Keadilan adalah soal hati nurani. Ketika kita kehilangan hati nurani, maka tidak ada keadilan.
Beberapa tahun belakangan ini, pengarusutamaan gender menjadi bagian penting kebijakan di segala bidang, terutama pada penegakan prinsip-prinsip demokrasi dan pembaruan penegakan hukum. Perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan sebagai kelompok rentan mewarnai pelbagai dokumen kebijakan para pengambil keputusan. Adalah tindakan yang salah secara politik bagi seorang pengambil kebijakan untuk tidak mendukung pengarusutamaan gender dan tidak memiliki keberpihakan terhadap perlindungan hak-hak perempuan. Akses keadilan bagi perempuan merupakan salah satu bagian penting dari pengarusutamaan gender tersebut.
Namun demikian, masih ada jurang yang besar antara semangat dan implementasi untuk melindungi kepentingan dan hak-hak serta keberpihakan terhadap perempuan. Gagasan ini masih diterima sebagai jargon dan sesuatu yang sekedar secara politik harus diamini dan didukung. Masih ada ketidakpahaman dan bahkan resistensi terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh perempuan yang mengakar pada budaya, tradisi, struktur, relasi sosial dan sikap serta nilai-nilai yang dimiliki oleh aparat penegak hukum.
Ketika perempuan berhadapan dengan hukum, maka dia tidak saja berurusan dengan peraturan perundang-undangan yang mungkin masih diskriminatif, namun juga sistem dan aparat penegak hukum yang seringkali masih dipengaruhi oleh budaya dan cara pandang patriarkal yang kental. Persepsi para pengambil kebijakan dan aparat penegak hukum terhadap keadilan dan akses keadilan itu sendiri acapkali belum memperhatikan pengalaman dan kepentingan perempuan. Akibatnya, hak-hak perempuan semakin tidak terjamin dan posisinya semakin terpinggirkan.
Tulisan ini mencoba menelusuri perkembangan konsep akses keadilan. Yaitu dari yang tidak memperhatikan persoalan struktural dalam masyarakat menjadi akses keadilan berbasis hak asasi manusia (HAM). Pendekatan ini berusaha meningkatkan akses keadilan kelompok marjinal, terutama perempuan dan anak, serta memperhatikan pengalaman mereka dalam proses hukum. Namun demikian, untuk mewujudkan akses keadilan bagi perempuan tidak saja membutuhkan perbaikan di bidang proses beracara di peradilan saja, namun juga meliputi banyak aspek mulai dari peraturan perundang-undangan, kesiapan institusi negara dan perubahan radikal terhadap nilai-nilai aparat penegak hukum dan masyarakat. Sehingga, akses terhadap keadilan bagi perempuan perlu dilihat dari spektrum yang lebih luas.
Evolusi Gagasan Akses Keadilan: Dari Pendekatan Ekonomi ke HAM
Manusia perlu melindungi hak-haknya dari setiap kemungkinan pelanggaran hak atau kekerasan yang dilakukan oleh manusia lain, terutama ketika terjadi sengketa atau konflik. Ketika itu terjadi, maka perlu ada tindakan koreksi berupa restitusi ataupun kompensasi atas pelanggaran hak atau kekerasan yang dilakukan terhadap korban. Proses ini dapat dilakukan secara formal oleh institusi penegak hukum yang dibentuk oleh negara maupun institusi penyelesaian sengketa atau konflik informal yang hidup dan mengakar dalam budaya masyarakat.
Namun demikian pada kenyatannya, tidak semua kelompok masyarakat dapat mengakses proses itu dan memperoleh keadilan. Ada kesenjangan relasi kekuasaan dalam masyarakat dan ketimpangan struktural lainnya yang membuat mereka tidak memiliki daya dan kapasitas, tidak merasa perlu untuk menempuh jalur penyelesaian hukum atau sebaliknya dirugikan hak-haknya oleh sistem hukum. Akibatnya, posisi dan kondisi mereka terancam semakin lemah dan terpuruk. Disinilah persoalan akses keadilan bagi kelompok masyarakat marjinal, terutama perempuan, menjadi penting.
Terminologinya akses terhadap keadilan sesungguhnya tidak mudah dijelaskan. Namun, akses keadilan sebagai suatu gagasan bukan suatu hal baru. Gagasan ini dapat ditelusuri setidaknya sejak masa liberalisme klasik. Wacana mengenai akses terhadap keadilan itu sendiri berangkat dari keresahan mendasar setiap orang terhadap sistem hukum. Untuk apakah sistem hukum itu dibuat dan siapakah yang sesungguhnya memperoleh keuntungan dari itu?
Mauro Cappeletti dan Bryant Garth (1978) mencoba menelusuri perkembangan gagasan ini. Liberalisme klasik memandang akses terhadap keadilan sebagai sebuah hak dasar (natural right) sebagai hak individu untuk menuntut dan memperoleh hak-haknya. Namun demikian, karena sifatnya yang natural right maka tidak dibutuhkan tindakan afirmatif dari negara untuk melindungi hak-hak tersebut dan memedulikan kelompok masyarakat yang tidak memiliki kapasitas untuk mengakses institusi hukum. Akibatnya, akses terhadap keadilan hanya diperuntukkan bagi mereka yang mampu memanfaatkan institusi ekonomi, politik dan hukum.
Konsep ini pun mengalami evolusi, sejalan dengan perkembangan masyarakat pasar bebas yang memunculkan wacana hak asasi manusia dan konsep kolektivitas yang menyeimbangkan karakter individualitas yang menjadi ciri khasnya. Gerakan yang mewacanakan hak-hak sosial dan kewajiban negara, masyarakat, dan individu pun meluas. Hal ini terefleksikan dalam dokumen-dokumen penting seperti Bills of Rights dan Konstitusi Perancis 1946 yang menjadi tonggak perubahan tersebut.
Perdebatannya tidak lagi terfokus pada pemenuhan hak-hak saja, namun juga bagaimana hak-hak tersebut dapat dimiliki dan diakses oleh semua orang. Sehingga dalam sistem demokrasi modern yang mulai berkembang luas, pemenuhan hak akses terhadap keadilan membutuhkan peran negara untuk menciptakan kondisi dimana hal itu dapat diakses oleh semua orang. Oleh karena itu, gagasan mengenai akses keadilan pun bergeser. Akses keadilan dengan pendekatan berbasis ekonomi bergeser menjadi akses keadilan berbasis hak asasi manusia (HAM).
Peran negara diperlukan karena negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak asasi manusia penduduknya. Hak asasi manusia adalah dasar yang sah untuk menuntut kewajiban negara memenuhi hak-hak yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat sebagai manusia. Tujuannya untuk memberdayakan kelompok miskin, marjnal lainnya dan menguatkan tata pemerintahan yang demokratis. Hal ini yang melatarbelakangi munculnya program-program akses keadilan berbasis hak asasi manusia. Membuka akses terhadap keadilan sebagai hak asasi manusia diyakini mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan (UNDP, 2005: 3-6).
Pendekatan akses keadilan berbasis HAM menuntut negara untuk membangun fondasinya melalui kebijakan dan menciptakan kondisi yang kondusif. Hal ini membuat persoalan akses keadilan dilihat dalam spektrum yang lebih luas, yaitu tidak sekedar persoalan prosedur dan mekanisme penyelesaian perkara.
Pemerintah melalui Bappenas mengeluarkan strategi nasional akses keadilan pada tahun 2009. Dokumen kebijakan ini meletakkan fondasi dan arah akses keadilan di Indonesia. Akses keadilan meliputi pelayanan publik, penanggulangan kemiskinan, otonomi daerah, Selain itu, strategi pengembangan akses keadilan difokuskan pada bidang pertanahan dan sumber daya alam, perempuan dan anak, Pemerintahan Daerah, pelayanan bantuan hukum, reformasi hukum dan peradilan, ketenagakerjaan, dan strategi lintas bidang (kemiskinan, kelompok tertindas dan terpinggirkan).
Instrumen yang digunakan untuk mengidentifikasi sejauh mana masyarakat telah memperoleh akses terhadap keadilan dari berbagai strategi di atas, yaitu:
a. kerangka normatif;
b. kesadaran hukum;
c. akses kepada forum penyelesaian konflik yang terjangkau masyarakat;
d. penanganan keluhan masyarakat yang efektif;
e. mekanisme pemulihan hak-hak yang dilanggar;
f. terselesaikannya permasalahan kemiskinan, kelompok tertindas dan terpinggirkan.
Dengan kerangka di atas, maka program-program penguatan akses keadilan difokuskan pada (UNDP, 2005: 3-6):
a. Perlindungan hukum, yaitu pembentukan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum bagi perlindungan akses keadilan sebagai sebuah hak.
b. Peningkatan kesadaran hukum, yaitu meningkatkan kesadaran kelompok marjinal, aparat penegak hukum dan pengambil kebijakan mengenai pentingnya akses keadilan.
c. Bantuan dan konsultasi hukum, yaitu memberikan jasa-jasa bantuan dan konsultan hukum bagi kelompok marjinal ketika berhadapan dengan aparat penegak hukum dan mengajukan kasusnya ke pengadilan.
d. Ajudikasi, yaitu menguatkan mekanisme penyelesaian sengketa informal (non-negara) agar turut melindungi hak-hak kelompok marjinal.
e. Penguatan mekanisme penegakan hukum, yaitu menguatkan mekanisme penegakan hukum mulai dari penyelidikan hingga di pengadilan yang memperhatikan kepentingan kelompok marjinal.
f. Pemantauan parlemen oleh kelompok masyarakat sipil, yaitu tekanan publik berupa monitoring dan evaluasi masyarakat sipil terhadap kebijakan terkait akses keadilan yang dikeluarkan oleh parlemen.
Namun demikian, saat ini studi-studi mengenai akses keadilan umumnya baru mengenai tingkat akses keadilan bagi kelompok masyarakat miskin seperti yang dilakukan oleh lembaga-lembaga donor yang besar seperti World Bank (2004, 2006 & 2008), UNDP (2007) dan Asia Foundation (2001). Studi mengenai bagaimana perempuan terutama yang berasal dari kelompok masyarakat miskin tersebut memperoleh akses kepada keadilan masih minim.
No comments:
Post a Comment