Showing posts with label wisata. Show all posts
Showing posts with label wisata. Show all posts

Thursday, December 4, 2008

New Generation Seminar 18: The Politics of Globalization



Akhir september hingga awal oktober lalu, saya dapat jekpot lebaran berupa undangan untuk mengikuti New Generation Seminar ke 18 yang diselenggarakan oleh East-West Centre. Acara ini merupakan pertemuan calon pemimpin muda dari "timur" dan "barat". Asia dan Amerika. Apa iya saya calon pemimpin muda Indonesia? Nah, itulah... kenapa saya bilang ini adalah jekpot hehe. Beberapa bulan lalu, Scott menawari aplikasi dan kebetulan saya diterima. Alhamdulillah, seberuntung itu :-)

Peserta seminar seharusnya terdiri dari 16 orang, namun 2 orang tidak bisa hadir. Peserta dari Amerika ada 4 orang. Jay Williams, walikota afrika-amerika pertama untuk kota kecil Youngstown di Ohio. Joe Dorman, state rep dari Oklahoma. Will Campos, councilmen dari District II Marlyand. Ketiganya demokrat. Dan Tim Moore, state rep dari North Carolina. Peserta dari Asia ada 10 orang, Maylin dari kantor presiden Philippines; Katherine dari CCTV China, Bonnie pendiri young leaders rountable dari Hongkong, Tipou ahli konstitusi dari Fiji Island; Amna dari Pakistan; Joey the baby kangaroo yang kerja di partai oposisi/demokrat di Thailand; Mr Brown direktur King Content dan salah satu blogger tertua (jaman kita belum ngeblog, dia udah mulai duluan hehehe); Asrif dari Pakistan; Ranga direktur eksekutif salah satu stasiun tv di srilanka; dan dev anggota parlemen di India. Sementara itu, koordinator dari East West Centre Ann dan Barbara.

Seminar dibagi menjadi dua bagian. Minggu pertama, presentasi dari para pakar di east west centre dan masing-masing dari kami sesuai topik seminar. Topik yang saya bawakan adalah the Indonesian Bankruptcy Reforms. It sort of fits the topic. Global Crisis. Globalization. Do you know that (pro-creditor) bankruptcy reforms has been one of the World Bank's agenda? It's one of the agenda for reform that has been spreading globally, started in Latin America in 1980s, European in 1990s and Asian in mid 1990s. And I guess I did my part quite well.

Presentasi yang lainnya, Amna tentang program pendidikan untuk anak perempuan di Pakistan, Asrif tentang peranan anak muda di Pakistan, Joey tentang konflik di Thailand, Mr. Brown yang bercerita tentang kiprahnya di dunia blogger yang sempat membuat senewen Pemerintah Singapura, Ranga juga tentang kiprah usilnya menyentil politikus melalui TV yang dikelolanya di Srilanka, May tentang kebijakan tenaga kerja di Filipina, Bonnie tentang kaum muda di Hongkong dan presentasi tentang Cina dan media dari Catherine serta kudeta dan konstitusi di Fiji dari Tipou. Sementara dari pihak teman Amerika kami, ada tentang kebijakan imigrasi di Amerika dari Will, Agroturis dari Joe, sistem politik di Amerika dari Tim dan Visi untuk mengembalikan kehidupan perekonomian di Youngstown dari Jay.

Selebihnya, kami habiskan waktu untuk menikmati kota honolulu, ke pantai waikiki, melihat tarian hula, mencicipi masakan lokal yang sekilas mirip dengan masakan di ternate :-), beli suvenir, makan malam bareng di outback, serta singgah di kantor obama dan mccain.

Bagian kedua dari seminar ini, kami berdiskusi dengan pelbagai macam orang dari pelbagai institusi sehingga kami pun berpindah-pindah tempat. Pertama, ke youngstown, melihat bagaimana kota ini berjuang menghadapi krisis. Kota yang tadinya makmur dari industri baja dan perlahan menurun kemudian berusaha bangkit lagi. Kami bertemu dengan pengusaha alat mekanik pertanian, keluarga petani, industriawan, dan para wakil kota di Youngstown untuk mendapatkan sejarah dan latar belakang krisis. Kami juga mengunjungi museum industri baja, bertamu dan menonton pertandingan football di Youngstown University. Sehari berikutnya kami habiskan di Cleveland, masih di negara federal yang sama, Ohio, namun kali ini adalah ibukotanya. Kami bertemu dengan salah satu senator yang semua orang berpendapat yang sama, senator yang sangat humanis.

Tiga hari berikutnya kami habiskan di Washington DC, dengan sebelumnya mampir di Minnesota dalam perjalanan transit pesawat, sekedar untuk sarapan dan melihat kotanya seribu danau itu sejenak, ditemani ayahnya Ann. Di washington kami bertemu dengan direktur East-West Centre, bertemu dengan beberapa institusi penting, melihat obama pidato di Senat, mencicipi kafe capitol di dekat gedung parlemen, mencobai tradisi marshmallow, dibakar-diletakan di atas biskuit, diberi coklat baru dimakan, serta mengunjungi landmarks. Beberapa hari terakhir, saya habiskan di Maryland, kediaman liliana and philipe, orang tua will. Sempat menikmati nongkrong di kafe sport melihat football game dengan 2 teman will yang lain, mengunjungi museum smithsonian, bertemu dengan mas dwi, mbak nina dan para krucilnya serta makan malam merayakan ulang tahun will di restoran favoritnya.

Toilet di Bandara Narita, Jepang

Buat yang baru “melek dunia” (baca: berpergian ke luar negeri), kebodohan dan kegagapan melihat perkembangan dunia di “luar sana” memang sering terjadi. Jangankan keluar negeri, pengalaman pertama naik pesawat domestik aja, kegagapan ini masih sering terjadi. Dan, kegagapan yang terasa ketika berpergian keluar negeri adalah: toilet! Kenapa toilet, karena entah kenapa kalau lagi berpergian, keinginan pipis lebih sering datang. Beda dengan kehidupan “hari-hari biasa” dimana pipis identik dengan kegiatan menjemput tita yg ngebuzz di YM ngajak pipis dan kami gunakan moment pipis tadi untuk ngobrol di sepanjang jalan dari ruangan ke toilet dan ke ruangan lagi. Lebih banyak waktu untuk mengobrol dibanding pipis :-) Beruntunglah kita tidak bekerja di kantoran, apalagi bank, yang aktivitas pipis aja dijatah pake stopwatch agar tidak lebih dari 5 menit.

Bicara soal toilet, perjalanan yang harus transit di beberapa negara (maklum, panitia membelikan kami tiket promo yang paling murah), mau tidak mau jadi membandingkan toilet. Kali ini saya diberi kesempatan mereview toilet dalam perjalanannya saya ke NGS (New Generation Seminar) yang diadakan oleh east west centre, Honolulu. Dari 3 negara yang saya singgahi, --Singapura, Jepang dan Honolulu, untuk urusan toilet, jepang lah pemenangnya. Faktor kemenangannya bukan pada kebersihan, kemodernan atau kecanggihannya. Toilet di Jepang memang canggih, tapi bukan sekedar canggih. Kecanggihan yang menurut saya, mengandung nilai kegilaan, yaitu kegilaan perhatian pada hal atau kebutuhan yang detail. Sekedar canggih itu hal yang biasa. Negara maju memang harus menghadirkan kecanggihan-kecanggihan sebagai bukti peradaban mereka yang menjunjung nilai-nilai kemanusian. Dan ini dimulai dari toilet. Kecanggihan plus nilai kegilaan pada kebutuhan atau hal yang detail ini yang menurut saya juga ada di acara takeshi castle (OOT dikit).

Kecanggihan pertama, toilet di bandara Narita memiliki tombol-tombol yang punya fungsi agak gila, di sisi kanan tempat dudukan toiletnya. Sekilas, saya pikir itu tombol mesin cuci hehe. Tapi pikiran bodoh saya pun disadarkan oleh pertanyaan saya sendiri, apanya yang mau dicuci di toilet? Setelah melihat lebih dalam lagi, tombol itu adalah tombol yang fungsinya mengatur jenis suara dan volume siraman toilet (mirip pengatur musik jadinya ya?), tombol yang mengatur tekanan air serta tombol yang menambah pengharum agar air siraman lebih wangi.

Kecanggihan kedua, adalah kecanggihan yang sudah seharusnya. Kecanggihan yang selama ini kita perjuangkan di advokasi RUU Pelayanan Publik bersama Jaringan MP3 (Masyarakat Peduli Pelayanan Publik). Toilet yang ramah terhadap mereka yang difabel, lansia, dan ibu-ibu yang hendak mengganti popok anaknya. Kecanggihannya terletak pada luasnya toilet itu. Lengkap dengan tombol merah untuk menutup dan tombol hijau untuk membuka. Menekan memang lebih mudah dibandingkan membuka pegangan pintu.

Tapi, yang bikin saya tergagap gembira adalah toilet ini memasukan satu kepentingan kelompok “minoritas” lain, yaitu orang yang hendak berganti baju. Untuk urusan kepentingan orang yang hendak ganti baju, rupanya luput dari kajian MP3. Mungkin, kepentingan untuk berganti baju di toilet umum belum dianggap sebagai kepentingan yang perlu diakomodasi. Tapi coba anda bayangkan, saya ingin mengganti bagian privat saya dan akhirnya saya enggan karena melihat antrian yang panjang. Saya mau melakukannya tanpa perlu melihat wajah misuh-misuh atau nyinyir tersembunyi dari mereka yang antri. Buat saya, ini kecanggihan dengan suatu terobosan yang kebutuhannya ada tapi tidak dipikirkan!

Kecanggihan ketiga, adalah kecanggihan yang mengandung nilai kepraktisan. Kecanggihan yang mengakomodasi kebutuhan pipis ibu-ibu yang lagi menggendong anaknya dan sang suami mungkin terlalu malas untuk menggantikan menggendong atau kebetulan tidak sedang menemani sang istri. Di dekat pintu, ada dudukan yang mudah dibuka dan ditutup (agar tidak terlalu makan tempat) sebagai tempat meletakan bayinya selama si ibu pipis. Ibu tidak perlu khawatir, karena letaknya berdekatan dengan toilet buat si ibu. Bahkan si ibu bisa pipis sambil becanda dengan anaknya.

Mungkin RUU Pelayanan Publik perlu direvisi. Siapa bilang, advokasi RUU tidak bisa menyentuh masalah nyata warga negara ini? Toilet adalah urusan yang nyata dan dekat dengan masyarakat!

Ps. Tapi rupanya, kecanggihan toilet di Jepang bisa jadi hanya di bandaranya saja. Untuk review toilet di Jepang di tempat-tempat yang bukan merepresentasikan kegengsian negara, baca tulisan farid mardin di: http://faridm88.multiply.com/journal/item/8/WC_DI_JEPANG

Saturday, May 24, 2008

Wisata LDT Takengon


Beberapa bulan lalu, tepatnya tanggal 20-23 Maret 2008, saya ke Takengon untuk keperluan pekerjaan. Kali ini, memberikan Legislative Drafting Training (LDT) atau Pelatihan Perancangan Peraturan untuk anggota DPRK Bener Meriah, sebuah kabupaten baru perluasan dari Kabupaten Aceh Besar. Sebenarnya ini panggilan tugas dadakan. Tim aslinya adalah bang Irfan, Maryam dan Ery. Namun, karena punggung ery yang baru di operasi tidak sanggup menahan beban perjalanan ke Takengon yang memakan waktu 7 jam dengan naik mobil melewati jalan berkelok-liku tajam, maka sayalah yang diminta menggantikan. Waktu itu bertepatan dengan libur panjang karena 2 tanggal merah. Sial karena lagi-lagi tanggal merah terlewatkan dengan sia-sia. Saya sudah lupa tepatnya kapan tidak lagi ada batasan antara weekdays dan weekend. Buat saya (dan yg lainnya juga), gak ada bedanya. Setiap hari libur dan tanggal merah adalah hari kerja. Mungkin itu sebabnya kami suka menyempilkan kesenangan di sela-sela pekerjaan, hehehe..

Singkat cerita, seperti biasa saya menyiapkan bahan dan mencari pengetahuan di internet
tentang kota asal para peserta, Bener Meriah dan tempat training diadakan, Takengon. Pengetahuan saya tentang Takengon hanya sebatas salah satu kota wisata di Aceh. Itupun dari Erni, yang dulu pernah kesana. Kota yang memiliki potensi yang luar biasa di bidang pariwisata tapi seperti biasa, tidak digarap dengan baik. Sementara informasi mengenai Bener Meriah, tidak sempat saya cari.

Tiba di bandara, kami dijemput oleh bang Yasser dan Pak Win, langsung menuju Takengon. Dan perjalanan panjang pun dimulai.

Wisata Danau dan Wisata Kuliner
Yang menarik dari perjalanan kali ini adalah kami sempat berwisata danau dan wisata kuliner :-).

Dalam perjalanan ke Takengon, kami berhenti sebentar di sebuah rumah makan di satu tempat antah berantah antara banda aceh dan takengon. Warungnya sederhana. Prasmanan. Mirip warung padang dimana lauk pauknya disediakan di meja makan dalam piring-piring kecil. Kami makan dengan lahap, seperti biasa :-). Selain kelaparan, juga karena makanannya enak :-). Salah satu makanan khas Takengon adalah ikan kecil-kecil yang saya lupa namanya apa. Dan seperti biasanya pula, saya selalu pesan timun kerok. Entah kenapa, timun kerok di Aceh selalu enak. Dan jus-jus lainnya. Mungkin karena belum banyak pestisida. Entahlah.

Sepanjang jalan berikutnya kami juga melihat deretan kripik yang dijual dalam plastik bening seukuran karung beras. Berbagai macam kripik dijajakan, mulai dari kripik pisang (manis dan asin), singkong, ubi hingga sukun. Penjualnya ramah-ramah. Kalau kita ramah sedikit dengan mereka, dijamin bonus sekantong kripik diberikan :-) Sesampai di Takengon, hari sudah menjelang sore dan kami langsung menuju danai air tawar. Apalagi kalau bukan untuk foto-foto :-)

Mie Aceh di Kompleks Terminal
Perburuan makanan ini dilanjutkan pada malam pertama pelatihan. Teman-teman BRR menemani kami makan. Kami makan di sebuah rumah makan lesehan. Mencicipi mie Aceh di Takengon. Siapa tau saja rasanya berbeda :-). Perburuan mie aceh ini dilanjutkan pada malam kedua, oleh saya dan Maryam. Untuk informasi mie aceh yang enak, kami menggunakan metode pencarian data snowball. Kami bertanya kepada abang-abang di supermarket kecil di depan hotel, yang kemudian bertanya lagi pada abang-abang lain di dekat situ. Dari metode ini, kami dapatkan informasi: mie aceh di kompleks terminal. Bahkan, ada abang bentor yang siap mengantarkan kami di sana. Sip lah, dapat informasi dari "orang lokal".

Rupanya, yang kami kira nama kompleks sebuah perumahan adalah benar-benar... kompleks terminal (bus). Saat itu, jam sudah menunjukan pukul 9 malam. Untuk ukuran jakarta sih, masih "sore". Tapi ini Aceh, jeng. Tepatnya, Takengon. Yang menurut koran lokal yang saya beli di bandara, baru saja terjadi konflik penculikan salah satu tokoh penting. Agaknya, konflik-konflik kecil sudah mulai bermunculan. Terlepas dari kemajuan tentang Aceh yang diberitakan.

Kembali ke cerita, karena sudah terlanjur, kami cuek saja. Mantap dengan niat semula, mencicipi mie Aceh yang 100% orisinil :-) Rupanya benar, mienya benar-benar enak! Cuma sayangnya, terminal, pembeli cuma berdua dan perempuan serta jam 9 malam di Takengon bukan kombinasi yang baik untuk dapat menikmati mie aceh dengan santai. Di kejauhan, terlihat kedai kopi dengan bangku-bangku kosong. Kedai itu tidak semenarik kedai kopi di ulee kareng dan di tempat lain. Remang-remang. Konon katanya, di situ pernah menjadi lokasi prostitusi. Belum lagi, preman terminal yang suka melirik, menggoda dan bahkan menyetop kami yang sedang menunggu bentor di jalanan yang sudah sepi dan toko-toko sudah tutup. Untunglah, ada bentor yang lewat dan menyelematkan kami. Terpaksa si kepiting yg menggiurkan pesanan maryam harus dibungkus dan dimakan di hotel. Jadi, bila ingin menikmati mie aceh di terminal bus, pastikan anda membawa laki-laki. Ini bukan persoalan bias gender, tapi memang buat sebagian besar masyarakat kita, kehadiran laki-laki di tengah gerombolan perempuan masih seperti anjing penjaga yang memastikan dombanya tidak diganggu :-)