Sunday, January 4, 2009

Lost in Translation in France: Paris dan Pantat Babi


Kisah ini terjadi sekitar bulan akhir Oktober- awal November 2005, segera setelah ujian Term IA, kalau tidak salah. Harap maklum kalau banyak bunga-bunga kalimat yang meloncat sana-sini tidak karuan. Tanda bahwa si monster berkepala banyak belum berhasil ditaklukkan :-)

Eropa merupakan benua yang sangat menarik. Sebuah benua yang membentangkan pelbagai negara yang letaknya berdekatan dan relatif terjangkau, baik dari urusan transportasi maupun ijin masuk. Bila memegang visa schengen, lebih memudahkan untuk menjelajahi beberapa negara yang dapat ditempuh hanya dengan kereta api dan tanpa perlu mengurus visa seperti Paris, Perancis.

Kenapa Perancis jadi tujuan pertama jalan-jalan di Eropa? Karena negara ini konon kotanya penuh dengan bangunan yang tidak saja megah namun juga eksotik dan romantis. Negara yang ibukotanya merupakan pusat kuliner, pusat fashion dan pusat belanja. Negara dimana bahasanya menjadi salah satu bahasa resmi PBB. Negara yang konon katanya bahasanya paling romantis di dunia. Tidak heran bila negara ini adalah tujuan pertama jalan-jalan kami segera setelah selesai ujian pada termin I di bulan November 2006 (benar-benar segera dalam pengertian, ujian selesai jam 13.00 dan kami berangkat pukul 14.00 tepat!).

Hmmm, sebenarnya saya juga kurang paham dengan pemahaman umum yang diperoleh tentang Perancis dan romantis. Atau mungkin, saya adalah salah seorang yang berhasil lari dari konstruksi sosial yang menyatakan bahwa "Perancis" dan "teromantis di dunia" selalu berjalin kelindan. Segala sesuatu tentang perancis pasti romantis. Entah apa yang digunakan sebagai parameter romantis, mungkin karena pengucapan bahasanya yang rumit. Untuk melafalkan huruf "u" Perancis saja, mulut kita harus dimonyongkan membentuk "o" sementara secara bersamaa lidah kita membentuk huruf "u". Itu hanya untuk huruf u! Dan mereka tidak mengucapkan huruf "h", jadi nama saya dibaca "erni". Apa bedanya dengan erni, kalau gitu? Ah, sudahlah. Yang rumit-rumit kan sepertinya keliatan punya nilai teristimewa.

Dalam kepala saya, bahasa perancis adalah suara vokalis perempuan yang sering disetel Kay, dengan suaranya yang tidak serak namun mendesah sepanjang lagu (ya, sepanjang lagu!), "Je ta'ime.... je ta'ime.... je tai'meeeeeee...". Itu saja isi liriknya. Atau, cerpen bahan lomba cerita dalam bahasa perancis yang dulu saya ikuti waktu SMA "Rund rund moi ma jambe". Ini adalah kisah tentang hantu paha sapi yg tergantung-gantung (bingung kan? saya juga!). Atau kalau mau ilmiah dikit, teringat akan tulisan seorang profesor bahasa dari Belanda yang dalam bukunya tentang evolusi bahasa di dunia mengatakan bahasa perancis adalah mirip (atau bahkan tidak lebih bagus) dengan bahasa katak. Atau setidaknya, bukan jenis bahasa yang sepantasnya didudukan pada tahta bahasa yang membuat para linguist terpesona. Jadi, Perancis = romantis? Ah, rumus yang salah! :-)

Kembali ke cerita, dari sekian banyak tujuan wisata di Perancis, kami memfokuskan pada dua kota saja, Marseilles dan Paris, tentu saja. Marseilles adalah kota di belahan selatan Perancis yang dekat laut. Mereka adalah contoh dari penarikan "sample" yang tepat dari indikator keterwakilan wilayah, sekedar untuk memberikan aroma yang berbeda. Meskipun demikian, konsistensi kedua kota ini dalam menyuguhkan kemegahan yang eksotik tetap sama.

Ada dua jenis level turis. Level pertama yang paling standar dan paling sering dilakukan adalah turis hit and run. Datang hanya beberapa hari sekedar untuk mengunjungi landmarks, mencicipi masakan lokal di restoran setempat, foto-foto, beli suvenir, upload di jaringan sosial di dunia maya and they’re done. Turis level kedua adalah turis penikmat dan pencinta kebudayaan. Mungkin mereka datang sama lamanya dari turis level satu, namun mereka lebih memilih untuk tinggal di rumah kenalan “orang lokal” yang sering berfungsi sebagai personal guide, mencicipi masakan rumah setempat, menghabiskan waktu dengan mengobrol hingga larut malam, singkatnya merasakan budaya lokal.

Untuk alasan yang murni keterbatasan sumber daya :-), kami jenis turis level pertama. Tepatnya, turis level pertama yang kere. Pergi dengan tiket yang paling murah dan menginap di penginapan murah karena hanya difungsikan untuk menyimpan barang. Membawa rice cooker kecil, beras, piring, sendok-garpu, dan gelas. Dan ini yang paling parah, membawa lauk-pauk untuk dimakan selama perjalanan karena benar-benar menghemat biaya. Biasanya, ini tugas rutin berdua dengan endah. Lauk yang selalu menjadi andalan adalah ayam goreng, daging gepuk, kerling tempe, teri dan kacang (karena bikinnya pake kedipan mata hehe), serta sambal jahanam khas kami berdua. Makin pedas, makin irit karena makannya lebih sedikit hehe. Sementara untuk urusan akomodasi, Adrian dan Partono. Jadi, kami berempat, saya, endah, adrian dan partono.

Kami pun berjalan-jalan seharian setiap hari. Dalam perjalanan inilah, kali pertama saya terpaksa memakai body lotion. Kulit saya yang biasanya baik-baik saja dengan iklim kering Eropa, terpaksa menyerah kalah. Sekujur paha saya merah-merah dan rasanya sedikit perih. Berkat body lotion Endah :-), saya pun nyaman berjalan-jalan ke menara eiffel, chateau de versailles, moulin rouge, sacre de coure, museum louvre, disneyland, dll (I hope these are the correct spelling for those place). Entah karena sudah memasuki musim dingin atau memang kami kelaparan karena berjalan jauh, persediaan bahan makananpun menipis. Pikir punya pikir, kami harus membeli makanan. Lebih memikirkan lagi sebagai muslim (hanya Adrian yang Kristen tapi karena kita berdemokrasi, jadi minoritas harus nurut ke mayoritas hehehe), ayam panggang merupakan pilihan yang tepat.

Dalam perjalanan pulang dari sacre de coure, kami melihat ayam panggang menggiurkan dijajakan di depan toko daging di pinggir jalan. Ayam-ayam itu baru saja digiling. Saya hitung, tinggal 3 buah ukuran satu ayam. Warnanya coklat gelap habis dipanggang. Karena turis kere, kami mau tau dulu berapa harganya. Tapi ah, ya! Kami kesulitan berkomunikasi. Satu hal yang saya tidak suka lagi tentang Perancis, arogansi masyarakatnya terhadap dirinya sendiri. Narsis. (Padahal katanya, narsis adalah salah satu sifat dari psikopat, hihihi...). Mereka hampir mirip dengan orang Jerman atau Jepang, yang hanya mengakui bahasanya sendiri. Sampai ada joke, kalau di Perancis sebaiknya berbahasa jawa, jangan bahasa Inggris, atau bahasanya negara maju. Dijamin, tidak akan dijawab. Tetapi, yang kami hadapi adalah para imigran. Jadi, mereka punya dua bahasa, bahasa Perancis dan bahasa asalnya, bahasa Arab.

Toko daging itu cukup kecil. Memanjang 6 meter ke belakang dengan lebar 3m. Pintu masuk ada di sisi kanan. Di sebelah kiri, ada etalase kaca memanjang yang memajang berbagai macam daging. Namun, yang menarik perhatian saya adalah daging --well, benda tepatnya--- mirip pantat babi, saya yakin lengkap dengan ekor kecilnya yang berwarna pink! Saya sampai terpana beberapa saat. Bukan karena saya hobi mengoleksi boneka babi dalam segala bentuk dan materi. Bukan juga karena ternyata si pedagang daging yang kami anggap saudara seiman ini menjual babi, tapi si pantat babi itu begitu nyata-nya sehingga bila ada babi dipotong dua, bagian pantatnya dipajang, nah itulah dia! Apakah itu pajangan? Karena tidak mungkin si babi dijual masih dalam bentuk utuhnya, bukan?

Endah dan partono pun berdebat. Tadinya saya dan adrian ikut campur, namun akhirnya saya cape dan duduk agak jauh dari toko. Buat saya, entah itu pajangan atau pantat babi beneran, saya tidak perduli. Toh, ayam panggangnya terletak di depan. Di box yang terpisah pula. Saya sebenarnya juga tidak terlalu peduli apakah ayamnya disembelih dengan baca bismillah atau dengan kejamnya disetrum listrik oleh orang kresten, budha, hindu atau atheis sekalipun. Ini keadaan darurat, bung. And please forgive me, God. I know that You are the most merciful, the most understanding, terutama untuk hamba-Mu yang sedang kelaparan ini :-) Sementara adrian, dia kristen. Kalimat singkat ini sudah menjawab pertanyaan, bukan? Namun demi kata toleransi, meski jumlah kami seimbang kali ini, kami biarkan mereka berdiskusi sendiri. Memutuskan apakah ayam itu layak dimakan atau tidak.

Endah dan Partono masih berdebat dengan saudara seiman kami, untuk memastikan kehalalan para ayam. Mereka berdebat lama soal itu. Laki-laki tua bermuka Arab itu hanya bisa berbahasa Perancis atau Arab. Sementara endah dan partono, berbahasa Indonesia, Inggris dan mungkin Jawa, sedikit. Kemudian mereka terlibat dalam pembicaraan yang lebih sengit.

Saya dan adrian pun ikut nimbrung. Karena tampaknya urusan perut lebih penting ketimbang si pantat babi, kami pun mencoba berbicara dengan bahasa Inggris kami yang pas-pasan, "We want to buy these chicken, sir. How much is it? Lalu dia mengucapkan, "bldkdywls;erthtosketh;s.ndt;thwe" yang terdengar seperti bahasa Arab (maafkan keyboard latin saya :P) dan tidak kami mengerti, meskipun kami Islam dan meskipun kami membaca Qur'an dalam bahasa Arab (salah satu yang karim tidak habis pikir, bagaimana bisa kami membaca dan meyakini tanpa memahami dan hanya mengandalkan terjemahan?). Tapi mukanya masih keliatan bingung. Mulut-mulut kami memang terlalu cerewet. Lantas dia masuk ke dalam, memanggil saudara seiman kami yang lain. Kami pun lagi-lagi serempak bertanya dan berdiskusi di antara kami, apakah mau membeli 1, 2 atau ketiganya. Saudara-saudara seiman kami tampak bingung dihadapkan pada keempat saudara jauh yang bawel dengan bahasa yang tidak jelas. Ikatan saudara itu terjalin hanya karena jilbabku dan endah. Simbol Islam yang diterima dimana-mana. Kali ini, jilbab kami benar-benar bermanfaat, tidak lagi jadi penanda caci-maki orang Eropa yang super bodoh tidak memahami dunia Islam yang spektrumnya sangat luas, dimana muslim Indonesia jauh sangat moderat dibanding muslimnya Arab!

Di tengah keributan itu, dia akhirnya mengerti.. Lantas dia mengacungkan tangannya, 5 jari! Oh, rupanya sudah sampai pada pemahaman bahwa harga satu ayam itu 5 euro. Wah, cukup murah! Satu ayam itu bisa untuk 2-3 kali makan. Cukup untuk menahan perut kami selama 2 hari. Kami berdebat lagi soal berapa jumlah ayam yang harus dibeli. Dasar turis kere, berdebat untuk skala 5-15 euro saja, hahaha! Angka 2 seolah-olah keputusan yang baik, ditengah-tengah, jadi kami pun mengacungkan dua jari. Tapi dua orang itu diam saja, tidak ada tanda-tanda akan membungkus si ayam. Kami pun ribut lagi, berusaha menjelaskan maksud kami dari bahasa yang kami bisa, bahasa Inggris dengan logat Indonesia :-) Laki-laki penjual ayam itu kelimpungan menghadapi kami berempat yang bersuara secara bersamaan. Belum lagi, dalam bahasa yang mereka tidak mengerti betul. Yang tertua mengambil si ayam, dua buah. Kemudian, "bldkdywls;erthtosketh;s.ndt;thwe.. shabar.." Aha! shabar! Saya tau kata itu. "Eh.. eh.. dia bilang shabar.. kita musti tunggu, kali.. disuruh sabar.."

Kemudian, saudara kami yang tidak kami kenal namanya itu membungkus dua ayam yang tadi dia ambil dan memberikan pada kami. Uang 10 euro pun kami berikan. Tapi mereka menolak. Lho? Kami pun lagi-lagi kompak bersuara memaksa mereka menerima. Namun mereka lagi-lagi memaksa kami untuk menerima dua ayam yang dibungkus itu dengan bahasa "bldkdywls;erthtosketh;s.ndt;thwe.." yang tidak kami mengerti lagi.

Rupanya ayam itu diberikan ke kami secara gratis. Dan rupanya pula, saudara-saudara kami itu tadi berdiskusi mengenai pemberian ayam ini, buat kami. Ah, baiknya! Kami sudah lupa sama si pantat babi. Dan, kami sudah lupa pada bahasa percakapan standar Perancis atau Inggris. Yang terpikirkan oleh saya saat itu adalah penutup-penutup di kop surat atau yang seringkali dikemukakan oleh teman-teman saya yang aktivis Mushola. Saya tidak teringat "merci beaucoup". Saya juga tidak teringat "thank you". Yang saya ingat dan langsung katakan adalah, "Jazakillah khayran katsiran!". Bahasa yang buat teman saya yang aktivis musholla mungkin lebih romantis dari bahasa Perancis. Bahasa yang untuk bapak-bapak saudara semuslim kami adalah bahasa yang mereka pahami. Karim terbahak-bahak ketika saya bercerita tentang itu. Dia bilang, bahasa yang saya gunakan adalah bahasa yang tua. Kuno. Bahasanya kakek-kakek. Saya cuma tersenyum, mengingat saudara semuslim kami yang berbaik hati memberikan ayam pada musafir seiman (bukan turis :P), memang sudah beranjak kakek-kakek. Berarti, pas! Masalah aktivis mushola di Indonesia yang dengan bahasa romantisnya ternyata kuno dan gak gaul untuk ukuran masyarakat Arab jaman sekarang, saya tidak peduli!

3 comments:

Anonymous said...

Bener-bener muncrut!
Wah rupanya jadi hratis. Jadi terharu gue...huhuhuu. Jadi beneran pantat babi atau bukan?

-Cik Ayin

herni sri nurbayanti said...

Itulah... sampe sekarang gue juga gak tau. Tadinya mau mencolek demi merasakan itu daging atau benda, tapi si pantat babi diletakkan di etalase kaca... mungkin penanda kalau mereka jual babi. Dan soal si ayam, entah hadiah bagi para musafir (kan katanya dapet pahala) atau perasaan bersalah ketauan menjual babi? entahlah! yg jelas, ayam2 itu habis dng 2x makan saja hahaha..

Anonymous said...

Mungkin pantat babinya jg halal. Sayang blum sempet ditanya. :P

-gama