Persoalan Besar Akses Keadilan Berperspektif Perempuan
Akses keadilan berperspektif perempuan penting mengingat di beberapa bidang, perempuan adalah pencari keadilan dan pengguna terbesar institusi peradilan. Komnas Perempuan (2008) mencatat peningkatan pelaporan kekerasan terhadap perempuan hingga 80 persen setiap tahunnya pada periode 2001- 2007 dan menunjukkan lebih dari 25 ribu kasus pada tahun 2007. Dari jumlah kasus tersebut, sebagian besar (82 persen) merupakan kasus KDRT dan sekitar 45 persen korban adalah ibu rumah tangga. Sebagai catatan, ada kemungkinan data ini lebih besar dari realitasnya mengingat sebagian masyarakat masih menganggap tabu untuk melaporkan kasus KDRT. Selain itu, data Susenas (2006) menunjukkan bahwa prevalensi kekerasan terhadap perempuan sebesar 3,1 persen dan terhadap anak sebesar 7,6 persen. Atau, sekitar 3-4 juta perempuan dan sekitar 4 juta anak mengalami kekerasan setiap tahunnya .
Mengacu pada kerangka akses keadilan berbasis HAM di atas, maka akses keadilan berperspektif perempuan harus ditopang dengan adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin dan memastikan akses diakui oleh hukum. Beberapa peraturan perundang-undangan sudah dibuat untuk menguatkan posisi tawar perempuan di hadapan hukum. Misalnya, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) sebagai landasan hukum yang kuat bagi pemerintah untuk mencegah dan memberantas kejahatan perdagangan perempuan dan anak, revisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri berikut peraturan pelaksananya.
Selain itu, pelbagai upaya lain juga sudah dilakukan. Misalnya, pembuatan perangkat yang dibutuhkan seperti ruang khusus pemeriksaan untuk perempuan, pelatihan-pelatihan gender bagi aparat penegak hukum, dan lain sebagainya. Akan tetapi, perempuan masih mengalami hambatan dan kesulitan akses keadilan.
Keadilan tidak bergerak dalam ruang yang vakum sehingga dimaknai secara berbeda-beda oleh lapisan masyarakat maupun aparat penegak hukum. Bagaimana keadilan itu diartikan dan diterapkan oleh aparat penegak hukum sangat dipengaruhi oleh struktur, sistem dan budaya yang tumbuh dalam masyarakat, yang belum memperhatikan kepentingan dan pengalaman perempuan. Akibatnya, terjadi jurang pemisah antara keadilan yang dipahami oleh penegak hukum dan perempuan pencari keadilan. Sehingga, pemenuhan hak-hak perempuan masih dibentengi oleh persepsi mengenai hak-hak, keadilan dan akses terhadap keadilan yang masih bias gender baik dalam mekanisme formal maupun informal. Ada beberapa persoalan besar kesulitan perempuan mengakses keadilan.
Pertama, keadilan dibuat untuk tidak mendengar dan berjarak dengan realitas perempuan. Pengalaman perempuan seringkali tidak diperhatikan dan bahkan dinegasikan. Buku “Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan demi Keadilan” (Komnas Perempuan: Jakarta, 2009) mengungkapkan salah satu perempuan korban penyiksaan di Aceh pada masa konflik bersenjata 2001 yang bercerita tentang keadilan, yaitu: ”Adil adalah adanya kesempatan untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi (pada saya) dan itu diterima sebagai sebuah fakta dan kebenaran”.
Perempuan-perempuan korban konflik mengalami kesulitan dalam membawa kasus kekerasan yang dialaminya pada masa konflik ke hadapan hukum. Misalnya, kekerasan terhadap perempuan pada masa konflik dianggap sebagai sesuatu yang “wajar” untuk situasi konflik. Sebagai contoh, pengalaman salah satu korban penyiksaan di bawah ini:
“Mereka tidak tahu kecuali bahwa saya hanya dipukul. Saya tidak cerita kepada suami. Saya sangat takut dan merasa sangat malu. Saya tidak berani ambil resiko dan tidak berani membayangkan kalau suami saya tahu. Kemungkinan besar, dia tidak bisa menerima bahwa saya telah ditiduri oleh orang lain, walaupun itu diperkosa…. Malu, kalau terjadi perceraian dan masyarakat nanti akan cari tahu (apa alasanya).” (Perempuan Aceh korban penyiksaan seksual pada masa konflik bersenjata, 2003)
Kedua, masih adanya hambatan sosial dan budaya. Dalam kasus perempuan korban kekerasan pada masa konflik di atas, mereka kesulitan untuk memberikan bukti-bukti tindak kekerasan yang dialaminya serta perspektif kebudayaan umum terhadap tubuh perempuan yang seakan sah dieksploitasi dalam bentuk apapun di ruang privat atau publik. Seandainya pun kasus tersebut di bawa ke muka publik, mereka juga mengalami hambatan psikologis dan sosial untuk menghadapi segala konsekuensi dari masyarakat sekitarnya akibat terbongkarnya kasus mereka di hadapan umum. Hal yang sama juga terjadi pada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dalam situasi normal. Persoalan kemiskinan, domestikasi dan subordinasi status sosial perempuan membuat perempuan semakin termarjinalkan dalam akses keadilan.
Ketiadaan perspektif perempuan dan pengabaian pengalaman perempuan dalam struktur pengambilan keputusan, terutama di daerah, mengakibatkan lahirnya produk hukum dan kebijakan yang tidak memerhatikan kepentingan perempuan. Hal yang sama juga terjadi dalam berbagai mekanisme pencarian keadilan informal di mana kultur patriarki yang kuat menghalangi akses perempuan untuk memperoleh keadilan. Perempuan dihadapkan pada aturan-aturan adat dan agama yang masih biasa jender dan melemahkan posisi perempuan. Posisi perempuan yang masih disubordinasikan sebagai makhluk yang lemah secara intelektual, di bawah laki-laki, tidak perlu diikutsertakan dalam pengambilan kebijakan, tidak memiliki pilihan sendiri, tidak dihargai kontribusinya baik dalam ruang privat dan publik, membuatnya menjadi pihak yang terpaksa pasrah ketika berhadapan dengan dominasi patriarki dalam struktur dan budaya di masyarakat.
Sebagai gambaran, sejak tahun 2005 menunjukkan bahwa sekitar 50% dari total kasus yang dilaporkan dicabut kembali oleh korban sehingga proses hukum tidak dapat diteruskan (Komnas Perempuan, 2008). Pencabutan laporan ini diakibatkan perempuan korban masih merasa malu, bersalah atas kekerasan yang menimpa dirinya dan khawatir dipersalahkan oleh keluarga dan masyarakat di sekelilingnya.
Ketiga, tidak semua perempuan memiliki akses keadilan yang sama. Meski data Pengadilan Agama 2007-2009 menunjukkan bahwa dari 97% kasus yang masuk adalah perceraian dimana jumlah perempuan yang mengajukan perceraian adalah dua kali dari laki-laki,[1] namun perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan memiliki kesulitan mengakses keadilan. Sembilan dari sepuluh perempuan kepala rumah tangga tidak dapat mengakses pengadilan untuk mengajukan kasus perceraian mereka.
Sebagai tambahan, hasil temuan LBH-APIK mengungkapkan bahwa kasus-kasus perempuan yang ditangani oleh organisasi perempuan masih terfokus pada kasus-kasus yang terjadi di perkotaan (World Bank, 2008: 6). Kasus-kasus perempuan di pedesaan, masih belum menjadi bagian dari agenda penanganan organisasi perempuan. Akibatnya, perempuan, terutama yang berasal dari kelompok masyarakat miskin dan tidak terdidik mengalami lebih banyak hambatan untuk memperoleh dan mempertahankan hak-haknya di di hadapan hukum, terutama dalam proses peradilan.
Keempat, perangkat yang diciptakan khusus untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan tidak berjalan efektif karena terbentur dengan lemahnya kapasitas dan keinginan dari aparat penegak hukum. Dalam contoh kasus yang mengenaskan, perempuan korban kekerasan masih belum terlindungi hak-haknya dan justru mengalami aksi pembalasan dari pelaku. Sebagai contoh, di tengah persidangan kasus pembagian harta gono-gini di Pengadilan Agama Sidoarjo, Eka Suhartini ditikam mati oleh mantan suaminya, Kol. TNI AL Irfan Djumrono. Pelaku juga membunuh hakim yang sedang memimpin sidang, Achmad Taufik. Peristiwa ini mencerminkan perempuan korban kekerasan belum dapat mengakses perlindungan saksi dan korban.
Quo Vadis Masa Depan Akses Keadilan bagi Perempuan?
Mewujudkan akses keadilan berperspektif perempuan tidaklah mudah. Sebagai langkah awal adalah mendekatkan perempuan dengan proses di tataran legislasi dan peradilan. Pertama, produk hukum yang dihasilkan harus dipastikan mengandung nilai-nilai keadilan jender yang substansial. Peraturan perundang-undangan adalah produk hukum yang dilahirkan sebagai residu dari pertarungan kepentingan-kepentingan dalam proses politik yang pada akhirnya mereduksi nilai keadilan itu sendiri. Meskipun hakim diberi ruang untuk menginterpretasikan hukum, hakim tetap terikat pada peraturan perundang-undangan dalam mengambil putusan. Oleh karena itu, adalah penting untuk melibatkan perempuan dalam proses legislasi.
Persoalan selanjutnya adalah membuka akses bagi perempuan untuk menggunakan institusi pengadilan, utamanya bagi perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan. Masalah terbesar adalah biaya proses peradilan yang tidak terjangkau. Sebagai gambaran, pada tahun 2008 biaya perkara perceraian rata-rata di pengadilan agama adalah sebesar Rp. 789.666,- dan di pengadilan negeri adalah Rp. 2.050.000,- (tidak menggunakan bantuan advokat) dan Rp. 10.350.000,- (menggunakan bantuan advokat). Jumlah ini sangat jauh bila dibandingkan dengan penghasilan rata-rata 14% masyarakat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan, yaitu Rp. 200.262,-. Oleh karena itu, bantuan hukum terhadap perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan perlu ditingkatkan, yang meliputi tidak saja biaya perkara namun juga biaya transportasi ke pengadilan.
Terakhir namun tidak kalah pentingnya adalah, tekanan publik untuk mendorong perubahan di tataran non-hukum seperti cara pandang dan perilaku para pengambil kebijakan dan aparat penegak hukum. Para pihak yang terkait mulai dari aparat penegak hukum, pemangku adat hingga masyarakat umum yang menjadi bagian dari permasalahan perlu dilibatkan. Kesadaran bahwa persoalan akses perempuan memperoleh keadilan tidak lagi eksklusif menjadi milik perempuan saja, namun persoalan bersama bagaimana menciptakan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan jender. Suatu tata nilai yang perlu diyakini memberikan manfaat bagi semua orang, demi tatanan masyarakat yang lebih baik.
No comments:
Post a Comment