Bulan Seribu Musim
Bulan ramadhan biasanya adalah bulan seribu musim. Sebut saja mulai dari musim beribadah, musim tobat, musim bersedekah, musim artis sinetron pake jilbab, musim tayangan sahur, musim kultum pengantar berbuka, musim rejeki nomplok buat para artis, musim kaca restoran dan warung-warung makan ditutupi kain atau karton, musim orang punya alasan ngeles untuk tidak produktif sampaiiii musim kolang-kaling, cincau, dan nata de coco cepat habis terjual di supermarket dan oh ya, musim timun suri (ujung-ujungnya kok ya selalu makanan :D).
Daya tarik utama bulan ramadhan tentu saja janji pahala, rahmat dan berkah yang berlimpah. Obral gila-gilaan. Di hari-hari biasa di bulan Ramadhan saja, pahala bisa berkali-kali lipat. Belum lagi, bila dapat "jackpot" malam lailatul Qadar. 1000 bulan! Yang berpikir hitung-hitungan mungkin serasa dapat tabungan pahala lebih dari seumur hidup. Pikirnya, kalau dapat, setelahnya bisa ongkang-ongkang kaki dalam beribadah :)
Sisi positifnya, semua orang berlomba-lomba dalam kebaikan, terutama dalam beramal jariyah. Sedekah lebih afdol di bulan puasa. Mungkin ini salah satu latar belakang munculnya THR. Bukan cuma untuk ketupat, sayur jakarta lengkap pakai petay, sambal goreng ati, daging, opor ayam dan kue-kue manis serta pakaian, sepatu, mukena, baju koko, dan sajadah baru, tapi juga untuk bersedekah.
THR saya saja biasanya habis untuk memberi hadiah sana-sini. Sebagian ditukar lima ribuan untuk
pasukan anak-anak kicing. Bedanya, dulu sih ditukar segepok uang seratusan. Namun sekarang, uang angpau itu pun kena inflasi! :D Belum lagi, anak-anak kicing sekarang makin pinter-pinter. Kecil-kecil sudah tau kalau uang yang berwarna biru bergambar gunung lebih rendah nilainya dibanding yang warna coklat, apalagi pink. Atau membedakan merahnya 10.000 dengan pink-nya 100.000. Jadi maunya, "Minta yang pinkkkkkkkk..." Pinter ya kalian, udah bisa membedakan antara merah dan pink :) Kita aja yang udah gede masih suka ketuker-tuker :P.
Tangan Kiri Tidak Boleh Tau?
Beda banget dengan bulan biasa. Saya teringat waktu plamus (planet muslim) masih berdiri dan aktif dulu. Setiap ramadhan kita selalu berlimpahan uang-uang ummat yang memberikan sumbangannya, sementara sisa bulan di luar ramadhan rata-rata musim paceklik.
Ngobrol soal sedekah dan amal jariyah ini, ada satu ungkapan yang diajarkan dari mulut ke mulut. Bersedekah itu, tangan kanan bersedekah, tangan kiri tidak boleh tau dan demikian sebaliknya. Maksudnya sih mulia, agar kita terhindar dari sifat riya.
Amal bila dilakukan secara diam-diam lebih bernilai lebih dibandingkan yang dilakukan secara gembar-gembor, apalagi kalau pakai konferensi pers segala. Kalau jaman sekarang, mungkin sarana gembar-gembornya nambah. Fesbuk, misalnya, yang memang selalu jadi ajang narsis yang paling asik buat banyak orang.
Dampak dari si tangan kiri gak boleh tau tadi umumnya adalah penulisan "hamba Allah" di lembar-lembar sumbangan. Mungkin mereka harusnya punya banyak nama seperti saya, hehe.. Bisa pakai herni, molly, atau hermun :P.
Tapi kalau dipikir-pikir, pertanggungjawabannya gimana ya? Bagaimana sebuah amal bisa dipertanggungjawabkan ke publik kalau banyak sekali "hamba Allah". Saya sih tidak suudzon dng yg menyumbang, namun lebih ke persoalan manajemen pengelolaan dana amalnya. Bagaimana kita tau panitia atau pihak yang berinisiatif mengelola itu jujur dan berintegritas tinggi? Bagaimana kita bisa percaya bahwa uang yang disumbangkan benar-benar diterima dan disalurkan?
Belum lagi persoalan takut riya tadi jadi membuat orang malu-malu kucing dalam menyumbang. Uang digenggam di tangan dan dimasukkan ke amplop tanpa terlihat. Dan benar, jangankan oleh orang lain, oleh si tangan kiri pun tidak terlihat.
Malu-malu yang kedua, umumnya orang malu-malu untuk menyumbang, apalagi bila nilai sumbangannya kecil. Padahal, Allah tidak bodoh seperti kita, yang sering melakukan penilaian dengan standar yang picik. Rahmat sumbangan itu bukan terletak dari besaran sumbangannya, namun prosentase dibandingkan harta yang kita punya plus keikhlasan. Keduanya merupakan informasi yang susah untuk diakses. Apalagi yang terakhir, cuma Allah yang bisa menilai hal itu. Udah gitu, akibatnya ternyata tidak mampu mengstimulus derasnya arus dana amal yang masuk.
Lalu, kalau melirik tradisi "tetangga" dimana sumbangan selalu dikoar-koarkan. Herni menyumbang 100 juta bulan ini...!!! dengan sebelum dan sesudahnya didoakan bersama. Dan orang jadi berlomba-lomba riya untuk menyumbang dalam jumlah yg lebih besar lagi.
Saya pun terpikir, mengapa tidak kita tiru? Mari berlomba-lomba... resiko menjadi riya pun tak apa. Toh itu bukan urusan kita... yang penting ada uang yang tersedia yang bisa dioptimalkan penyalurannya. Kalau orang mau riya, ya silakan saja. Toh itu urusan dia dengan Allah. Urusan kita adalah bagaimana kita bisa menerapkan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam mengelola dana amal tersebut. Jadi, logika berpikirnya terbalik. Bukan sekedar tangan kanan menyumbang, tangan kiri harus tau. Namun, semua tangan perlu tau :)
No comments:
Post a Comment