Ini dibuat sebagai brief paper untuk advokasi RUU Pornografi yang dilakukan Jaringan Kerja Prolegnas Pro-Perempuan (JKP3) -herni
Naskah Akademik adalah tempat yang tempat untuk menggali landasan filosofis suatu RUU. Latar belakang filosofis RUU Pornografi adalah keinginan untuk meluruskan moralitas bangsa Indonesia di tengah perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi dimana Masyarakat Indonesia telah mengadopsi nilai-nilai budaya tertentu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan mengancam persatuan dan kesatuan dengan perbuatan yang tidak bermoral, melanggar etika, tidak sopan, serta tidak menghargai dan menghormati kepentingan umum.
Naskah akademik RUU ini juga menempatkan RUU Pornografi sebagai: (i) pedoman bagi masyarakat dalam memilah budaya di era globalisasi; (ii) alat transformasi bagi masyarakat yang tidak menganut budaya yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila; (iii) alat untuk mengurangi terjadinya kasus-kasus kejahatan seksual dan perbuatan a-moral atau a-susila yang mengganggu tujuan nasional dalam Alinea IV UUD 1945; (iv) instrumen tambahan yang mengurangi kemungkinan terjadinya konflik sosial yang diakibatkan oleh pornografi serta alat untuk menegakan etika, sopan-santun dan budi luhur dalam kehidupan bermasyarakat; meningkatkan kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa dan meningkatkan penghormatan terhadap ketentuan hukum dalam kehidupan bernegara (Naskah Akademik RUU Pornografi hal. 3-5).
Alasan terbesar mengapa RUU Pornografi bermasalah dan menimbulkan kontroversi adalah karena sejak awal, dari landasan filosofisnya, RUU Pornografi memiliki pemahaman dan pendekatan yang keliru.
Pertama, RUU ini memfokuskan pada moralitas dengan pendekatan pelarangan yang mengabaikan hak-hak individu serta mengkriminalisasikan korban pornografi dan tidak melihat masalah pornografi sebagai industri yang perlu diregulasi dan dibatasi.
Meski RUU ini memberikan definisi, mengkategorikan jenis pornografi dan perbuatan yang dilarang, namun RUU ini tidak memberikan parameter serta batasan yang jelas kecuali keinginan untuk meluruskan moralitas masyarakat. Hukum memerlukan parameter obyektif yang dapat diukur. Pendekatan yang menekankan pada pengaturan perilaku berdasarkan moralitas malah menimbulkan aturan-aturan yang parameternya bersifat subyektif, tidak jelas dan mendefinisikan pornografi sesuai moralitas masing-masing. Pada akhirnya, RUU pornografi yang tercipta adalah aturan-aturan dengan parameter subyektif dan membuka celah-celah yang berpotensi tidak saja mengabaikan hak-hak individu namun juga menimbulkan konflik sosial baru dalam kehidupan bermasyrakat dengan alasan penegakan moralitas. Alih-alih ditujukan untuk persatuan dan kesatuan bangsa, malah menimbulkan potensi pemecah bangsa.
RUU ini memerangi kejahatan seksual dengan menegasikan korban-korban perdagangan manusia yang umumnya menjadi komoditas pornografi dengan menempatkan mereka sebagai salah satu pelaku kriminal tindak pidana pornografi. Karenanya, hukum yang dihasilkan juga bersifat represif dengan mengkriminalkan mereka yang dianggap tidak bermoral dan para korban industri pornografi.
Kedua, RUU ini kontradiktif dalam melihat nilai-nilai Pancasila, budaya dan kebhinekaan masyarakat Indonesia. Di satu sisi, RUU ini mengakui keragaman budaya dan kebhinekaan Indonesia, namun di sisi lain menempatkan “materi seksualitas” dalam bidang budaya, pendidikan dan kesehatan sebagai “materi pornografi yang ditoleransi” dan karenanya dikecualikan. Perspektif RUU ini menempatkan segala bentuk dan representasi “materi seksualitas” sebagai materi pornografi, termasuk segala jenis hasil karya budaya, materi pendidikan dan pengobatan. Pengecualian yang dilakukan terhadap budaya, pendidikan dan pengobatan dilihat sebagai bentuk “toleransi masyarakat Indonesia terhadap pornografi”, seperti yang tercantum dalam naskah akademis RUU Pornografi:
“.... masyarakat Indonesia yang umumnya masih menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila pada tingkatan tertentu memiliki toleransi terhadap pornografi. Mereka memahami bahwa dalam kondisi tertentu bagi sebagian orang-orang, pornografi merupakan suatu kebutuhan (misalnya: untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan atau pengobatan gangguan kesehatan seksual).”
Dengan demikian, RUU ini tidak mampu menghargai nilai-nilai budaya dan kebhinekaan Indonesia. Sebaliknya, RUU ini justru melihatnya sebagai nilai-nilai yang menghancurkan masyarakat Indonesia dan melihat masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang meski menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, namun memiliki tingkat toleransi terhadap pornografi. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan mengenai konsep dan pemahaman RUU ini terhadap nilai-nilai Pancasila, budaya dan kebhinekaan masyarakat Indonesia.
No comments:
Post a Comment