Wednesday, December 31, 2008

Personal Kaleidoskop 2008


Hari ini tanggal 31 Desember 2008. Sebagai bagian dari latihan mengaktifkan sel-sel kelabu memoriku yang pelupa ini, baiklah kita mengingat-ingat apa saja yang terjadi selama setahun belakangan ini.

Kerjaan
Alhamdulillah, masih dipercaya menjadi Direktur Dokumentasi dan Informasi. Cuma, tahun ini Wiwid, pemred Jurnal Jentera, resign dan kami belum mendapatkan penggantinya. Ada beberapa perkembangan menarik. Pertama, tahun ini akhirnya berhasil memperoleh dana penerbitan sendiri, hasil dari kerja farli dan saya mengkompilasi peraturan perundang-undangan dan membantu rangkaian training panitera di padang, makassar dan jakarta. Kedua, kami membantu DPR menjadi bagian dari sebuah jaringan hukum yang katanya cukup prestisius, meskipun ada konflik di sana-sini (cuma, sikap kami tegas.. kami gak mau ikut2an urusan "politik", lempeng wae di urusan teknis). Ketiga, alhamdulillah dapet dana dari TAF untuk membeli buku perpustakaan. Sholikin dapet laptop (pinjeman) baru dari kantor.

Tahun ini juga adalah tahun "ban serep". Pertama, menggantikan ery sang dirop (direktur operasional -red) yang cuti sakit akibat back pain. Kedua, menggantikan erni sang dirprog (direktur program -red) yang cuti menikah dan menyelesaikan thesis. Saking seringnya menjadi ban serep, ery sampe becanda, mungkin perlu pasang iklan: "Anda butuh pengganti direktur sementara? Hubungi Herni, 0817 sekian sekian" :D.

Untuk eksplorasi pekerjaan, tahun ini program MJD yang diplesetkan menjadi Mudah-mudahan Jadi Dong :-) keliatannya sudah menghasilkan. Tepatnya, satu buku yang cukup tebal dijadikan bantal. Training panitera menghasilkan teman-teman baru di padang, makassar dan jakarta, belinda, yunita, ida, icha, sheila, bobby, panji, dida, pak rudi, pak erwan, ibu putu dll. Beberapa ide penelitian yang dulu sempat digagas alhamdulillah mulai terlaksana. Yang paling baru, penelitian kinerja DPRD di 9 wilayah.

Tahun ini juga penuh keanehan di beberapa program, soal interpretasi, faktor politik yang kental untuk kerjaan yang sebenarnya sangat teknis dan pekerjaan training assisstant yang harus disamarkan jadi translator. Ada juga yg mengecewakan. Kerjasama dengan CILC yang tadinya menyenangkan karena servaas, my dutch brother, yang memegang program itu akan datang ke Indonesia, eh servaasnya pindah ke Jerman. A part of me is sad, but a part of me is so happy to hear that he moves on with his life. He loves his wife so much that when she passed away, it seems impossible for him to live again. The only way I could think of is that to move to other place. So, it's good that he finally decided to start his life at a new place. So yes, am happy for him.

Last but not least, kerjaan di dua koalisi yang sedang hangat-hangatnya di tahun ini. Pertama, UU Pornografi yang penuh kontroversial, termasuk di dalam PSHK. Kedua, RUU Pelayanan Publik yang sampai sekarang belum disahkan DPR. Bikin lobby paper, talkshow, seminar, konferensi pers, lobby, dll.

Keluarga
Tahun ini, sakit diabetes mama makin parah. Obat gulanya termasuk obat yang paling keras, dosisnya pun dinaikkan dari 1mg menjadi 2 mg. Diminum 2x sehari, pagi dan sore. Belum lagi, ditambah dengan suntikan insulin di malam hari. Tipe insulin 24 jam, dosisnya berkisar antara 7-10ml, tergantung kadar gula di pagi hari. She once almost lost her sight, but after 4 times laser, obat ini obat itu, she finally could see. Text tv jadi patokannya hehe. And she can read qur'an again now, even still have to use the binocular. It's kind of cute, though.. watching her reading qur'an with kaca pembesar. But as always, I'm acting that her diabetis still can be managed. And always, always gives her reasons to live. That's how humans survive, right? Hope.

One big thing happened this year. I took a major commitment. A house! Yes, baby.. i finally keep my promise to buy us a house. Well, mas ade paid for most of the downpayment. I owe him around 44 mil. I don't how I'm going to pay it, but I'll pay it soon or later. He said that it's our house, but I intend to make it my house. So, although he's my brother, am going to pay him. But now, I need the money to buy the house stuffs, from teralis to kitchen set, from the bed to the stove. You name it. It's like I were marry or something, hehe. But hopefully, it's a place that we can always call... home.

Another big thing is mbak Helly went to UK for her Ph.D. Finally, she get a quite full scholaarship. I wish I could follow her step... but not know. Have to be a good girl, taking care of her mother. And that's totally fine with me.

Social Life
I took a guitar lesson at farabi. Took my first exam, actually. Hope I pass, am the oldest student there hahaha. Joined the fitness first, trying to be healthy and lose my weight. Went to US couple times, one for GLIN training, the other one is for NGS 18th. Become an US Embassy Agent, for the welcome back slank concert, hehe. Bagi-bagi tiket konser slank buat anak-anak Puri.

Made new friends and some old friends came to visit me. Mr. Brown came to visit, with Anthony, a blogger from Australia. Eka came to visit. We met in Palangkaraya, during Kay's wedding. Some of them changed their status: Maria is finally engaged and will going to get married in February 2009. Erni is married to Ardi, Cholil to Irma (finally!), and my others friends (sorry, totally forgot! :P).

Well, that's a short kaleidoskop for my personal life.

Wednesday, December 17, 2008

MP3 di Koalisi Transport Demand Management

Ini catatan sewaktu menghadiri diskusi FGD yang diadakan oleh ITDP. Kala itu, hadir sebagai perwakilan dari MP3 (Masyarakat Peduli Pelayanan Publik) -herni


MP3 diundang untuk hadir dalam FGD yang diadakan oleh Institute for Transport and Development Policy (ITDP) pada Rabu, 3 Desember 2008 di Restoran Handayani, Matraman. Tujuan dari FGD ini adalah membicarakan kerangka kebijakan di bidang transportasi. FGD dibuka dengan presentasi mengenai tiga hal yaitu hasil penelitian tentang parkir di Jakarta, kebijakan road pricing sebagai salah satu alternatif menyelesaikan masalah transportasi di Jakarta dan pengenalan konsep Transport Demand Management (TDM).

Mas Bagus dari FAKTA memaparkan hasil penelitian yang dilakukan Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) tentang revenue watch sektor perparkiran dalam memberi sumbangan bagi PAD APBD Propinsi DKI Jakarta. Persoalan parkir di Jakarta berawal dari paradigma dimana parkir ditempatkan sebagai sub sitstem public service dengan fokus manajemen untuk cari untung saja dan penerapan sistem jasa sewa lahan sehingga tidak ada tanggung jawab dari penyewa bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Di tataran implementasi, dibedakan antara parkir on street dan off street. Persoalan yang menyangkut biaya parkir on the street adalah biaya penarikan yang terlalu besar, disewakan pada para pedagang, sistem borongan/jual beli lahan, target petak parkir (misalnya Rp. 7 juta/hari di blok M), bayar dua kali (blok m dan senayan dll), mekanisme setor ke polisi, pembagian area resmi dan area fiktif, serta dikelola oleh petugas dan preman. Sementara persoalan yang menyangkut parkir off street adalah pihak pengelola swasta menganggap telah membayar double taxation sejak UU Pajak dan restribusi (1997) dan mengklaim bahwa biaya operasional tidak sesuai dengan pendapatan.

Persoalan juga ada di kelembagaan, BP Perparkiran yang diberi wewenang untuk mengelola parkir di DKI Jakarta. BP Perparkiran mengelola parkir on street saja, itupun tidak termasuk di wilayah ruang parkir yang bersinggungan dengan instansi lain seperti PD Pasar Jaya. Peraturan SK Gubernur No. 177/2000 yang menjadi dasar acuan dianggap sudah usang karena ada titik-titik parkir yang sudah hilang sehingga harus direvisi. Kondisi ini diperparah dengan masalah status kelembagaan yang tidak jelas, wewenang dan otoritas, persoalan kapasitas yang rendah dan tidak adanya lembaga pengawas. Persoalan lain yang tidak kalah penting, adalah tingkat kebocoran yang mencapai 112%. Sangat besar dibandingkan dengan potensi sesungguhnya yang belum tergali atau sudah tergali tapi bocor.

Presentasi kedua dari Masyarakat Transparansi Indonesia mengenai road pricing, yaitu salah satu kebijakan transportasi dimana pengguna kendaraan dikenakan biaya apabila melewati jalan atau area tertentu. Kegunaannya cukup penting sebagai sumber pendapatan untuk perbakan sistem transportasi, mengurangi kemacetan dan lingkungan.

Road pricing berbeda dng toll pricing. Toll pricing adalah kutipan pada ruas2 jalan tertentu, jembatan, tunnel dengan tujuan utama untuk membiayai sebagian atau seluruh biaya modal, operasi dan perawatan dari infrastruktur tsb. Sementara road pricing adalah kutipan ruas-ruas jalan atau area ttt sbg bagian dari TDM dengan tujuan menggunakan biaya sebagai alat untuk mempengaruhi sebagian pemakai jalan untuk mengubah perilkaku perjalanan mereksa sehingga kinerja lalu lintas yang telah ditentukan dapat tercapai. Sehingga, road pricing bertujuan untuk mengubah perilaku, bukan sebagai pembiayaan atas pembuatan dan pemelihraan infrastruktur.

Di negara lain, road pricing terbukti efektif menurunkan tidak saja traffic kendaraan namun juga perpindahan dari kendaraan pribadi ke transportasi atau angkutan publik dan juga lingkungan yang lebih bersih serta penghematan energi. Namun demikian, perlu ada faktor pendukung lain seperti adanya dukung kebijakan di sektor lain, political will, peran serta masyarakat.

Presentasi terakhir dari ITDP mengenai TDM, yaitu segala macam strategi untuk mengefisiensikan pererakan manusia dan barang serta pemanfaatan sdtransportasi, ruang, bahan bakar, waktu perjalanan dll. TDM mempersoalkan demand dan supply. Komponennya terdiri dari faktor-faktor pull measure yaitu faktor yang menarik orang dari kendaraan pribadinya dan faktor-faktor push measures yaitu yang menekan penggunaan kendaraan pribadi.

Sebagai penutup, forum ini membicarakan isu-isu penting yang perlu diperhatikan dalam membentuk koalisi TDM, yaitu pentingnya mengumpulkan contoh yang sudah ada, keterlibatan NGO dan masyarakat, kelemahan pemerintah dalam PR dan komunikasi kebijakan, proses eksplorasi hingga implementasi dengan seluruh stakeholder, studi cost benefit masyarakat, daftar prioritas upaya TDM, sosialisasi dan governance, serta perlu adanya juru bicara atau champion untuk membawa isu-isu transportasi publik di media massa. Tujuan koalisi ini memperhatikan aspek-aspek hukum, ekonomi, lingkungan dan sosial demi pelayanan publik di bidang transportasi yang baik di DKI Jakarta.

UU Pornografi tidak Menjamin Hak Perlakuan Khusus untuk Perempuan

Ini catatan ketika memoderasi diskusi yang dilakukan dalam rangka seri diskusi mengkaji UU Pornografi -herni

http://www.pshk.or.id/site/details.viewer.php?catid=7b8302aeaec8a3ce743058fabd0deefc&cgyid=58ff1b71f40474859fda135ce3a4d433


Tujuan Undang-Undang Pornografi untuk melindungi perempuan dan anak-anak perlu dipertanyakan. UU Pornografi tidak saja berpotensi mengkriminalkan perempuan korban trafficking, namun juga tidak melindungi hak untuk memperoleh perlakuan khusus yang dijamin oleh konstitusi. Hal ini muncul pada diskusi “Kritisi UU Pornografi dari Aspek Hukum Pidana” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) bekerjasama dengan Kalyanamitra di Perpustakaan Hukum Daniel S. Lev Selasa (2/12/2008) kemarin. Diskusi ini merupakan bagian dari seri diskusi kajian terhadap UU Pornografi dari pelbagai aspek.

Hak Memperoleh Perlakuan Khusus
Narasumber dari LBH APIK, Sri Nurherwati, menggugat Pasal 23 UU Pornografi yang menyatakan bahwa proses beracara UU Pornografi mengacu pada KUHAP, utamanya mengenai penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan, kecuali diatur secara khusus oleh UU Pornografi. Hal ini tidak sejalan dengan hak mendapat perlakuan khusus yang dijamin Pasal 28 H ayat (2) konstitusi yang berbunyi, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Padahal, pelaksanaan hak ini sudah dilakukan pada UU KDRT dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dengan menyediakan prosedur atau hukum acara khusus untuk perempuan korban KDRT dan trafficking. Hal ini merupakan pelanggaran hak konstitusi yang serius, mengingat target terbesar traffiking adalah industri pornografi.

Selain tidak memberikan prosedur khusus untuk perempuan korban trafficking yang dijamin oleh konstitusi, UU Pornografi juga berpotensi mengkriminalkan korban trafficking. Pasal 8 UU Pornografi menyatakan “Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi”. Meski tidak secara eksplisit menyebutkan perempuan dan ada unsur “sengaja” atau “persetujuan dirinya”, UU Pornografi tidak melihat relasi dan struktur sosial yang menempatkan perempuan dalam posisi korban pada industri pornografi dan sebaliknya, mengambil pendekatan yang represif dengan mengkriminalkan korban.

Narasumber lain dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Arsil, mengangkat persoalan kerumitan pengaturan tindak pidana dalam UU Pornografi. Pasal yang mengatur ketentuan pidana harus dibaca berbarengan dengan Pasal 1 dan Pasal 4 ayat (1) berikut penjelasannya. Bandingkan dengan model yang dipakai oleh KUHP dalam merumuskan pasal yang lebih sederhana. Selain itu, substansi yang diatur dalam UU Pornografi telah diatur dalam KUHP. Salah satu peserta, Ali dari kantor hukum Adnan Buyung Nasution, menambahkan hal baru yang ditambahkan di UU ini adalah alat bukti digital. Keanehan prosedur hukum acara di UU Pornografi juga terlihat di Pasal 43 yang mengatur gugatan perwakilan (class action) yang merupakan mekanisme perdata dan bukan pidana.

Pelanggaran terhadap Asas Hukum dan Pasal Konstitusi Lainnya
Patra dari YLBHI juga mengemukakan beberapa pelanggaran lain yang dilakukan oleh UU Pornografi ini. Pertama, UU Pornografi melanggar asas kepastian hukum. Definisi pornografi sangat tergantung pada konteks waktu dan norma kesusilaan masyarakat. Definisi pornografi yang berlaku di negara lain pun tidak detail sehingga tidak ada perumusan definisi pornografi yang ideal yang dapat digunakan sebagai pedoman.

Sementara itu, parameter untuk mengkategorikan apakah suatu tindakan merupakan tindakan pidana atau bukan adalah niat jahat, tindakan jahat, kerugian, kapasitas pidana dan tanggung jawab pidana yang memerlukan parameter untuk membuktikannya. Dolus, atau kesengajaan, mensyaratkan adanya unsur pengetahuan bahwa perbuatan tersebut adalah ilegal (wetten) dan unsur perbuatan itu dikehendaki oleh si pelaku (willen). Unsur-unsur ini sulit diaplikasikan dalam UU Pornografi sehingga berpotensi melanggar asas kepastian hukum.

Kedua, dari persepektif HAM, UU Pornografi juga melanggar Pasal 28I ayat (2) yang menjamin bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Suatu UU dikatakan diskriminatif bila melakukan pembatasan yang merujuk pada orang atau sekumpulan orang. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) a menyebutkan materi pornografi yang memperlihatkan persenggamaan lesbian dan homoseksual termasuk persenggamaan yang dianggap menyimpang dan dilarang oleh UU Pornografi.

Cukup Kuat untuk Uji UU ke MK?
Namun demikian, cukup kuatkah untuk menjadi bahan argumentasi mengajukan uji undang-undang ke MK? Menyusun dan mengemas argumentasi menjadi sebuah permohonan uji undang adalah persoalan tersendiri. Patra menambahkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun argumentasi untuk uji undang-undang, yaitu persoalan legal standing dan hubungan kausal antara pasal yang bermasalah dan potensi kerugian. Dalam kaitannya dengan kepentingan perempuan, UU Pornografi tidak secara spesifik menyebutkan diskriminasi atau kriminalisasi terhadap perempuan. Namun demikian, pelanggaran terhadap hak perlakuan khusus terhadap perempuan merupakan substansi yang dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi.

Sementara itu, Arsil mengingatkan mengenai tujuan dari pengajuan uji undang-undang dan konsekuensi hukum yang terjadi bila uji undang-undang itu dikabulkan oleh MK. Pengajuan uji undang-undang terhadap Pasal 2 berdasarkan hak untuk memperoleh perlakuan khusus yang diatur pada Pasal 28 H (2) merupakan ketentuan hukum acara. Bila ini dikabulkan, maka bukan berarti UU Pornografi ini tidak memiliki ketentuan hukum acara dan tidak bergigi lagi. Pengaturan hukum acara pidana tetap merujuk pada KUHAP.

Menggugat Landasan Filosofis RUU Pornografi

Ini dibuat sebagai brief paper untuk advokasi RUU Pornografi yang dilakukan Jaringan Kerja Prolegnas Pro-Perempuan (JKP3) -herni

Naskah Akademik adalah tempat yang tempat untuk menggali landasan filosofis suatu RUU. Latar belakang filosofis RUU Pornografi adalah keinginan untuk meluruskan moralitas bangsa Indonesia di tengah perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi dimana Masyarakat Indonesia telah mengadopsi nilai-nilai budaya tertentu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan mengancam persatuan dan kesatuan dengan perbuatan yang tidak bermoral, melanggar etika, tidak sopan, serta tidak menghargai dan menghormati kepentingan umum.

Naskah akademik RUU ini juga menempatkan RUU Pornografi sebagai: (i) pedoman bagi masyarakat dalam memilah budaya di era globalisasi; (ii) alat transformasi bagi masyarakat yang tidak menganut budaya yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila; (iii) alat untuk mengurangi terjadinya kasus-kasus kejahatan seksual dan perbuatan a-moral atau a-susila yang mengganggu tujuan nasional dalam Alinea IV UUD 1945; (iv) instrumen tambahan yang mengurangi kemungkinan terjadinya konflik sosial yang diakibatkan oleh pornografi serta alat untuk menegakan etika, sopan-santun dan budi luhur dalam kehidupan bermasyarakat; meningkatkan kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa dan meningkatkan penghormatan terhadap ketentuan hukum dalam kehidupan bernegara (Naskah Akademik RUU Pornografi hal. 3-5).

Alasan terbesar mengapa RUU Pornografi bermasalah dan menimbulkan kontroversi adalah karena sejak awal, dari landasan filosofisnya, RUU Pornografi memiliki pemahaman dan pendekatan yang keliru.

Pertama, RUU ini memfokuskan pada moralitas dengan pendekatan pelarangan yang mengabaikan hak-hak individu serta mengkriminalisasikan korban pornografi dan tidak melihat masalah pornografi sebagai industri yang perlu diregulasi dan dibatasi.

Meski RUU ini memberikan definisi, mengkategorikan jenis pornografi dan perbuatan yang dilarang, namun RUU ini tidak memberikan parameter serta batasan yang jelas kecuali keinginan untuk meluruskan moralitas masyarakat. Hukum memerlukan parameter obyektif yang dapat diukur. Pendekatan yang menekankan pada pengaturan perilaku berdasarkan moralitas malah menimbulkan aturan-aturan yang parameternya bersifat subyektif, tidak jelas dan mendefinisikan pornografi sesuai moralitas masing-masing. Pada akhirnya, RUU pornografi yang tercipta adalah aturan-aturan dengan parameter subyektif dan membuka celah-celah yang berpotensi tidak saja mengabaikan hak-hak individu namun juga menimbulkan konflik sosial baru dalam kehidupan bermasyrakat dengan alasan penegakan moralitas. Alih-alih ditujukan untuk persatuan dan kesatuan bangsa, malah menimbulkan potensi pemecah bangsa.

RUU ini memerangi kejahatan seksual dengan menegasikan korban-korban perdagangan manusia yang umumnya menjadi komoditas pornografi dengan menempatkan mereka sebagai salah satu pelaku kriminal tindak pidana pornografi. Karenanya, hukum yang dihasilkan juga bersifat represif dengan mengkriminalkan mereka yang dianggap tidak bermoral dan para korban industri pornografi.

Kedua, RUU ini kontradiktif dalam melihat nilai-nilai Pancasila, budaya dan kebhinekaan masyarakat Indonesia. Di satu sisi, RUU ini mengakui keragaman budaya dan kebhinekaan Indonesia, namun di sisi lain menempatkan “materi seksualitas” dalam bidang budaya, pendidikan dan kesehatan sebagai “materi pornografi yang ditoleransi” dan karenanya dikecualikan. Perspektif RUU ini menempatkan segala bentuk dan representasi “materi seksualitas” sebagai materi pornografi, termasuk segala jenis hasil karya budaya, materi pendidikan dan pengobatan. Pengecualian yang dilakukan terhadap budaya, pendidikan dan pengobatan dilihat sebagai bentuk “toleransi masyarakat Indonesia terhadap pornografi”, seperti yang tercantum dalam naskah akademis RUU Pornografi:

“.... masyarakat Indonesia yang umumnya masih menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila pada tingkatan tertentu memiliki toleransi terhadap pornografi. Mereka memahami bahwa dalam kondisi tertentu bagi sebagian orang-orang, pornografi merupakan suatu kebutuhan (misalnya: untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan atau pengobatan gangguan kesehatan seksual).”

Dengan demikian, RUU ini tidak mampu menghargai nilai-nilai budaya dan kebhinekaan Indonesia. Sebaliknya, RUU ini justru melihatnya sebagai nilai-nilai yang menghancurkan masyarakat Indonesia dan melihat masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang meski menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, namun memiliki tingkat toleransi terhadap pornografi. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan mengenai konsep dan pemahaman RUU ini terhadap nilai-nilai Pancasila, budaya dan kebhinekaan masyarakat Indonesia.

Thursday, December 4, 2008

Pendanaan Kampanye di US

Di sela-sela New Generation Seminar 18, saya sempat berbincang-bincang sedikit dengan Joe dan Jay mengenai pendanaan kampanye di US. Tentu saja, proses dan mekanismenya transparan dan akuntabel. Mereka harus melaporkan pemasukan dan pengeluaran sedetail mungkin. Yang menarik adalah, batasan maksimum sumbangan lebih rendah seiring dengan makin tingginya posisi jabatan publik yang hendak diraih. Jadi misalnya, untuk level state, batasan maksimum sumbangan lebih rendah dibanding untuk level county. Ini untuk menunjukkan semakin tinggi jabatan publik, semakin didukung oleh orang yang lebih banyak.

Dan kita tidak perlu menjadi aburizal bakrie dulu untuk sumbang sana-sumbang sini, hehe. Cukup dengan modal US $1 pun, kita bisa menyumbang. Dan kewajiban untuk mencatat dan melaporkannya sama jika kita menambahkan tiga nol dibelakangnya. Suatu konsep yang menarik, bukan?

New Generation Seminar 18: The Politics of Globalization



Akhir september hingga awal oktober lalu, saya dapat jekpot lebaran berupa undangan untuk mengikuti New Generation Seminar ke 18 yang diselenggarakan oleh East-West Centre. Acara ini merupakan pertemuan calon pemimpin muda dari "timur" dan "barat". Asia dan Amerika. Apa iya saya calon pemimpin muda Indonesia? Nah, itulah... kenapa saya bilang ini adalah jekpot hehe. Beberapa bulan lalu, Scott menawari aplikasi dan kebetulan saya diterima. Alhamdulillah, seberuntung itu :-)

Peserta seminar seharusnya terdiri dari 16 orang, namun 2 orang tidak bisa hadir. Peserta dari Amerika ada 4 orang. Jay Williams, walikota afrika-amerika pertama untuk kota kecil Youngstown di Ohio. Joe Dorman, state rep dari Oklahoma. Will Campos, councilmen dari District II Marlyand. Ketiganya demokrat. Dan Tim Moore, state rep dari North Carolina. Peserta dari Asia ada 10 orang, Maylin dari kantor presiden Philippines; Katherine dari CCTV China, Bonnie pendiri young leaders rountable dari Hongkong, Tipou ahli konstitusi dari Fiji Island; Amna dari Pakistan; Joey the baby kangaroo yang kerja di partai oposisi/demokrat di Thailand; Mr Brown direktur King Content dan salah satu blogger tertua (jaman kita belum ngeblog, dia udah mulai duluan hehehe); Asrif dari Pakistan; Ranga direktur eksekutif salah satu stasiun tv di srilanka; dan dev anggota parlemen di India. Sementara itu, koordinator dari East West Centre Ann dan Barbara.

Seminar dibagi menjadi dua bagian. Minggu pertama, presentasi dari para pakar di east west centre dan masing-masing dari kami sesuai topik seminar. Topik yang saya bawakan adalah the Indonesian Bankruptcy Reforms. It sort of fits the topic. Global Crisis. Globalization. Do you know that (pro-creditor) bankruptcy reforms has been one of the World Bank's agenda? It's one of the agenda for reform that has been spreading globally, started in Latin America in 1980s, European in 1990s and Asian in mid 1990s. And I guess I did my part quite well.

Presentasi yang lainnya, Amna tentang program pendidikan untuk anak perempuan di Pakistan, Asrif tentang peranan anak muda di Pakistan, Joey tentang konflik di Thailand, Mr. Brown yang bercerita tentang kiprahnya di dunia blogger yang sempat membuat senewen Pemerintah Singapura, Ranga juga tentang kiprah usilnya menyentil politikus melalui TV yang dikelolanya di Srilanka, May tentang kebijakan tenaga kerja di Filipina, Bonnie tentang kaum muda di Hongkong dan presentasi tentang Cina dan media dari Catherine serta kudeta dan konstitusi di Fiji dari Tipou. Sementara dari pihak teman Amerika kami, ada tentang kebijakan imigrasi di Amerika dari Will, Agroturis dari Joe, sistem politik di Amerika dari Tim dan Visi untuk mengembalikan kehidupan perekonomian di Youngstown dari Jay.

Selebihnya, kami habiskan waktu untuk menikmati kota honolulu, ke pantai waikiki, melihat tarian hula, mencicipi masakan lokal yang sekilas mirip dengan masakan di ternate :-), beli suvenir, makan malam bareng di outback, serta singgah di kantor obama dan mccain.

Bagian kedua dari seminar ini, kami berdiskusi dengan pelbagai macam orang dari pelbagai institusi sehingga kami pun berpindah-pindah tempat. Pertama, ke youngstown, melihat bagaimana kota ini berjuang menghadapi krisis. Kota yang tadinya makmur dari industri baja dan perlahan menurun kemudian berusaha bangkit lagi. Kami bertemu dengan pengusaha alat mekanik pertanian, keluarga petani, industriawan, dan para wakil kota di Youngstown untuk mendapatkan sejarah dan latar belakang krisis. Kami juga mengunjungi museum industri baja, bertamu dan menonton pertandingan football di Youngstown University. Sehari berikutnya kami habiskan di Cleveland, masih di negara federal yang sama, Ohio, namun kali ini adalah ibukotanya. Kami bertemu dengan salah satu senator yang semua orang berpendapat yang sama, senator yang sangat humanis.

Tiga hari berikutnya kami habiskan di Washington DC, dengan sebelumnya mampir di Minnesota dalam perjalanan transit pesawat, sekedar untuk sarapan dan melihat kotanya seribu danau itu sejenak, ditemani ayahnya Ann. Di washington kami bertemu dengan direktur East-West Centre, bertemu dengan beberapa institusi penting, melihat obama pidato di Senat, mencicipi kafe capitol di dekat gedung parlemen, mencobai tradisi marshmallow, dibakar-diletakan di atas biskuit, diberi coklat baru dimakan, serta mengunjungi landmarks. Beberapa hari terakhir, saya habiskan di Maryland, kediaman liliana and philipe, orang tua will. Sempat menikmati nongkrong di kafe sport melihat football game dengan 2 teman will yang lain, mengunjungi museum smithsonian, bertemu dengan mas dwi, mbak nina dan para krucilnya serta makan malam merayakan ulang tahun will di restoran favoritnya.

Toilet di Bandara Narita, Jepang

Buat yang baru “melek dunia” (baca: berpergian ke luar negeri), kebodohan dan kegagapan melihat perkembangan dunia di “luar sana” memang sering terjadi. Jangankan keluar negeri, pengalaman pertama naik pesawat domestik aja, kegagapan ini masih sering terjadi. Dan, kegagapan yang terasa ketika berpergian keluar negeri adalah: toilet! Kenapa toilet, karena entah kenapa kalau lagi berpergian, keinginan pipis lebih sering datang. Beda dengan kehidupan “hari-hari biasa” dimana pipis identik dengan kegiatan menjemput tita yg ngebuzz di YM ngajak pipis dan kami gunakan moment pipis tadi untuk ngobrol di sepanjang jalan dari ruangan ke toilet dan ke ruangan lagi. Lebih banyak waktu untuk mengobrol dibanding pipis :-) Beruntunglah kita tidak bekerja di kantoran, apalagi bank, yang aktivitas pipis aja dijatah pake stopwatch agar tidak lebih dari 5 menit.

Bicara soal toilet, perjalanan yang harus transit di beberapa negara (maklum, panitia membelikan kami tiket promo yang paling murah), mau tidak mau jadi membandingkan toilet. Kali ini saya diberi kesempatan mereview toilet dalam perjalanannya saya ke NGS (New Generation Seminar) yang diadakan oleh east west centre, Honolulu. Dari 3 negara yang saya singgahi, --Singapura, Jepang dan Honolulu, untuk urusan toilet, jepang lah pemenangnya. Faktor kemenangannya bukan pada kebersihan, kemodernan atau kecanggihannya. Toilet di Jepang memang canggih, tapi bukan sekedar canggih. Kecanggihan yang menurut saya, mengandung nilai kegilaan, yaitu kegilaan perhatian pada hal atau kebutuhan yang detail. Sekedar canggih itu hal yang biasa. Negara maju memang harus menghadirkan kecanggihan-kecanggihan sebagai bukti peradaban mereka yang menjunjung nilai-nilai kemanusian. Dan ini dimulai dari toilet. Kecanggihan plus nilai kegilaan pada kebutuhan atau hal yang detail ini yang menurut saya juga ada di acara takeshi castle (OOT dikit).

Kecanggihan pertama, toilet di bandara Narita memiliki tombol-tombol yang punya fungsi agak gila, di sisi kanan tempat dudukan toiletnya. Sekilas, saya pikir itu tombol mesin cuci hehe. Tapi pikiran bodoh saya pun disadarkan oleh pertanyaan saya sendiri, apanya yang mau dicuci di toilet? Setelah melihat lebih dalam lagi, tombol itu adalah tombol yang fungsinya mengatur jenis suara dan volume siraman toilet (mirip pengatur musik jadinya ya?), tombol yang mengatur tekanan air serta tombol yang menambah pengharum agar air siraman lebih wangi.

Kecanggihan kedua, adalah kecanggihan yang sudah seharusnya. Kecanggihan yang selama ini kita perjuangkan di advokasi RUU Pelayanan Publik bersama Jaringan MP3 (Masyarakat Peduli Pelayanan Publik). Toilet yang ramah terhadap mereka yang difabel, lansia, dan ibu-ibu yang hendak mengganti popok anaknya. Kecanggihannya terletak pada luasnya toilet itu. Lengkap dengan tombol merah untuk menutup dan tombol hijau untuk membuka. Menekan memang lebih mudah dibandingkan membuka pegangan pintu.

Tapi, yang bikin saya tergagap gembira adalah toilet ini memasukan satu kepentingan kelompok “minoritas” lain, yaitu orang yang hendak berganti baju. Untuk urusan kepentingan orang yang hendak ganti baju, rupanya luput dari kajian MP3. Mungkin, kepentingan untuk berganti baju di toilet umum belum dianggap sebagai kepentingan yang perlu diakomodasi. Tapi coba anda bayangkan, saya ingin mengganti bagian privat saya dan akhirnya saya enggan karena melihat antrian yang panjang. Saya mau melakukannya tanpa perlu melihat wajah misuh-misuh atau nyinyir tersembunyi dari mereka yang antri. Buat saya, ini kecanggihan dengan suatu terobosan yang kebutuhannya ada tapi tidak dipikirkan!

Kecanggihan ketiga, adalah kecanggihan yang mengandung nilai kepraktisan. Kecanggihan yang mengakomodasi kebutuhan pipis ibu-ibu yang lagi menggendong anaknya dan sang suami mungkin terlalu malas untuk menggantikan menggendong atau kebetulan tidak sedang menemani sang istri. Di dekat pintu, ada dudukan yang mudah dibuka dan ditutup (agar tidak terlalu makan tempat) sebagai tempat meletakan bayinya selama si ibu pipis. Ibu tidak perlu khawatir, karena letaknya berdekatan dengan toilet buat si ibu. Bahkan si ibu bisa pipis sambil becanda dengan anaknya.

Mungkin RUU Pelayanan Publik perlu direvisi. Siapa bilang, advokasi RUU tidak bisa menyentuh masalah nyata warga negara ini? Toilet adalah urusan yang nyata dan dekat dengan masyarakat!

Ps. Tapi rupanya, kecanggihan toilet di Jepang bisa jadi hanya di bandaranya saja. Untuk review toilet di Jepang di tempat-tempat yang bukan merepresentasikan kegengsian negara, baca tulisan farid mardin di: http://faridm88.multiply.com/journal/item/8/WC_DI_JEPANG

RUU Pornografi Masih Bermasalah

Ini dari algooth waktu lagi hangat-hangatnya isu RUU Pornografi pertengahan bulan September lalu. Interview sebelum menghadiri NGS di hawaii. Diambil dari link http://web.bisnis.com/kolom/2id1549.html. Fotonya sebenarnya dari acara ultah 10 tahun PSHK, yang ngambil gama :-)


Jumat, 19/09/2008 14:28 WIB

RUU Pornografi masih bermasalah
oleh : Herni Sri Nurbayanti
Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia

Diskursus RUU Pornografi mulai berkembang dengan tidak sehat. Ada kecenderungan dalam masyarakat untuk mempolarisasikan posisi menolak dan mendukung dengan stigma-stigma tertentu.

Untuk mendalami masalah ini berikut perbincangan dengan Herni Sri Nurbayanti, peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan anggota Jaringan Kerja Prolegnas Pro-Perempuan (JKP3) pekan ini sebelum bertolak ke AS memantau jalannya Pemilu AS.

Apa yang membuat Anda sebagai perempuan begitu gusar dengan RUU Pornografi. Bukankah justru perempuan yang terlindungi?
Keadaan tidak menjadi membaik ketika isu pornografi dikaitkan dengan isu agama. Dampaknya, ada stigma bahwa mereka yang menolak dianggap selain mendukung pornografi dan tidak melihat pornografi sebagai sebuah masalah namun juga dianggap tidak religius atau bahkan tidak punya rasa/nilai/moral. Sehingga perdebatan yang terjadi sebatas menolak dan mendukung saja, tidak benar-benar fokus pada isu pornografinya sendiri.

Arus penolakan terhadap pornografi perlu dilihat sebagai kritik terhadap pornografi yang sebenarnya mempertanyakan, apa dan siapa yang menjadi sasaran dari RUU Pornografi serta pendekatan yang diambil RUU Pornografi dalam menyelesaikan masalah pornografi di Indonesia.

Penolakan terhadap RUU Pornografi berangkat dari kritik RUU Pornografi yang tidak tepat sasaran dan malah menyasar apa yang seharusnya bukan sasaran RUU Pornografi.

Banyak suara skeptis menyatakan ini adalah kado Ramadhan?
Terlepas dari kado Ramadan atau tidak, semangat mengaitkan isu ini dengan bulan suci ini seharusnya juga dibarengi dengan pikiran yang jernih terhadap alternatif-alternatif pendekatan penyelesaian masalah pornografi dan bagaimana membungkus RUU yang benar-benar menyelesaikan masalah pornografi, tanpa menimbulkan masalah baru, dalam proses yang partisipatif.

Kalau boleh tahu sebetulnya bagaimana proses RUU ini?
Menjelang akhir September 2008, DPR dihadapkan pada setumpuk pekerjaan legislasi. Salah satunya, RUU Pornografi yang pembahasannya dimulai Juni di Panitia Khusus (Pansus). RUU ini dijadwalkan ditandatangani Raker Pansus 18 September 2008 dan disahkan di Rapat Paripurna pada 23 September 2008 mendatang. Namun, RUU ini belum menjawab berbagai masalah penting sehingga masih prematur untuk disahkan.

Masalah apa itu?
Definisi Masih Bermasalah. Perubahan draf RUU sering dilakukan, namun masalah mendasar di definisi belum selesai. Rumusan definisi terakhir: "Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat".
Definisi ini memasukkan unsur yang bukan pornografi, frase yang digarisbawahi, serta unsur yang tidak jelas parameternya (yang dapat membangkitkan hasrat seksual) dan mencampuradukan terminologi seksualitas dengan pornografi sehingga tidak tepat sasaran dan multi-interpretatif.

Padahal, naskah akademik RUU Pornografi memuat kajian yang ekstensif mengenai definisi pornografi. Namun, tidak terefleksikan hasilnya dalam rumusan definisi.

Banyak suara menakutkan dengan RUU ini akan mengintervensi hak seksualitas masyarakat? Apa betul?
RUU tidak memberi batas ruang privat dan publik serta menggunakan pendekatan intervensi penuh terhadap ruang privat untuk semua materi pornografi yang definisinya tidak tepat dan multiinterpretatif. Hal ini akan menimbulkan masalah pada praktiknya.

Sebagai contoh, Pasal 20 dan 21 membuka peran masyarakat untuk melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebaran, dan penggunaan pornografi dengan melaporkan pelanggaran dan untuk tindakan ini diberi perlindungan hukum.

Namun, dengan definisi dan batasan pornografi yang tidak jelas dan multi-interpretatif, pelaksanaan peran masyarakat untuk mencegah pornografi akan menimbulkan permasalahan baru.

Lalu pendekatan apa yang tepat?
Semestinya, pendekatan yang perlu digunakan adalah memberi batas ruang privat-publik dengan parameter penghapusan (zero tolerance) terhadap pornografi anak dan yang mengandung unsur kekerasan terhadap perempuan.

Di luar itu, memberi batasan ruang privat dan publik yang jelas dengan regulasi distribusi dan penggunaan pada ruang privat dan menutup akses anak. Ruang privat ini bisa ditembus hanya ketika digunakan untuk pornografi yang termasuk zero tolerance tadi.

Lalu pendekatan apa yang menurut Anda sesuai untuk RUU ini?
Kriminalisasi, bukan Perspektif Korban. RUU ini menggunakan pendekatan kriminalisasi terhadap objek atau model pornografi (istilah yang digunakan RUU), bukan perspektif korban.
Seharusnya RUU ini menggunakan pendekatan perspektif korban yaitu dengan menempatkan mereka sebagai korban yang penanganannya bukan mengkriminalisasikannya, namun menyediakan fasilitas pembinaan, pendampingan, pemulihan ekonomi dan sosial, kesehatan fisik serta mental.

Pendekatan kriminalisasi tidak menyelesaikan masalah dan mengesampingkan fakta pornografi sebagai salah satu tujuan perdagangan perempuan, apalagi untuk pornografi yang mengandung unsur kekerasan terhadap perempuan.

Mereka adalah korban, bukan pelaku kriminal. Dengan mengkriminalkan korban, justru menempatkan mereka ke jurang lebih dalam.

Lalu bagaimana proses legislasi. Apakah ini tak berjalan?
Proses Legislasi Tidak Partisipatif. RUU ini juga bermasalah dari segi proses legislasi. RUU yang direvisi belum tersosialisasikan dengan cukup, padahal Risalah Laporan Singkat Rapat Pleno Pansus 14 Mei 2008 mencatat sosialisasi masih perlu dilakukan. Partisipasi publik makin tertutup dengan Rapat Panitia Kerja (Panja) yang tertutup.

Tatib DPR mengatur Rapat Panja tertutup, kecuali dinyatakan terbuka. Namun mengingat substansi dan dampak RUU yang luas, seharusnya ada kepekaan politik untuk menyatakan rapat Panja terbuka untuk umum, seperti RUU Kewarganegaraan, RUU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan RUU Pelayanan Publik.

Kemampuan teknis Pansus dalam mengolah aspirasi masyarakat masih lemah. Berbagai elemen masyarakat selama ini berinisiatif untuk beraudiensi dan mengadvokasikan masukannya, namun masih banyak yang belum diakomodasi.

Pekan depan RUU ini bakal diteken. Ini artinya sudah final lalu bagaimana?
Pornografi adalah keprihatinan kita bersama. Persoalannya adalah bagaimana menyusun RUU yang tepat sasaran, tidak menimbulkan masalah baru serta melalui proses pembentukan hukum yang bertanggungjawab secara sosial.

RUU Pornografi belum memenuhi ketiga kualifikasi tersebut. Apakah DPR ingin mengesahkan RUU yang bermasalah seperti ini?

Pewawancara: Algooth Putranto Wartawan JBII/Monitor Depok