber daya ekonomi dan sosial. Subordinasi ini juga mempersulit posisi istri untuk keluar dari lingkaran kekerasan dalam rumah tangga.
- Memberikan batas usia nikah bagi perempuan yang terlalu dini, yaitu 16 tahun. Ini menjadi salah satu penyebab tingkat kematian ibu karena berdampak pada kesehatan ibu dan bayi.
- Masih mengakui hak istimewa suami untuk menikahi lebih dari satu perempuan, di mana alasan-alasan yang mendasarinya justru merupakan bentuk penelantaran terhadap istri (yang sakit berat atau tidak mampu memberikan keturunan). Ini juga menjadi salah satu penyebab munculnya kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri dan anak-anak.
- Hanya mengakui hubungan keperdataan anak yang lahir di luar perkawinan dengan pihak ibu saja, tidak dengan pihak ayah. Akibatnya, hak anak untuk memperoleh pengasuhan dari kedua orangtuanya dan dalam memperoleh warisan serta akta kelahiran tidak terpenuhi.
- Tidak mengatur secara tegas kewajiban suami atau pihak pengadilan untuk memberikan nafkah bagi istri dan anak-anak setelah perceraian.
- Hanya mengatur pencatatan perkawinan untuk perkawinan dalam agama yang diakui resmi oleh negara. Akibatnya, posisi istri dan anak menjadi lemah di depan hukum, misalnya istri dan anak tidak berhak atas nafkah dan waris setelah putusnya perkawinan karena ketiadaan akta nikah.
6. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Substansi KUHP yang berlaku saat ini masih terlalu umum. Belum mengatur aspek pidana, hukum acara, pencegahan, perlindungan serta kompensasi korban yang secara spesifik berlaku terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Selain itu, mereduksi masalah kekerasan terhadap perempuan sebatas persoalan kesusilaan, sehingga tidak mencakup semua bentuk kekerasan yang dialami perempuan.
7. RUU Kewarganegaraan dan RUU Keimigrasian
Aturan mengenai kewarganegaraan dan keimigrasian yang ada belum memenuhi hak-hak perempuan dan anak, terutama pada perkawinan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda. Aturan yang ada masih mendiskriminasikan hak-hak perempuan dan anak hasil perkawinan antar bangsa untuk memperoleh kewarganegaraan dan hak untuk berkumpul sebagai keluarga, misalnya hanya pihak bapak yang melakukan penentuan kewarganegaran anak, istri/ibu WNA harus disponsori oleh suaminya agar memperoleh izin tinggal yang harus diperpanjang setiap tahun dan bila disponsori oleh suaminya ia tidak boleh bekerja, dll.
Tulisan ini diharapkan dapat mengingatkan kembali perlunya perhatian terhadap kepentingan perempuan dan anak di parlemen terutama bagi para anggota legislatif dan eksekutif yang terlibat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan (HSN/ES/BS)