Wednesday, March 11, 2009

Nikmat Mana Lagi yang Kau Dustakan?

Waktu SMA, kita punya satu kegiatan ekstra kurikuler yang "wajib". Mengapa diberi tanda kutip, karena diwajibkan secara sosial, pengajian kelas! Saya ingat dulu, saya sering kabur dari pengajian kelas ini. Namun kemudian ketika masuk jurusan A3 (sosial) malah membuat satu wadah pengajian alternatif, buletin dakwah pengajian kelas (BDPK) Sosial. Ini proyek usil saya yang pertama. Usil karena buletin ini kami dirikan dengan dana yang diperoleh dari "memangkas" infaq jum'at (yang lagi-lagi merupakan paksaan sosial sumbangan kelas ke mushola sekolah). Selain itu, usil juga karena materi laporan utama pertamanya tentang pengajian kelas yang tidak laku dan sepi pengunjung hihihi. Soal harga, saya iseng juga memasang "infaq: seikhlasnya". Suatu bentuk protes terhadap infaq-infaq yang keliatannya meminta keikhlasan cuma tidak lebih dari paksaan sosial. Gaya penyampaiannya pun populer bin nge-pop. Buletinnya sukses besar, terbukti dari dukungan keuangan dari teman-teman yang menyumbang lebih dari modal fotokopi dan cara-cara kami ditiru oleh buletin resmi terbitan musholla hihihi...

Tapi, saya tidak mau cerita soal keusilan masa SMA. Benang merah ingatan yang melempar saya ke masa-masa penuh warna itu adalah doktrin-doktrin pengajian kelas, dakwah-dakwah di liqo (yang saya juga tidak tahan mengikutinya ini hehe..) yang rupanya tanpa sadar terpatri di kepala. Salah satunya, adalah satu ayat di Qur'an yang diulang-ulang. Nikmat mana lagi yang kau dustakan? Sesi soal nikmat. Satu sesi yang saya bisa terima, dibandingkan sesi-sesi tentang kebencian terhadap agama lain atau sesi-sesi tentang segala macam larangan, dosa dan azab dimana agama ditempatkan sebagai alat opresi dan wajah Tuhan ditampilkan sebagai Sang Maha Kejam, bukannya Yang Maha Pengasih.

Bicara soal nikmat, sama halnya bicara tentang seseorang yang sifat spesialnya baru kita sadari setelah dia tidak ada. Kita baru sadar betapa nikmatnya kesehatan yang diberikan, manakala sakit. Kita baru sadar betapa nikmatnya punya duit banyak, manakala ketika miskin. Ah, contohnya kok kaya gitu sih! :)

Saya baru merasakan betapa kondisi bisa mengunyah, menelan dan merasakan perut mencerna makanan itu hingga keluar melalui anus adalah suatu kenikmatan, manakala tubuh saya tidak mampu melakukan itu. Makan apapun, selalu dimuntahkan dalam bentuk yang persis ketika dikunyah. Saya coba nasi dan ikan, keluarnya demikian. Saya coba roti dan meses, keluarnya juga demikian. Seolah tidak menyerah untuk makan :), saya coba biskuit dengan teh hangat (ceritanya kaya makanan bayi hehe), saya muntahkan juga dalam bentuk persis seperti ketika masuk mulut. Nikmat kecil ini baru terasa setelah diberi obat dan akhirnya saya bisa mengunyah, menelan dan makanan itu diam di perut saya, diolah sampe keluar lewat anus. Menikmati perut yang kenyang ternyata hal yang luar biasa! Nikmat yang merasakan makanan masuk, "diam" diolah oleh lambung, kenyang.... Kita pun duduk dengan penuh rasa lega dan mungkin sambil mengelus-elus perut :)

Satu nikmat kecil yang baru terasa nilainya adalah menikmati udara yang semilir di sela-sela rambut hingga ke tengkuk, tanpa harus menjadi gatal-gatal karena itu. Ya, ini karena kebaikan tita yang menularkan penyakit menahunnya ke diriku. Mungkin ini namanya persahabatan bagai ke...pom..pong :D. Gatal-gatal. Alergi dingin. Dalam kondisi ini, tubuh merupakan termometer alami dimana setiap penurunan suhu sedikiiiiit saja, langsung menyebabkan gatal-gatal. Tubuh juga merupakan detektor hujan yang baik, karena biasanya 2-3 jam sebelum hujan, pasti serangan gatal-gatal itu muncul.

Terlepas dari segala "keuntungan" dari alergi dingin ini, sialnya, saya tidak bisa sembarangan menikmati semilir angin. Posisi kipas angin terpaksa harus diubah agar tidak langsung masuk ke kamar saya. Berenang adalah sesuatu yang sebaiknya tidak dulu dilakukan (apalagi dalam kondisi masih hujan). Mandi sore jadi sesuatu yang harus dilakukan lebih awal atau dengan memasak air panas terlebih dahulu (maklum, belum punya pemanas air :P). Ritual mandi pagi harus selalu diikuti oleh ritual minyak kayu putih dan bedak (dan bahkan jadi ritual ketika gatal-gatal menyerang). Jadi, rasa dingin-dingin enak ketika angin semilir memainkan rambut dan rasa dingin itu terasa di tengkuk, adalah suatu nikmat yang luar biasa! Kali ini saya sepakat dengan mbak-mbak akhwat di pengajian dulu, "Nikmat mana lagi yang kau dustakan?"

Wednesday, March 4, 2009

Partai Tidak Milih

Sekarang lagi ramai soal fatwa MUI yang mengharamkan golput. Ulasan yang mengkritik rasanya sudah banyak, ya. Toh, MUI tetap tidak bergeming mempertahankan kebodohannya. Konon katanya, obatnya orang bodoh ya diajari. Tapi kalau tidak jua bisa diajari, apa dong obatnya? Ah, sudahlah. Tulisan ini tidak mau menambah koleksi kekesalan masyarakat terhadap MUI yang kian memuncak. Tapi menelusuri kenapa golput jumlahnya masih banyak?

Kebanyakan orang memahami golput sebagai sebuah sikap tidak peduli, acuh, abai atau bentuk ketidakpercayaan terhadap (elit) politik dan bagaimana sistem politik bekerja di Indonesia.

Saya kebetulan lagi terlibat menulis dan bantu mengedit catatan awal tahun (Cawahu) atas kinerja DPR di sepanjang tahun 2008. Satu hasil bacaankami adalah tentang bagaimana DPR mengelola berbagai kepentingan dan meramunya menjadi sebuah kebijakan yang menyelesaikan masalah sehingga diterima semua pihak. Tahun-tahun lalu, kami sudah terlalu sering berkata, DPR jarang sekali mengeluarkan produk kebijakan yang menyelesaikan masalah. Nambah masalah sih sering. Tahun ini kami menampilkan bagaimana DPR mengelola dan mengolah aspirasi masyarakat menjadi suatu kebijakan… yang merugikan semua pihak. Niatnya sih mungkin win-win solution, kompromi… tapi apa daya semua pihak merasa tidak diuntungkan. Contoh sederhana, UU Pornografi yang kontroversial. Baik pihak yang mendukung, yang kontra, yang liberal dan yang fundamentalis sebenarnya ditipu. Tidak heran, dari kaum pekerja seni, aliansi bhineka tunggal ika, aktivis HAM, kelompok perempuan, sampai HTI pun mau mengajukan uji UU ke MK.

Proses kompromi pada interpelasi kasus lapindo dan BLBI juga begitu. Tim dibentuk dan Lapindo diharuskan bayar ganti rugi (meski dibilang penyebabnya adalah fenomena alam), tapi toh lapindo bebas. UU Usaha Mikro, Kecil dan Menengah akhirnya dihadirkan, tapi masih dengan pendekatan lama yang lebih mirip basa-basi dibanding kebijakan yang benar-benar mendorong UMKM yang punya kontribusi signifikan ke perekonomian negara itu.

Dunia politik kita memang suram. Produk yang dihasilkan dari senayan memang selalu produk politik. Sedimentasi atau bahkan residu dari proses politik. Tapi apakah yang residu tadi menyelesaikan masalah dan menguntungkan buat masyarakat ke depan, nah itu die masalahnya.

Kalau mau menelusuri lagi, banyak hal yang membuat dunia politik kita makin suram dan mendorong orang berpikir untuk menjadi golput (untuk beberapa di antaranya, lihat: http://public.kompasiana.com/2009/03/06/simulus-fiskal-2009-stimulus-golput-2009/) .

Partai politik jarang ada yang punya platform yang jelas. Yang menampilkan kebersihan pun, bukan tanpa cela. Fundamentalis gaya baru, yang dibungkus dengan kesopanan yang membumi. Keliatannya terbuka, tapi kadang menipu. Kenapa dibilang menipu, karena kadang-kadang keliatan aslinya, yang ironisnya, terlihat berseberangan dengan segala hal-hal baik yang dikampanyekan sebagai trade marknya. Mungkin memang itu tantangannya kalau mengaku-ngaku baik dan bersih. Tuntutannya lebih tinggi. Toh katanya, barang siapa menempuh jalan kesucian, siap-siaplah menghadapi kelokan yang berliku, terjal dan berbatu! Mending kita, yang memang tidak mengaku mengambil jalan itu, sekedar menjalani kehidupan bagai menikmati secangkir sanger (kopi susu khas Ulee Kareng, Aceh) dan setangkup roti srikaya.

Kembali ke laptop, platform politik ini pun seringkali berubah-ubah, tergantung isu yang dibahas. Yang mendasarkan pada nasionalisme (dan sekulerisme), cuma bisa walk-out. Secara politik, memang terlihat sebagai aksi yang keren, berani dan keliatan "beda dari yang lain. Tapi tidak menimbulkan pengaruh apa-apa pada level kebijakan. Yang keliatan islami tetapi tidak mau disebut partai islam dan mengagungkan pluralisme serta mengandalkan tradisi intelektualitas, tetap saja tidak berani mengatakan tidak untuk kebijakan-kebijakan yang mengarah pada membuat negara ini menjadi sektarian.

Selain tidak punya platform yang jelas, persepsi mereka mengenai diri sendiri sebagai partai politik pun tidak jelas. Mereka yang berusaha memperbaiki hal ini dan menawarkan konsep yang “berbeda” pun, masih punya cela. Ambil contoh, partai politik yang mengadopsi konsep dakwah dan politik menjadi satu yang diterjemahkan ke dalam bungkusan amal sekedar semakin menguatkan betapa agama ditempatkan sebagai alat politik. Dari ilmu politik pun menimbulkan pertanyaan, apa bedanya partai politik dengan lembaga amal/sosial?

Bahwa politik dan partai politik harus mengandung unsur kepekaan, saya setuju sekali. Tapi masalahnya adalah, bagaimana kepekaan ini seharusnya dilakukan oleh partai politik. Apa sih porsi partai politik yang dalam hal ini jelas beda dengan lembaga amal? Atau bentuk amal seperti bagaimanakah yang seharusnya dilakukan partai politik? Kuncinya satu: keberpihakan dalam kebijakan! Saya teringat teman saya, salah satu councilmen di district II Maryland, US. Dia secara reguler melaporkan “amal”nya dia kepada para konstituen. Bahwa dia membantu memfasilitasi kebijakan di bidang pendidikan yang berdampak pada pembentukan atau perbaikan sekolah, pelayanan publik yang lebih baik dsb di wilayahnya. Ini bentuk "amal" yang sustainaibilitasnya terjamin. Bukan jenis amal yang hit and run, yang sifatnya kondisional, bila ada bencana… sedia rekening, kumpulin bahan, kirim mobil, dan pasang bendera partai. Amal jariyah anggota parlemen yang tetap menjaga relasinya dengan konstituennya. Mendengar, merespon dan melakukan. Memberi bukti, bukan sekedar janji.

Hal-hal lain yang membuat dunia politik suram terlihat tanpa harapan adalah anggota parlemen yang tidak mandiri, masih terikat pada fraksi, aturan internal DPR yang banyak mengandung logika demokrasi terbalik, budaya, ketidakmampuan, de el el. Dalam konteks ini, slogan “satu suara anda sangat berarti” menjadi sesuatu yang tidak logis. Tidak masuk akal.

Tapi, apakah golput tidak dapat disebut kekuatan politik? Salah. Tidak bisa bermain di kancah politik? Ah, salah juga! (kok tiba-tiba ke golput ya? hehehe..)

Golput justru pemilih yang sadar dan peduli. Singa yang tidur. Singa yang produktif, kok. Mengaum-ngaumnya hampir setiap hari dan tidurnya cuma sehari, waktu pemilu aja. Seperti layaknya singa yang tidak mau tunduk pada relasi kekuasaan yang tidak jelas, dia tidak bisa dihentikan hanya dengan fatwa. Singa yang akan bangun sendiri tanpa harus dipecuti dan ditakut-takuti oleh kata “haram”, bila memang aumannya didengar dan diikuti hingga membawa perubahan. Kalau gak, ya dengar aja lagunya efek rumah kaca, "Mosi Tidak Percaya" :-)

Golput bisa juga bermain di kancah politik. Siapa bilang golput tidak bisa bikin partai? Saya ingat waktu memantau pemilu di Belanda. Banyak terdapat partai-partai dengan nama lucu, salah satunya “Partai Tidak Milih” (geen vote partij, bener gak mam, terjemahannya?). Saya rasa, ini bisa saja terjadi, kalau singa-singa tidur ini pada kompak melakukan keusilan :P. Jumlahnya cukup besar, kok.